Selasa, 17 Maret 2009

BELUM ADA JUDUL
Martino Dwi Nugroho*

Judul inilah yang akhirnya keluar dari pikiran penulis setelah sekian lama penulis “mumet” mencari judul yang tepat. “Belum Ada Judul” ini sebenarnya menjelaskan polemik yang terjadi pada dunia desain interior di Yogyakarta. Sebelum kita ke akar masalah, ada baiknya kita uraikan terlebih dahulu apa itu “desain”.

Akar istilah desain pada hakekatnya telah ada sejak zaman purba, dengan pengertian yang sangat beragam. Kata desain diduga berasal dari kata designo (Itali) yang artinya gambar. Kata ini diberi makna baru dalam bahasa Inggris di abad 17 yang dipergunakan untuk membentuk School of Design tahun 1836. Makna baru tersebut dalam praktek kerap semakna dengan kata craft (ketrampilan adi luhung), kemudian atas jasa Ruskin dan Morris- dua tokoh pergerakan antiindustri di Inggris pada abad 19, kata desain diberi bobot sebagai seni berketrampilan tinggi (art and craft). Pengertian desain dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan konteks. Pada awal abad ke 20, desain mengandung pengertian sebagai suatu kreasi seniman untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan cara tertentu pula (Walter Gropius, 1919). Lembaga desain Bauhaus yang didirikan pada tahun 1919 di Weimar-Jerman, secara historis diakui sebagai tonggak pembauran dalam kegiatan desain.

Diawal perkembangannya, istilah desain tersebut masih berbaur dengan “seni” dan “kriya”. Namun ketika seni modern mulai memantapkan diri dalam wacana ekspresi murni, justru desain memantapkan diri pada aspek fungsi dan industri. Di Indonesia, hingga tahun 1970 masih terdapat “kebauran” antara istilah “desain”, “seni terapan” dan “kerajinan”.

Yogyakarta sebagai kota pendidikan mempunyai sejarah yang cukup panjang tentang ilmu desain (baca interior) ini yang nantinya akan melahirkan profesional- profesional di bidang interior. Bermula dari jurusan Dekorasi dibawah naungan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang lahir pada tahun 1950, kemudian berubah menjadi Desain Ruang Dalam dan sekarang Desain Interior di bawah naungan Fakultas Seni Rupa. Tetapi wacana atau apresiasi masyarakat Yogyakarta terhadap desain (baca interior), baik sebagai ilmu maupun profesi memang sangat kurang. Ditengok dari sejarah perkembangan desain yang begitu panjang seharusnya wacana tentang desain ini sudah membudaya di lingkungan masyarakat pada umumnya, setara dengan keberadaan seni murni dan seni kriya. Kalau kita cermati lagi, kegiatan-kegiatan kesenirupaan banyak berasal dari seni murni terutama seni lukis. Bahkan sekarang ini, seni rupa identik dengan seni murni. Kenapa hal itu bisa terjadi? Ada beberapa faktor yang mempengaruhi atau mendorong kenapa wacana tentang desain (baca interior) masih begitu minim di masyarakat Yogyakarta sekarang ini.
Pertama, kurangnya pameran-pameran baik dari dunia akademisi maupun praktisi di tengah-tengah masyarakat (public space). Event TKMDI (Temu Karya Mahasiswa Desain Interior) se Indonesia baru pertama diadakan di Jogja sekitar tahun 80an. Event “Chair Exibhition” karya mahasiswa-mahasiswa Desain Interior ISI Yogyakarta juga vakum. Dari dunia praktisi, pameran interior juga sangat jarang dilakukan.
Kedua, kurangnya karya-karya ilmiah tentang desain interior yang dipublikasikan ke masyarakat umum. Yang banyak beredar di masyarakat adalah majalah-majalah atau tabloid-tabloid tentang menata ruang seperti ASRI, LARAS, IDEA, RUMAH dan lain-lain. Kalaupun ada, sebagian besar buku-buku tersebut berbahasa Inggris dan harus merogoh kocek yang banyak untuk mendapatkannya. Padahal kajian-kajian tentang interior tidak sebatas tentang menata ruang. Kajian-kajian ilmiah Desain Interior sangat kalah dengan “saudara tuanya” yaitu arsitektur. Kurangnya kajian tentang desain interior tersebut perlu disadari karena saat ini perspektif atau kajian tentang desain (baca interior) terkait dengan banyak hal atau dapat dikaji dengan berbagai perspektif, misalnya dengan budaya (culture study), psikologi, sosial, semiotika dan lain-lain. Menurut penulis, banyaknya buku-buku ilmiah yang beredar di masyarakat menandakan bahwa ilmu tersebut sudah membudaya atau sudah terapresiasi oleh khalayak umum. Meskipun sudah ada yang memulai seperti Agus Sachari, Yasraf Amir Piliang, Widagdo, Revianto B. S., Heinz Frick yang secara kuantitas masih minim jumlahnya.
Ketiga, jika dalam ruang lingkup Seni rupa, tidak ada kurator atau kritikus tentang desain interior. Hal ini bisa dimaklumi karena desain interior sangat berhubungan dengan dunia profesi. Tapi karena hampir disemua lembaga pendidikan yang membuka program desain interior di Yogyakarta selalu berdampingan dengan seni murni (dan kriya), maka karya-karya yang dihasilkan juga “harusnya” unik dan khas sehingga layak untuk dikritisi.
Keempat, tidak ada tokoh atau figur panutan desain interior di Indonesia . Di Eropa sebagai tempat lahirnya ilmu desain, banyak tokoh-tokoh yang terkenal seperti Frank L Wright, Mies van De Rohe yang mempunyai ciri khas tertentu sehingga menciptakan style tertentu. Demikian juga dalam dunia seni murni, tokoh-tokoh Indonesia cukup terkenal, sebut saja Affandi, Edi Sunarso, But Muchtar, Joko Pekik, Edi Sunaryo, Saptoto, Anusapati dan lain-lain. Apakah di dunia desain interior ada? Kalaupun ada, seperti Widagdo, Pamudji Suptandar, Solichin Gunawan, Achadiat Joedawinata, Naning Adiwoso, Fred Haradiran (alm) dan lain-lain tidak ter-publish dengan baik. Meskipun belakang ini muncul desainer-desainer interior muda yang patut diperhitungkan seperti Wayan Darsana, Farida Alaydroes, Dudiet Nusihadi, Reffrajaya, Arjon dan lain-lain. Tapi lagi-lagi karya mereka tidak terekspos dan ter-publish secara umum dan masih di seputar Jakarta dimana profesi ini tumbuh dan berkembang dengan sangat baik.
Kelima, banyak karya-karya desainer tidak dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Sehingga penjiplakan karya sangat mungkin terjadi.
Keenam, faktor sosial ekonomi. Ada anggapan bahwa desainer interior hanya untuk kalangan menengah ke atas. Padahal di Yogyakarta masyarakat kelas atas masih menjadi minoritas. Sedangkan kalangan menengah kebawah tidak begitu memerlukan jasa desainer yang ujung-ujungnya masalah materi.

Hadirnya HDII (Himpunan Desainer Interior Indonesia) yang didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Januari 1983 membawa angin segar bagi pertumbuhan apresiasi Desain interior di masyarakat khususnya di Yogyakarta. HDII yang sudah melaksanakan kongresnya yang ke-10 semakin menunjukkan eksistensinya di masyarakat sejajar dengan asosiasi profesi lainnya seperti IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dengan generasi muda sebagai pionernya, meskipun masih banyak juga yang menyangsikan.

Akibat dari kurangnya apresiasi masyarakat tentang desain interior berimbas pada dunia pendidikan desain interior. Keterpurukan dunia pendidikan desain (interior) sangat terasa dengan semakin menurunnya minat atau animo para lulusan SMA setiap tahunnya yang memilih program studi desain interior sebagai pilihan untuk studi lanjut. Penurunan tersebut terjadi baik untuk strata 1 dan program diploma. Hal ini harus segera diantisipasi oleh pihak pengelola perguruan tinggi yang membuka program desain interior di Yogyakarta agar tidak gulung tikar yang akan berimbas dengan semakin menghilangnya apresiasi masyarakat tentang desain interior itu sendiri.

Dengan demikian, menjadi pekerjaan rumah bagi kita yang bergelut dalam dunia desain baik sebagai akademisi maupun praktisi untuk bersama-sama “berbuat” dan menyusun strategi agar supaya wacana dan apresiasi tentang desain interior tumbuh dengan baik di Yogyakarta ini. Media “MAKNA” ini kiranya dapat dijadikan satu media interaksi atau komunikasi diantara para pelaku desain interior untuk memberikan pemikiran-pemikiran positif tentang desain interior.

Kotagede, Maret 2006