Jumat, 30 Januari 2009

MAKNA RUANG BAGI ORANG JAWA

Pendahuluan

Membicarakan ruang tidak bisa terlepas dari segi arsitekturalnya dalam hal ini rumah atau orang Jawa menyebutnya omah/papan. Aktifitas-aktifitas dalam rumah terjadi di dalam ruang. Rumah sudah tidak mungkin terpisah dari kehidupan manusia pada masa kini di bumi ini. Rumah sudah merupakan kebutuhan pokok bagi manusia ( sandang, pangan lan papan ). Rumah dalam hal ini adalah perpanjangan dari berhuni dan budaya berhuni ini membuat manusia mengenal dirinya sebagai insan manusia. Rumah/omah dalam kaitan ini merupakan suatu konsep berhuni orang Jawa dalam mengaktualisasikan diri, baik pribadi maupun sosial yang meliputi serangkaian kegiatan rutin maupun ritualnya. Dalam dunia orang Jawa, keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi penghuninya selalu berlangsung dalam ruang, waktu, makna dan pesan dan dalam pemikiran orang Jawa tatanan spasial (spatial order) lebih diutamakan dari pada tatanan waktu (temporal order)[1]. Hal itu menunjukan bahwa ruang bagi orang Jawa mempunyai arti yang sangat penting.
Memahami rumah/omah sama dengan memahami kehidupan suatu kelompok kebudayaan. Suatu kebudayaan sering memancarkan suatu watak khas tertentu yang tampak dari luar. Watak khas ini dalam ilmu antropologi disebut etos atau watak khas yang sering tampak pada gaya tingkah laku, kegemaran-kegemaran dan berbagai hasil karya manusia[2]. Dalam hal ini kebudayaan Jawa memancarkan keselarasan, kesuraman, ketenangan berlebih-lebihan yang sering mengesankan kelambanan, kegemaran akan tingkah laku yang njlimet dan kegemaran akan karya atau gagasan yang rumit. Selain itu etos kebudayan Jawa adalah sopan santun dan gaya tingkah laku yang menganggap pantang berbicara dan tertawa keras gerak-gerik yang ribut dan agresif.
Berhuni adalah suatu kebudayaan yang terpentas melalui ruang. Arsitektur sebagai ruang tempat hidup manusia dapat diterapkan seperti konsep mikrokosmos sebagai gambaran makrokosmos yang tidak terhingga[3]. Orang Jawa menganggap bahwa rumah sebagai tempat tinggal diungkapkan sama dengan pribadi yang memiliknya. Sistem mendirikan rumah tidak begitu saja terjadi tanpa menghiraukan nilai-nilai psikologis dan spiritual.
Oleh karena itu ruang-ruang pada rumah Jawa mempunyai makna yang sifatnya spiritual, magis tapi masuk akal (logis). Ruang-ruang itu mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi yang pada dasarnya hal itu berhubungan dengan keseimbangan alam (nyata dan ghaib). Selain itu tulisan-tulisan tentang rumah Jawa dirasa masih sangat kurang. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat memancing para peneliti untuk meneliti lebih dalam tentang rumah Jawa ini yang ternyata mempunyai nilai filosofis yang tinggi dan masih banyak untuk dapat di gali lagi sehingga hasil dari kebudayaan Jawa ini dapat dilestarikan..

Pengalaman Sejarah[4]
Membahas perkembangan rumah tradisional Jawa tidak bisa lepas dari sejarah. Dalam bahasan ini dibatasi yaitu dari zaman neolitik dan megalitik sebagai awal mula mengenal rumah sampai zaman penjajahan Belanda yang banyak terjadi akulturasi budaya termasuk didalamnya arsitektur.
1. Masa neolitik (2500-1500 SM) dan megalitik ( 1500 SM-200 M)
Pada masa itu orang Jawa hidup dalam masyarakat pedesaan yang sudah dikonsolidasikan dan menjadi inti masyarakat baru yang memperkembangkan desa atau kampung tradisional. Bentuk gubuk mereka masih agak kecil, berbentuk kerucut dengan atap yang langsung menempel ke tanah dan dibuat dari daun-daunan.
Pada perkembangannya, teknik tradisional tentang pembangunan rumah yang dapat dibongkar pasang (knock down) mulai dikembangkan. Hal ini dikarenakan rumah tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka yaitu ladang berpindah serta pembukaan hutan dengan cara membakarnya. Atap rumah yang berbentuk kerucut sudah terpisah dari tanah.
2. Zaman Purba
Zaman keemasan peradaban Jawa dimulai pada akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9 saat wangsa Sailendra yang beragama Budha mengambil alih kekuasaan di Jawa dari wangsa Sanjaya. Tempat kedudukan pemerintahan dinamakan Keraton, yang berarti istana raja dan rumah tangga istana. Pada masa itu juga konstruksi kayu diperkenalkan kepada rakyat.
Sekitar abad 13 –14 pada saat Majapahit diperintah oleh Hayam Wuruk, dalam bidang arsitektur dikembangkan ekspresi dan teknik pembangunan yang baru. Buku pelajaran bagi bermacam bagian pembangunan diterbitkan, pengetahuan dasar tentang pembangunan rumah kediaman, candi, pemandian dan tata kota diadakan pada waktu itu. Pembangunan dengan batu alam dihentikan dan penggunaan batu merah beserta konstruksi kayu diistimewakan dan diperkembangkan sedemikian rupa sehingga masih dipergunakan pada masa kini dalam arsitektur dan tata kota.
3. Zaman Madya
Masuknya agama Islam di Indonesia pada awal abad ke-16 terutama terjadi melalui hubungan dagang dengan saudagar Arab dan Persia sepanjang rute perdagangan dengan cara damai. Dalam penyebaran agama Islam di Jawa, kerajaan Demak berperan penting, karena berhasil mengalahkan Majapahit pada tahun 1478 M dan menundukkan pelabuhan Jepara pada tahun 1511 M. Penyebaran agama Islam terjadi secara bertahap dimulai dari pantai utara sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan. Kemudian bergerak ke arah pedalaman. Penyebaran agama Islam di pulau Jawa melalui sarana wayang dan gamelan yang notabene adalah kebudayaan Hindu. Dengan demikian gabungan antara kebudayaan Islam dan Hindu terwujud dengan baik, begitu juga dalam hal arsitektur.
Dalam arsitektur Hindu, yang diutamakan adalah gambaran aturan kosmis yang dinamakan Mandala atau Yantra. Mandala atau Yantra juga berarti ilmu proporsi atau perbandingan serta menentukan bentuk dan ukuran bagian-bagian bangunan. Dalam Islam sebaliknya menciptakan pembatasan bidang untuk penghidupan batin dan keagamaan. Pembatasan oleh bidang garis merupakan gerak maju dalam bidang tanpa menentukan atau menciptakan ruang tertentu. Jikalau ada pembentukan ruang, ruang tersebut terbentuk oleh bidang pembatasan : tenang, sebagai bujur sangkar, tidak terarah. Alam sekitar dipilih sebagai perhiasan abstrak, sebagai pertunjukan dalam garis-garis dan bidang-bidang tertentu. Untuk dekorasi, diperbolehkan menghias masjid sehingga menjadi indah, karena Allah menyukai keindahan. Adapun motif manusia dan hewan apalagi lukisan mengenai Nabi dan Allah tidak boleh. Di satu sisi hal itu menjauhkan diri dari sikap dan kegiatan kemusyrikan, sedang di sisi yang lain untuk menjaga agar tidak mencemarkan keluhurannya[5].
Kemudian juga perlu diketahui bahwa pusat-pusat kekuasaan sering berpindah-pindah pada zaman ini yang merugikan perwujudan kebudayaan dalam bidang arsitektur sehingga peninggalan arsitektur yang ada hanya beberapa masjid saja.
4. Zaman Penjajahan Belanda
Bagaimanakah penjajahan yang fungsi utamanya selama berabad-abad adalah perluasan kekuasaan, penjaminan terus menerus dan penyingkiran perlawanan pada waktu yang sama memungkinkan minoritas orang Eropa sebagai penjajah akhirnya menguasai penduduk Asia sekaligus kebudayaannya? Pertanyaan ini bukan mengutamakan bagaimana sikap penjajah terhadap warga negara dan struktur masyarakatnya, melainkan tentang penyingkiran kaum bangsawan, pembatasan kebebasan bergerak, serta tindakan atas kebiasaan dan kepercayaan penduduk yang mempengaruhi arsitektur bangsa-bangsa tersebut.
Setiap pembangunan berdasar atas prasyarat kedewaan. Pada keraton konsep ini diwujudkan dan merupakan hal pantas untuk ditiru. Konsep ini akibatnya sangat buruk, sehubungan dengan penjajahan Belanda atas arsitektur tradisional. Pusat ruang yang padat dan pantas diteladani tiba-tiba dikuasai oleh orang asing yang memiliki tingkah laku dan kebudayaan yang sama sekali asing. Penjajahan ini mengakibatkan kekosongan dalam interpretasi simbolis dan kosmis dalam bidang arsitektur dengan kerugian yang sampai saat ini belum dapat diperbaiki.
Menariknya, pengaruh Belanda atas bahan bangunan dan interpretasi ruang yang baru tidak-atau hanya sedikit mengubah perwujudan rumah tinggal tradisional. Dengan demikian, batu merah digunakan untuk membangun rumah tinggal, bukan lagi menjadi bahan bangunan yang dikhususkan untuk bangunan keraton dan candi. Kemudian mulai digunakan kaca yang memungkinkan cahaya alami masuk lewat dinding dan besi terutama besi cor sebagai kolom dan sebagainya. Karena di negeri Belanda gaya Renaisance pada awal abad 17 langsung diganti dengan gaya bangunan Klasik menurut Pallado dan Scamozzi, konsep dan pembentukan perumahan mengandung banyak kesamaan dengan arsitektur tradisional Jawa yang mengagumkan.
Dalam pandangan hidup tradisional di Jawa setiap lubang dalam dinding yang mengelilingi ruang merupakan suatu pelemahan diantara dunia material dan dunia spiritual, maka jendela sebagai celah atau bagian yang terbuka ditiadakan. Dengan diimpornya kaca oleh orang Belanda, muncul kemungkinan konstruksi baru untuk jendela yang tidak melanggar pandangan metafisik dinding sebagai pembatas. Pada saat itu pembangunan rumah tinggal dengan batu merah sebagai tembok menjadi hal yang umum, terutama bagi kaum bangsawan. Akibatnya rumah-rumah cukup cahaya tetapi juga agak rapat udara. Dengan demikian cara pembangunan Barat membantu proses penyingkiran konstruksi kayu dan bambu tradisional yang menyesuaikan diri dengan iklim setempat.

Organisasi Ruang pada Arsitektur Tradisional Jawa
Sebelum membahas tentang organisasi ruang lebih lanjut perlu kiranya mengetahui tentang orientasi bangunan tradisional Jawa. Rumah tradisional di Jawa pada umumnya merupakan ungkapan dari hakikat penghayatan terhadap kehidupan. Orientasi terhadap sumbu kosmis dari arah utara selatan tempat tinggal Ratu Kidul, Dewi Laut Selatan dan Dewi pelindung Kerajaan Mataram. Orientasi terhadap sumbu kosmis dari arah barat timur untuk rakyat biasa adalah tidak mungkin karena arah timur dipergunakan sebagai unsur dari bagian keraton. Arah timur juga merupakan tempat tinggal Dewa Yamadipati yang dalam cerita pewayangan mempunyai tugas mencabut nyawa orang[6].
Pada arsitektur atau rumah Jawa terdapat beberapa jenis rumah. Dalam hal ini hanya akan dibahas tiga jenis rumah yang sebagian besar terdapat pada masyarakat Jawa, yaitu rumah kampung, rumah limasan dan rumah joglo.
Bentuk rumah kampung ini susunan ruangannya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ruang depan yang fungsinya untuk menerima tamu, ruang tengah dan ruang belakang yang dibagi menjadi tiga kamar (senthong) yaitu senthong kiwa, senthong tengah, senthong tengen[7].
Bentuk rumah limasan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan rumah bentuk kampung. Susunan ruangan dibagi menjadi tiga ruangan yaitu ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang.Tetapi ruang tengah lebih luas dari pada ruang depan dan ruang belakang. Pada ruang belakang dibagi menjadi 3 senthong yaitu senthong kiwa, senthong tengah dan senthong tengen. Penambahan senthong atau kamar biasanya ditempatkan di sebelah kiri senthong kiwa dan di sebelah kanan senthong tengen[8].
Bentuk rumah joglo mempunyai susunan ruang yang lebih jelas dibandingkan susunan ruangan rumah bentuk kampung dan limasan. Oleh karena itu bentuk rumah joglo dikatakan sebagai tipe ideal dari pada rumah tradisional Jawa. Susunan ruangan pada rumah bentuk joglo yang banyak dimiliki oleh masyarakat biasa dibagi juga menjadi tiga bagian, yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendapa, ruang tengah atau ruang untuk pentas wayang ( ringgit ) yang disebut pringgittan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruangan itu terdapat 3 buah senthong (kamar) yaitu senthong kiwa, senthong tengah (petanen) dan senthong kanan. Rumah bentuk joglo yang dimilki golongan bangsawan (ningrat) biasanya bangunannya lebih lengkap. Disebelah kiri kanan dalem ada bangunan kecil memanjang yang disebut gandhok yang memiliki kamar-kamar[9]. Gandhok kiwa (wetan omah) untuk tidur kaum laki-laki dan gandhok tengen (kulon omah) untuk kaum perempuan. Dan yang paling belakang adalah dapur (pawon)[10].
Tiap-tiap ruangan tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Pada bentuk rumah kampung dan limasan ruangan itu sudah dibagi-bagi menjadi kamar-kamar yang fungsional. Disamping adanya ruangan teras, yang terletak di depan. Biasanya teras ini untuk menerima tamu lelaki, sedang untuk tamu perempuan ada di ruangan dalam. Susunan ruang dalam yang ada dibagi menjadi beberapa kamar, yaitu kamar kiri (senthong kiwa), kamar tengah (senthong tengah) dan kamar kanan (senthong tengen). Untuk golongan petani senthong kiwa berfungsi untuk menyimpan senjata atau barang-barang keramat, senthong tengah untuk menyimpan benih atau bibit akar-akaran dan gabah. Sedangkan senthong tengen untuk tempat tidur. Kadang-kadang senthong tengah dipakai pula untuk mengheningkan cipta dan berdoa kepada Tuhan, juga sebagai tempat pemujaan kepada Dewi Sri atau Dewi Kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga. Oleh karena itu senthong tengah disebut juga pasren atau petanen. Senthong tengah tersebut diberi batas dengan kain yang disebut langse atau dari gedheg berhias anyaman yang disebut patang-aring. Pada bentuk rumah joglo milik bangsawan di Jawa senthong tengah ini berisi bermacam-macam benda-benda lambang (perlengkapan) yang mempunyai kesatuan arti yang sakral (suci). Macam-macam benda lambang ini berbeda dengan benda-benda lambang petani. Namun keduanya mempunyai arti lambang kesuburan, kebahagiaan rumah tangga itu. Personifikasinya adalah Dewi Sri[11].
Sehingga dapat dikatakan bahwa jenis, fungsi atau organisasi ruang tersebut ternyata fleksibel, tergantung dari kebutuhan, tingkat sosial dan tingkat ekonominya pemilik rumah.

Makna Ruang-Ruang pada Rumah Jawa.
Makna bersifat intersubjektif karena ditumbuhkembangkan secara individual, tapi makna-makna itu dihayati secara bersama dan diobjektivikasikan dalam masyarakat.
Konfigurasi ruang dikonsepkan sebagai pengejawantahan dari kekuasaan yang mengaturnya, maka akan selalu ada kewenangan atas setiap ruang yang memiliki aturan. Ide tentang ruang menjadi identik dengan ide tentang teritori (kewilayahan) sebagai ruang yang terkontrol, sehingga secara konseptual setiap ruang ada pemiliknya sebagaimana bapak menguasai rumah dan raja memerintah negara. Teritori atau kewilayahan dalam hal ini adalah merupakan tempat yang nyata, relatif tetap dan tidak berpindah –pindah mengikuti gerakan individu yang bersangkutan. Teritori juga dapat dikatakan sebagai wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang[12]. Kepemilikan atau hak dalam kewilayahan atau teritori ditentukan oleh persepsi dari orang lain atau orang-orang yang bersangkutan sendiri.
Secara mendalam ruang terbentuk dalam interaksi antara seseorang dengan permukaan bumi. Orang Jawa melakukan upacara-upacara yang memuliakan interaksi awal manusia dengan tanah. Untuk memapankan eksistensi di bumi, segera sesudah seorang bayi lahir, ari-ari sang bayi (yang merupakan bagian dari “empat saudara kandung” yang menjaga seorang individu, yakni : air ketuban, ari-ari, darah dan tali pusar) dikubur didekat rumah menyusun “kakaknya” sang air ketuban yang telah tumpah lebih dahulu. Sebuah periuk tanah yang dilubangi alasnya diletakkan terbalik diatas kubur tersebut untuk melingkupinya sepenuhnya dengan tanah.
Menata ruang tidak hanya menyelaraskan dengan semesta tetapi dengannya kesejahteraan wilayah dapat dicapai.dengan kesadaran akan tatanan yang dominan, tradisi Jawa menganggap bahwa huru hara dan musibah diakibatkan oleh kondisi lupa akan tatanan atau “lali”. Dengan melupakan tatanan, seseorang tidak sadar terhadap keteraturan sosial dan fisikal disekelilingnya khususnya posisi relatifnya dalam keluarga dan masyarakat sehingga dia cenderung untuk melanggar aturan moral. Dalam kebiasaan orang Jawa, seseorang akan membasuh kakinya ketika masuk rumah untuk melepaskan emosi dan kesialan yang mungkin menempel pada tubuhnya di jalanan. Di luar rumah adalah dunia yang berbahaya karena kacau balau dan penuh huru hara. Di rumahlah orang menemukan ketentraman terlindung dari galau dunia luar. Mencuci kaki akan melunturkan sarap sawan, hal buruk yang harus dilepaskan ketika masuk rumah. Sarap sawan juga berati halangan yang lekat pada orang yang penuh kesialan, sebagai ungkapan sarap sawane wong sukerta, yang baru bisa dilepaskan dari orang tersebut dengan upacara ruwatan. Dalam kesejajaran ini, rumah dapat dianggap sebagai struktur untuk meruwat yang akan melindungi penghunuinya dari ancaman kekacauan dan kesialan.
Ruang, suatu unsur kunci arsitektur dialami orang Jawa melalui arah (orientasi) dan suasana. Tempat bagi orang Jawa lebih kongkrit karena tindakan yang tepat selalu didasari atas posisi seseorang dalam dunia. Tempat adalah unsur kunci dalam pandangan dunia orang Jawa. Tempat dinilai sebagai lokasi dan dibatasi oleh arah-arah, yang maknanya terungkap sepenuhnya dalam pelaksanaan ritual.
Pemahaman penghuni terhadap makna yang terbentuk di dalam rumahnya akan terwujud sebagai susunan ruang dan tercermin dalam perilaku keseharian dengan mengekspresikan pemahamannya terhadap rumah melalui penyusunan obyek maupun penempatan tubuh dalam ruang. Dalam hubungan antara susunan ruang dan tindakan ragawi, terdapat dua cara utama untuk menyatakan suatu setting ruang secar positif dengan mengartikulasikan pusatnya dan secara negatif dengan mendefinisikan batasnya. Berkait dengan tindakan ragawi dalam ruang, suatu pusat cenderung akan menjadi orientasi bagi pengguna, sementara suatu pembatas akan mengisyaratkan partisipannya: siapa saja yang boleh dan siapa saja yang tidak boleh memasuki ruang tersebut. Batas bagi suatu ruang dapat berupa elemen fisik dan dapat berupa non fisik. Elemen fisik dapat berupa peninggian lantai, jajaran kolom, teritis ataupun perbedaan derajat terang yang kontras. Sementara itu pembatas ruang non fisik dapat mengambil bentuknya dalam suatu regulasi atau aturan, baik yang mempersilahkan atau yang melarang orang untuk memasuki ruang tertentu[13]. Dalam banyak hal, mekanisme kontrol berupa “aturan masuk” ke dalam ruang ini berlaku secara berbeda terhadap orang yang berbeda.Seperti diketahui bahwa setiap orang mempunyai jarak pribadi (personal space) dan privasi yang berbeda-beda. Secara umum jarak pribadi mempunyai dua fungsi yaitu fungsi perlindungan (protective function) untuk mencegah dari potensi ancaman fisik dan psikologis, privasi yang tidak cukup. Selanjutnya fungsi yang kedua adalah fungsi komunikasi yang akan menjadi sangat penting dalam interaksi manusia[14]. Pusat adalah posisi yang relatif. Suatu objek akan menjadi pusat jika melalui tindakan penghuninya, ia dianggap sebagai hal yang penting, lebih dari sekedar berada di tengah-tengah ruang atau memiliki bentuk yang secara mencolok berbeda. Sosok pusat akan menjadi orientasi, baik bagi tubuh atau bagi objek-objek lain.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa rumah Jawa pada umumnya dibagi menjadi tiga ruang ( depan, tengah dan belakang). Dalam bab ini, ruang depan dan rumah tengah akan digabung karena mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai ruang publik. Sehingga dalam pembahasan ini hanya terdapat dua atau sepasang ruang yaitu ruang depan/luar dan ruang belakang/dalam. Pasangan ini mewujudkan gagasan utama yang melandasi pembentukan setting domestik: sebagai tempat bermukim dan tempat untuk membangun hubungan.
Bagian depan sebuah rumah merupakan wilayah yang berorientasi keluar tempat prestise domestik dan keteraturan sosial ditampilkan dalam bentuk perbedaan-perbedaan status dan formalitas[15]. Dalam hubungan sosial, status terjelas diekspresikan dalam penggunaan bahasa Jawa yang memiliki banyak tingkatan. Dengan memainkan dan mencoba beberapa tingkatan bahasa dalam ujaran, seorang pembicara secara sadar menilai status lawan bicaranya dan menilai status relatifnya sendiri dengan tujuan menegosiasikan pola hubungan. Seperti bahasa, setting spasial disusun untuk membentuk kecenderungan beberapa hubungan tertentu. Krama atau bahasa Jawa tinggi yang formal guna menegaskan jarak dan penghormatan diekspresikan dengan baik dalam setting rumah depan, dimana seseorang muncul untuk menemui orang lain. Menemui orang lain sering diasosiasikan dengan laki-laki, karena laki-laki dianggap (atau menganggap dirinya) sebagai pewakilan dari rumah yang harus berhadapan dengan dunia luar. Sebagai figur teladan dalam rumah tangga, dia wajib memelihara prestisenya. Dia harus memperhalus kemampuan berbahasa dan tingkah laku karena masyarakat mengawasinya. Sehingga jarak pribadi yang terjadi pada ruang bagian depan termasuk dalam kategori jarak pribadi dan jarak sosial. Menurut teori jarak pribadi berkisar antara 0-1,5 kaki dan biasanya merupakan kontak antara teman, tetangga, kenalan dan sebagainya dengan media komunikasinya berupa kata-kata. Sedang jarak sosial berkisar antara 4-1 kaki dan biasanya merupakan kontak bisnis dan kontak dengan orang tertentu[16].
Kekuasaan, sesuatu yang secara sosial berkesesuaian dengan status, tidak selayaknya dipamerkan secara mencolok pada bagian paling depan kepada masyarakat luas. Derajat kesederhanaan tertentu pada bagian luar harus diekspresikan; begitu pula kekuasaan harus mendominasi sekelilingnya dengan cara yang tidak kentara. Ruang depan mengemban tugas mengindikasikan status sosial dari sang pemilik. Ia biasanya merupakan bagian dari rumah yang secara sosial paling rapi dan paling prestisius, guna menaikkan status pemiliknya dihadapan tetamu. Namun demikian, fasad atau sisi paling depan dari tempat ini biasanya tampil sederhana.
Karena ruang ini berfungsi sosial, maka ruang ini mempunyai sifat terbuka. Sebagai pengimbang terhadap keterbukaannya, ruang depan harus meneguhkan pusatnya agar orientasi ruang masih dapat dikenali. Pusat yang mengikat diekspresikan pada sosok dan tindakan. Kolom-kolom yang tinggi dengan mahkota tumpang sari di tengah pendhapa atau jogan adalah sosok vertikal yang mendefinisikan pusat ruangan. Tindakan mendefinisikan pusat ini dapat juga berarti mengekspresikan kewenangan tuan rumah sebagai pumpunan kekuatan di ranah yang dikuasainya.
Sedangkan rumah dalam merupakan wilayah yang berorientasi ke dalam, tempat kita bertemu diantara diri kita sendiri dalam lingkungan terdekat kita. Sebagai setting tempat seseorang bermukim dan menjadi bagiannya, bagian belakang rumah dikonstruksikan sebagai ranah yang terjaga. Bagian ini terlingkup dengan baik dengan memaksimumkan pembatasnya. Diantara berbagai cara untuk mengartikulasikan sosok ruang belakang ini untuk mencapai karakternya sebagai bagian yang terjaga adalah meninggikan, menebalkan dan menyusun berlapis-lapis dinding pelingkup, serta mereduksi bukaan sehingga mengurangi penembusan sinar matahari. Secara fungsional, keterjagaan ini berarti membatasi akses. Sifat dasar bagian ini lebih berkarakter protektif daripada privat semata. Sehingga ruang ini mempunyai fungsi teritori yang lebih tinggi daripada ruang depan. Orang-orang yang telah diakrabi yang kepadanya penghuni percaya ataupun orang-orang dengan status yang lebih rendah yang berada dibawah kekuasaan tuan rumah adalah diantara kelompok orang yang diperkenankan memasuki lingkup ini. Sehingga dapat dikatakan jarak yang terjadi dalam ruang ini adalah jarak intim dan jarak pribadi.
Bagian dalam dari rumah, yang diasosiasikan dengan perempuan, merupakan tempat kaum perempuan secara rutin melakukan tugas-tugas domestik mereka[17]. Berkenaan dengan kekeramatan, ditempat ini mereka melakukan ritual-ritual domestik. Khususnya yang berkaitan dengan penyimpanan beras nasi dan pemeliharaan pusaka. Dalam ritus itu, perempuan mengemban kapasitas untuk menjaga kesejahteraan keluarga dan akumulasi kekuatan dalam rumah.
Sebagai tempat yang berorientasi ke dalam, rumah dalam juga bebas dari pengawasan publik tanpa adanya kesempatan untuk menunjukan status, sebuah penampilan yang mengesankan dan susunan yang rapi menjadi kurang penting dalam wilayah ini. Senthong yang berada pada ruang dalam dianggap sebagai ruang suci.
Berdasarkan kedudukan pemilik dalam tata jenjang dan kekayaanya, komplek perumahannya dianjurkan untuk disesuaikan menjadi lebih besar atau lebih kecil. Bentuk yang terkecil merupakan reduksi atas rumah induk dalem agung. Dalam pengertian komplek perumahan tradisional berperan pola antropomorf sebagai ekspresi berhubungan dengan seni bangunan yang dirangkaikan pada sumbu utara selatan. Antropomorf berarti berbentuk mirip dalam wujud manusia. Menurut pola antropomorf, bagian pendopo dan pringgitan (ruang luar ) sepadan dengan kepala, ruang dalam dan gandhok sepadan dengan badan dengan pengertian gandhok sebagai lengan. Dapur sepadan dengan kaki[18].

Gender Dalam Rumah Jawa
Gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain dan dapat berbeda dari satu kelas ke kelas yang lain[19].
Bias gender tak pelak lagi membayangi pembahasan rumah ketika lelaki dan perempuan berbagi peran di ruang tersebut. Namun demikian, stereotip perempuan dikurung di rumah sementara lelaki menikmati prestise masyarakat tampaknya tak dapat diterima tanpa dikritisi dengan wacana tanding yang dapat dibangun berdasar gejala yang dijumpai di ruang-ruang domestik Jawa.
Bagi orang Jawa, kategorisasi gender tampaknya bukan urusan ya dan tidak secara mutlak. Menjadi laki-laki sejati tidak harus berarti bahwa dia harus menjauhkan dirinya dari sifat keperempuanan. Memiliki kapasitas-kapasitas perempuan dengan tetap mempertahankan karakteristik laki-laki (atau sebaliknya) adalah suatu tanda kekuatan. Citra orang Jawa mengenai “super hero” sering lebih bersifat keperempuan-perempuanan ketimbang macho. Seorang satria sejati dianugrahi kapasitas untuk bisa mencala putra mencala putri, bisa menjadi laki-laki sekaligus perempuan. Dalam tokoh pewayangan sosok seperti itu digambarkan sebagai Arjuna atau Janaka.
Sementara lelaki menyandang kapasitasnya keluar untuk mewakili keluarga, dalam ranah domestik perempuan diidentifikasikan ke dalam dengan keluarga atau dengan rumah itu sendiri. Dalam menjaga kapasitasnya, perempuan memegang kendali terhadap sumber-sumber domestik sebagaimana dia juga mengelola pengeluaran keluarga. Sebagai pengendali, perempuan bukan hanya memelihara pusat-pusat kekuasaan domestik yang tersembunyi, tapi juga yang paling berhak atas ruang tersebut. Namun demikian, lelaki pada kesempatan-kesempatan publik biasanya tetaplah sosok yang paling tampil sebagai representasi sang rumah dan isinya.
Selain itu bias gender pada rumah Jawa juga dapat dilihat melalui sudut pandang agama dalam hal ini Islam. Kenapa Islam? Seperti diketahui bahwa agama Islam mempunyai pengaruh yang besar pada kebudayaan Jawa sebagaimana agama Hindu temasuk didalamnya arsitektur yaitu masjid. Dalam masjid terdapat pembagian zona antara laki-laki dan perempuan. Zona laki-laki di depan dan zona perempuan di belakang. Patokan-patokan yang ada di masjid dapat juga dilihat pada rumah Jawa yang membagi rumahnya menjadi dua bagian yaitu ruang depan untuk laki-laki dan ruang belakang untuk perempuan.

Penutup
Arsitektur/rumah tradisional bagi orang Jawa mempunyai arti yang sangat penting dan termasuk dalam kebutuhan pokok. Karena dalam membangun rumah tersebut harus melalui tahap-tahap ritual sehingga makna-makna magis tapi logis tercermin dalam setiap ruang-ruangnya. Patokan-patokan yang ada didasarkan atas arah (orientasi) dan suasana yang intinya menyeimbangkan penghuni dengan alam, mengarah ke hal-hal yang baik dan membuang kesialan.
Dilihat dari bentuk atau pola bangunan, berperan pola antropomorf. Pola antropomorf berarti berbentuk mirip dengan wujud manusia yaitu kepala, badan dan lengan, kaki. Kepala tercermin lewat pendapa (ruang depan), badan tercermin lewat ruang dalam dengan gandhok sebagai kedua lengan dan kaki tercermin lewat dapur. Setiap rumah Jawa berorientasi ke arah sumbu kosmis utara selatan tempat tinggal Ratu Kidul, Dewi laut selatan, Dewi pelindung kerajaan Mataram. Sedangkan orientasi timur barat tidak mungkin karena arah timur merupakan tempat dewa Yamadipati atau dewa kematian. Dilihat dari segi teknis hal itu masuk akal dengan mengesampingkan faktor magis. Arah selatan baik untuk masuknya angin dan arah utara baik untuk keluarnya angin. Karena orientasi ke utara selatan maka jendela banyak di sisi barat timur sehingga sinar matahari banyak yang masuk.
Dan ternyata arsitektur tradisional/rumah Jawa sudah mengenal gender yaitu dengan dibaginya rumah menjadi dua bagian yaitu ruang depan dan ruang belakang termasuk dapur. Ruang depan bersifat publik, terbuka, bersifat sosial karena untuk komunikasi dengan dunia luar. Ruang ini dikuasai oleh laki-laki sebagai kepala keluarga. Sedangkan ruang belakang sifatnya tertutup, privasi tinggi dan bersifat magis. Ruang ini dikuasai oleh perempuan.
Selain itu agama (Islam) sangat berperan dalam bias gender. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Islam (masjid) dan rumah Jawa yang sama-sama membagi ruang menjadi dua bagian yaitu ruang depan untuk laki-laki dan ruang belakang untuk perempuan.


Kepustakaan
Heinz Frick, Pola Struktural dan Teknik Bangunan di Indonesia, Yogyakarta, Kanisius, 1997.

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996.

Oman Sukmana, Dasar-Dasar Psikologi Lingkungan, Malang, Bayu Media dan UMM Press, 2003.

Posman Simanjuntak, Berkenalan Dengan Antropologi, Jakarta, Erlangga, 1997.

Revianto Budi Santosa, Omah, Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya, 2000.

Sugiyarto Dakung, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta, Departemen Pendidiakan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan daerah, 1981/1982.

Zein M. Wiryoprawiro, Perkembangan Masjid-Masjid di Jawa Timur, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1986.








[1] Revianto Budi S., Omah, Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya, 2000, hlm. 8.
[2] Posman Simanjuntak, Berkenalan Dengan Antropologi, Jakarta, Erlangga, 1997, hlm. 20.
[3] Heinz Frick, Pola Struktural danTeknik Bangunan di Indonesia, Yogyakarta, Kanisius, 1997, hlm 83.
[4] Lihat Heinz Frick, 1997, hlm. 31-66. Diringkas oleh penulis.
[5] Zein M. Wiryoprawiro, Perkembangan Masjid-Masjid di Jawa Timur, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1986, hlm.170.
[6] Lihat Heinz Frick, 1997, hlm. 84.
[7] Sugiyarto Dakung, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1981/1982, hlm. 54.
[8] Lihat Sugiyarto Dakung, 1981/1982, hlm. 55
[9] Lihat Sugiyarto Dakung, 1981/1982, hlm. 55.
[10] Lihat Heinz Frick, 1997, hlm. 86.
[11] Lihat Sugiyarto Dakung, 1981/1982, hlm. 57.
[12] Oman Sukmana, Dasar-Dasar Psikologi Lingkungan, Malang, Bayu Media dan UMM Press, 2003, hlm. 161.
[13] Lihat Revianto Budi Santosa, 2000, hlm. 42.
[14] Lihat Oman Sukmana, 2003, hlm. 149.
[15] Lihat Revianto Budi Santosa, 2000, hlm. 211.
[16] Lihat Oman Sukmana, 2003, hlm. 150.
[17] Lihat Revianto Budi Santosa, 2000, hlm. 215.
[18] Lihat Heinz Frick, 1997, hlm. 88.
[19] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 8.

Rabu, 28 Januari 2009

RUSUNAWA CODE YOGYAKARTA
PROBLEMATIKA DAN SOLUSI


A. Latar Belakang Fenomena
Pertumbuhan penduduk yang kian pesat, terutama di kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta, serta ditambah pula urbanisasi yang kian meningkat, menimbulkan pertambahan kebutuhan pemukiman yang cukup besar pula sehingga membuat harga tanah juga ikut melambung tinggi. Harga tanah yang tinggi akan membuat kebutuhan rumah mejadi sulit dijangkau masyarakat.
Di sisi lain, rumah merupakan kebutuhan primer di mana digunakan sebagai tempat untuk bernaung. Akibatnya, tidak semua orang mampu memenuhi kebutuhan ini. Hampir di setiap daerah di tanah air didapati wilayah yang penduduknya menghuni tempat yang sebenarnya sudah tidak layak huni. Yogyakarta sebagai salah satu komoditi pariwisata Indonesia pun tidak luput dari sindrom daerah kumuh ini. Di sepanjang bantaran kali Code misalnya, dapat dilihat betapa banyaknya rumah penduduk yang memprihatinkan.
Persoalan ini perlu dicermati lebih jauh sehingga perlu memikirkan pemukiman yang layak dan berkelanjutan. Dari sinilah mulai timbul alternatif-alternatif solusi tersebut, diantaranya adalah pembangunan rumah vertikal atau yang sering dikenal dengan istilah rumah susun. Dengan adanya rumah susun diharapkan warga mempunyai tempat tinggal yang lebih layak sekaligus sebagai upaya penertiban kota dan peremajaan daerah kumuh.
Pemerintah sendiri turut memperhatikan rumah susun ini, yaitu dengan mengaturnya dalam undang-undang. Definisi rumah susun menurut data UU RI No.4 tahun 1993 adalah bangunan gedung bertingkat, yang dibangun dalam satu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dan dalam arah horizontal maupun vertikal sebagai satuan-satuan yang dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama/benda bersama dan tanah bersama.
Propinsi DI Yogyakarta sendiri memiliki empat buah rumah susun, salah satunya adalah Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Kali Code Yogyakarta. Keberadaaanya yang di tengah pusat kota sangat strategis bagi para penduduk, bahkan keberadaannya diharapkan persepsi perkampungan kumuh di pinggir Sungai Code khususnya dan pinggir sungai umumnya, yang dikenal dengan sebutan “ledok” bisa di ubah menjadi wilayah tempat tinggal yang tidak lagi kumuh. Meski, situasi kepadatan tidak bisa dihilangkan, namun tata ruang yang tidak lagi kumuh akan memberikan suasana tersendiri untuk hunian wilayah padat.
Rusunawa Kali Code dibangun sekitar tahun 2003 dan resmi dihuni pada Mei 2005, dibuat empat lantai dengan 72 unit tempat tinggal di lantai dua, tiga, dan empat, sedangkan pada lantai satu digunakan sebagai tempat parkir, tempat pertemuan dan area bermain anak. Namun, dalam kurun waktu sekitar tiga tahun ini justru fasilitas – fasilitas rusunawa ini banyak tidak terawat. Contohnya, pada area bermain justru terlihat kosong, tidak ada anak yang bermain di area ini, bahkan mainannya banyak terlihat telah rusak, dan fasilitas pemadam kebakarannya justru kosong.
Para penghuni Rusunawa Kali Code ini merupakan hasil seleksi sejumlah warga yang mendaftarkan diri dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam Keputusan Walikota Yogyakarta No.85 tahun 2004 pasal 10. Persyaratan tersebut antara lain harus penduduk Yogyakarta yang dibuktikan dengan KTP dan kartu keluarga, memiliki pekerjaan tetap baik formal maupun informal, berpenghasilan rendah dengan pendapatan 1 (satu) kali UMP sampai dengan 2 (dua) kali UMP, sudah berkeluarga, maksimal anggota keluarga terdiri dari lima orang dan yang terakhir adalah belum memiliki rumah tinggal tetap.
Dalam setiap unit rumah luasannya berkisar 6,18 x 3,6 m, sudah termasuk di dalamnya fasilitas kamar mandi, dapur dan ruang servis, namun sepetak rumah tersebut rata – rata berpenghuni 2 – 5 orang dengan karakteristik yang berbeda-beda. Dari sisa luasan ruang tersebut, beberapa penghuninya membuat sekat non permanen sesuai kebutuhannya masing-masing, ada yang terbuat dari tripleks, tirai, furnitur dan lain sebagainya. penyekat-penyekat ini dimaksudkan untuk membatasi ruang, diantaranya ruang tidur, ruang tamu, bahkan diantara mereka ada yang mengunakannya sebagai ruang usaha, yaitu dengan membuka warung kecil dan bengkel kerja kerajinannya.

B. Kebutuhan atau Keterpaksaan
Kebutuhan akan rumah tinggal jaman sekarang ini merupakan sesuatu yang pokok yang memang harus dipenuhi selain sandang dan pangan. Tetapi pengejawantahan dari kebutuhan-kebutuhan tersebut akhirnya juga dibatasi dengan faktor ekonomi atau daya beli masyarakat Yogyakarta yang telah terstratifikasi. Yang pada akhirnya juga masyarakat yang mempunyai daya beli rendah yang kena batunya.
Permasalahan utama kepemilikan rumah layak huni adalah masalah kemiskinan. Kemampuan ekonomi yang terbatas berakibat terbatas pula dalam memiliki rumah layak huni. Para penghuni yang sebagian besar adalah bekas warga Lempuyangan memang merasa terbantu dengan adanya rusun ini. Setelah diteliti lebih lanjut, ada beberapa motivasi yang mendasari penghuni rusun ini memilih bertempat tinggal di rusun pinggir kali ini, yaitu :
1. Keluarga baru (suami istri) yang ingin hidup pisah rumah dengan orang tua karena ”ikut mertua”.
2. Karena keterbatasan dana untuk memiliki rumah. Menariknya, ada salah satu penghuni yang mengatakan bahwa dia ingin mendaftar di rumah susun di Jalan Mangkubumi, ”dinggo duwen-duwen” katanya.
3. Dekat dengan tempat pekerjaan. Sebagian besar penghuni rusun ini adalah pedagang.
Adaptasi penduduk rusun ini dengan penduduk lokal tidaklah begitu sulit. Hal ini disebabkan karena penghuni rusun ini adalah bekas penduduk Lempuyangan yang ternyata tidak jauh dengan lokasi rusun. Tetapi yang menarik adalah relasi antara aspek sosial dan fisik yang terjadi di rusun ini. Relasi ini tampak ketika masyarakat kelas bawah yang semula tinggal di perkampungan yang bersifat horisontal harus melakukan adaptasi yang cukup intensif pada rumah susun yang bersifat vertikal.

C. Rusun = slum?
Tepi sungai sangat identik dengan daerah kumuh atau slum. Asumsi ini sangatlah melekat pada pikiran masyarakat kita. Meski ”pejuang-pejuang tanpa tanda jasa”, satu diantaranya yang cukup terkenal yaitu Rama Mangun dengan susah payah mengangkat citra tepi sungai untuk diberi label lebih baik tetapi tetap saja citra slum itu masih melekat. Terobosan pemerintah membangun Rusunawa ditepi kali Code ini memang layak diacungi jempol. Tetapi kemudian timbul pertanyaan : apakah tindakan pemerintah ini akan menjerumuskan rusun ke dalam lingkungan kumuh atau mencoba mengangkat citra slum di tepi kali menjadi lebih baik? Dibangunnya rusun ditempat yang sangat strategis, di sekitar Hotel Melia Purosani yang berbintang lima memang sangatlah menarik untuk diamati.

D. Solusi
Melihat fenomena-fenomena di atas, ada beberapa solusi untuk menjadikan rusunawa Code ini menjadi tempat tinggal yang layak huni, hommy dan mempunyai citra yang baik.
1. Tatanan komunal, yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan kegiatan di luar rumah (out-door living). Di Rusun Code ini ruang komunal tidak difungsikan dengan baik. Jalan kampung yang sempit juga menjadikan tidak adanya ruang komunal bagi penghuni.
2. Tatanan komunal dengan private space diberikan tekanan yang jelas. Sehingga desain rumah susun dirancang sebagai rumah tinggal bagi keluarga besar. Disekitar ruang itu ada dapur dan kamar mandi yang mengelompok.
3. Citra slum harus dirubah dengan memberi sentuhan estetik di sekitar rusun ini.
Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas
(Tinjauan Deskriptif tentang Bentuk Arsitektural dan Pola Ragam Hias)

Abstrak
Melihat keberadaan masjid Nur Sulaiman Banyumas ini mengingatkan kita pada pola segitiga antara kraton/kabupaten, alun-alun dan tempat ibadah seperti pada jaman Majapahit dengan berorientasi pada sumbu ‘keramat’ utara selatan. Sehingga terlihat jelas ekspresi dari kesatuan pemerintah, rakyat dan agama (Tuhan). Masjid ini termasuk dalam kategori non hypostyle. Keunikan yang ada pada masjid ini adalah ruang mihrab terpisah atapnya dengan ruang utama. Dan konstruksi pada bangunan ini menggunakan sistem tajug mangkurat. Ragam hias pada masjid ini sebagian besar menggunakan motif floral arabeasque dan intricate dan berpola simetris. Masjid Nur Sulaiman Banyumas ini merupakan masjid yang memadukan unsur budaya barat dengan budaya lokal meskipun budaya lokal lebih dominan. Ini terlihat dengan adanya umpak berbentuk molding. Pada umumnya bangunan masjid kuno di Jawa ini terlihat jelas sebagai bentuk vernacular.

Kata kunci : non hypostyle, tajug mangkurat, floral-arabesque, intricate, masjid.

Pendahuluan
Arsitektur Islam dengan karakteristik dan keragamannya menjadi bahasan yang penting dalam sejarah perkembangan arsitektur dunia. Jejak-jejak kejayaan Islam dapat dirunut dari peninggalan arsitektur Islam diberbagai wilayah di dunia. Berpusat di Arab, menyebar ke arah timur melalui Mesopotamia, Persia, Turki hingga lembah Sungai Indus. Sedangkan ke Arah barat masuk ke Syiria, Mesir hingga Spanyol melalui Maroko dan lebih jauh lagi kemudian Islam merambah ke benua, memasuki Cina, Indonesia dan daratan-daratan Eropa. Arsitektur Islam memang paling banyak dijumpai di negara-negara di benua Asia dan Afrika (www.geocities.com., Mei 2005). Salah satu peninggalan arsitektur Islam adalah Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam.
Masjid dapat diartikan sebagai tempat dimana saja untuk sembahyang orang muslim seperti sabda Nabi Muhammad SAW: ”Dimanapun engkau bersembahyang, tempat itulah masjid”. Kata masjid disebut sebanyak 28 kali dalam Al Qur’an, berasal dari kata sajad –sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk penuh hormat dan takzim. Sujud dalam syariat yaitu berlutut, meletakan dahi, kedua tangan ketanah adalah bentuk nyata dari arti kata tersebut diatas. Berdasar akar katanya mengandung arti tunduk dan patuh, maka hakikat dari masjid adalah tempat melakukan segala aktifitas berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah semata. Oleh karena itu menurut Yulianto Sumalyo (2000:1, 496), masjid dapat diartikan lebih jauh bukan hanya sekedar tempat bersujud, pensucian, tempat sholat dan bertayamum, namun juga sebagai tempat melaksanakan segala aktifitas kaum muslim berkaitan dengan kepatuhan kepada Tuhan. Secara umum masjid agung atau masjid jami mempunyai kedudukan formal yang ditunjukan antara lain oleh letaknya didaerah civics center, tepatnya disebelah barat alun-alun kota pusat kerajaan atau kabupaten. Orientasi pada sumbu keramat utara selatan dan posisi sentral Kraton atau Kabupaten diantara bangunan penting seperti masjid, tempat tinggal orang-orang terpandang dan lain-lain mengingatkan kita pada konsep kosmik Jawa pada jaman Majapahit. Di sini terlihat jelas pola segitiga Kraton/kabupaten-alun-alun- fasilitas ibadah, ekspresi dari kesatuan pemerintah, rakyat dan agama (Tuhan). Penempatan masjid-masjid kerajaan atau kabupaten di Jawa tersebut erat kaitanya dengan kepentingan pihak kerajaan atau kabupaten. Secara khusus masjid-masjid di Jawa mempunyai ciri-ciri yaitu denah pada umumnya berbentuk bujur sangkar tapi ada juga yang persegi panjang, berdiri diatas pondasi yang tinggi, atapnya bersusun makin keatas makin kecil, sedang pada tingkatan yang paling atas berbentuk limasan, jumlah atap terdiri dari dua hingga lima tingkat, mempunyai ruang tambahan kearah barat atau barat laut yang dinamakan mihrab, mempunyai serambi yang ada di depan atau samping, halaman masjid dikelilingi tembok dan hanya mempunyai sebuah pintu gerbang. Tembok yang mengelilingi bangunan masjid melambangkan batasan antara yang luar dan yang dalam serta memungkinkan integrasi elemen-elemen alam ke dalam lingkungan hidup manusia (Heinz Frick, 1997: 83).
Salah satu peninggalan arsitektural Islam Jawa adalah Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas yang dibangun antara tahun 1755-1861. Dari segi umur Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas telah mewakili persyaratan sebagai monumen sesuai dengan UU No. 5 tahun 1992 Bab I pasal 1 ayat 1 butir a yaitu : ”Benda cagar budaya benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili gaya sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan”. Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas merupakan peninggalan arkeologi Islam dari masa pengaruh kolonial Belanda. Oleh karena itu, Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas mempunyai bentuk penampilan yang khas sesuai dengan jamannya, yaitu perpaduan antara dua unsur kebudayaan yakni kebudayaan tradisional dan kebudayaan barat.
Penulisan tentang masjid ini juga untuk melengkapi pustaka tentang masjid Islam kuno di Pulau Jawa ini yang belum terdokumentasi secara keseluruhan.

Latar Belakang Sejarah
Menurut Romli (1997:7), Banyumas adalah kota kecil yang pernah menduduki posisi penting dalam sejarah perkotaan di Indonesia, sebagai pusat dua pemerintahan, yaitu sebagai ibukota dan ibukota Karesidenan. Keberadaan kota Banyumas sebagai ibukota kabupaten sudah berlangsung cukup lama, yaitu sejak pemerintahan Kerajaan Pajang hingga akhir pemerintahan kolonial. Bupati prtama Banyumas adalah Adipati Mrapat atau Adipati Warga Utama II dan dimakamkam di Makam Pesareyan Dawuhan Banyumas. Adipati Mrapat atau Adipati Warga Utama II menjadi Bupati Banyumas atas anugrah Sultan Pajang. Ketika pusat kerajaan bergeser ke wilayah Mataram kadipaten Banyumas secara otomatis menjadi wilayah kerajaan Mataram Islam. Ketika Mataram Isalam mencapai puncak kejayaannya dibawah pemerintahan Sultan Agung, Banyumas termasuk ke dalam wilayah “Mancanegara Kilen” dan kemungkinan merupakan tempat kedudukan Wedono Bupati “Mancanegara Kilen”. Ketika kerajaan Mataram Islam dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, daerah Banyumas termasuk ke dalam wilayah Kasunanan Surakarta.
Daerah “Mancanegara Wetan” maupun ”Mancanegara Kilen” lepas dari wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, setelah terjadinya perjanjian antara pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan Surakarta maupun Yogyakarta pada tahun 1830. Dengan demikian Kabupaten Banyumas sejak tahun 1830 berada dibawah pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1831 wilayah Banyumas mulai diadakan pangkat Residen dan asisten Residen untuk mendampingi Bupati.Residen Banyumas yang pertama adalah tuan De Sturler dibantu empat orang Asisten Residen yaitu, Varkevisser Asisten Residen Purwokerto, Panggilmeester Asisten Residen Banjarnegara, Tak Asisten Residen Purbalingga, De Mayer Asisten Residen Cilacap.
Sejak tanggal 1 Januari 1936 Kabupaten Purwokerto dimasukan kedalam wilayah kota Banyumas. Namun bersamaan dengan itu Ibukota karisidenan dan Kabupaten Banyumas ikut dipindahkan ke Purwokerto. Pemindahan Ibukota dilaksanakan tanggal 26 Februari 1936 yang kemudian ditandai dengan pemindahan pendopo Kabupaten Banyumas ke Purwokerto pada bulan Januari 1937. Dengan demikian Kota Banyumas semakin sunyi, namun bekas kemegahan kota tesebut dimasa lalu masih tampak hingga saat ini yakni dengan adanya peninggalan berupa bangunan-bangunan bekas rumah Bupati, rumah penjara, sekolah-sekolah, masjid Agung dan bangunan-bangunan lain yang mengelilingi alun-alun serta bekas rumah Residen.
Masjid Agung yang merupakan salah satu ciri khas peninggalan kuno Kota Banyumas saat ini bernama Masjid Besar Nur Sulaiman Banyumas.Menurut informasi para narasumber nama Nur Sulaiman diambilkan dari nama Nur Daiman – yaitu arsitek masjid tersebut-dan Sulaiman, penghulu masjid yang pertama. Perpaduan kedua nama itu diabadikan menjadi nama masjid tersebut pada tahun1992.
Secara administratif, Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas terletak di Kelurahan Sudagaran, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Di sebelah utara Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas dengan jalan Sekolahan, di sebelah timur berbatasan dengan alun-alun Banyumas, di sebelah selatan berbatasan dengan jalan Serayu, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan jalan Kulon. Sebagaimana di lokasi Masjid Agung lainnya, masyarakat setempat menyebut lokasi perkampungan disekeliling masjid Agung Banyumas dengan nama Kampung Kauman. Namun nama Kauman secara administratif tidak tercatat pada buku pembagian wilayah di Kelurahan Sudagaran. Adapun secara geografis, masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas terletak pada 7o30’7” BT dan 109o15’10” LU.

Denah masjid dan alun-alun
Untuk mengetahui secara pasti kapan berdirinya Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas merupakan hal yang sangat sulit karena tidak ada bukti tertulis tentang pendirian masjid tersebut. Namun untuk menelusuri masa pendirian Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas akan dicoba menelusuri jejak-kejak dan peristiwa yang berhubungan dengan masjid tersebut. Menurut riwayat, Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas didirikan kurang lebih semasa dengan pendirian rumah Kabupaten dengan pendopo” Bale Sipanji”-nya. Sedangkan menurut Babad Banyumas yang dihimpu n oleh Oemardani dan Poerbosewojo dikatakan bahwa Bale Sipanji yang merupakan pendopo Kabupaten Banyumas dibangun oleh Raden Tumenggung Yudonegoro III (Bupati Banyumas yang ke IX yakni pengganti Tumenggung Yudonegoro II yang diangkat sebagai patih I Keraton Yogyakarta). Kalau cerita tersebut benar berarti pendopo Bale Sipanji didirikan setelah tahun 1755 yakni tahun diangkatnya Tumenggung Yudonegoro II menjadi patih Keraton Yogyakarta. Adapun Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas didirikan setelah pendopo Bale Sipanji. Hal ini sesuai data yang menunjukan bahwa pendirian sebuah Keraton diikuti pula dengan pendirian tempat ibadah dalam hal ini masjid. Misalnya kraton Surakarta didirikan pada tahun 1746, sedangkan bangunan masjidnya didirikan pada tahun 1763. demikian pula kraton Yogyakarta didirikan pada tahun 1756, sedangkan bangunan masjidnya didirikan pad tahun 1773.
Pada masa pemerintahan Raffles (1811-1816) kemungkinan tata kota Banyumas sudah mendekati bentuk yang sekarang. Hal ini dapat dibuktikan dari permohonan Bupati Banyumas kepada Raffles agar kabupaten Banyumas dilepasklan dari Kraton Surakarta, dan dirinya ditetapkan sebagai sultan. Di dalam Babad Banyumas juga disebutkan bahwa pada tahun 1831 Gubernur Jendral De Kock selain mengangkat Residen, Asisten Residen, Bupati, Patih, Wedono, Kolektor, juga Penghulu, Mantri Polisi, Mantri Kabupaten, Mantri Cacar, Mantri Jaksa untuik wilayah Kabupaten Banyumas. Penghulu adalah pimpinan tertyinggi di dalam organissasi masjid. Penghulu pada masa kerajaan Islam diangkat oleh Sultan/Raja, sedangkan pada masa pemerintah kolonial Belanda, penghulu diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal bahkan kegiatan di masjid-masjid terutama di masjid agung selalu dikontrol oleh pemerintah Belanda. Masjid-masjid agung di kabupaten kemudian menjadi lambang feodalisme sebagai alat pemerintah kolonial di daerah. Posisi masjid agung di sebelah barat alun-alun tetap dipertahankan untuk kepentingan politiknya.
Keberadaan Masjid Agung Banyumas semakin tampak ketika wilayah kabupaten Banyumas dilanda banjir besar pada tanggal 21-23 Februari 1861. Menurut Babad Banyumas maupun cerita rakyat sampai saat ini masjid agung maupun pendopo Bale Sipanji digunakan untuk tempat mengungsi karena tempatnya lebih tinggi dibandingkan daerah di sekitarnya, seperti yang tersurat pada Babad Banyumas Wiryaatmajan yang erat hubungannya dengan masjid Banyumas yaitu :
“Pada bulan Februari 1861 terjadi hujan lebat, tidak hanya di karesidenan Banyumas tetapi merata di seluruh Jawa. Oleh karena itu pada hari Jumat Kliwon tanggal 21 Februari 1861 kota Banyumas terlanda banjir karena meluapnya sungai Serayu. Rumah residen tenggelam, di tempat ini air mencapai ketinggian 3,5 meter, sedang di rumah Kabupaten air menyentuh di pendopo Kabupaten. Banyak sekali penduduk yang mengungsi di pendopo Kabupaten maupun di masjid Agung yang karena letaknya yang tinggi tidak ikut tenggelam. Banjir berlangsung dua hari semalam”.

Seperti disebutkan diatas, menurut Babad Banyumas, masjid ini sejaman dengan bangunan pendopo “Bale Sipanji”. Adapun pembangunan pendopo “Bale Sipanji” itu dilaksanakan setelah tahun 1755. data tersebut juga diperkuat dengan keterangan bahwa waktu banjir besar di Banyumas bulan Februari 1861 banyak orang yang mengungsi di pendopo Kabupaten dan Masjid Agung. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas dibangun pada suatu masa antara tahun 1755 – 1861.

Bentuk Arsitektural Masjid Nur Sulaiman Banyumas
Arsitektur Islam menciptakan pembatasan bidang untuk penghidupan batin dan keagamaan. Pembatasan oleh bidang dan garis merupakan gerak maju dalam bidang tanpa menemtukan atau menciptakan ruang tertentu. Jikalau diadakan pembentukan ruang, ruang tersebut terbentuk oleh bidang pembantasan : tenang, sebagai bujur sangkar, tidak terarah. Pembentukan atau perwujudan arsitektur Islam tidak penting dan tergantung pada kecakapan tukang, kerajinan tangan dan pokok pembentukan tradisional secara konstruktif.
Di dalam nilai-nilai budaya mengenai arsitektur tradisional, terkandung suatu abstraksi mengenai hubungan manusia dengan kosmos atau hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Hubungan ini bersifat timbal balik, merupakan hubungan sebab akibat, atau kausal dengan demikian saling mempengaruhi. Nilai budaya yang demikian tidaklah bersifat statis, tetapi dinamis dan berkembang. Hal ini dapat dilihat dalam arsitektur tradisional pada proses perkembangan bentuk bangunan. Salah satunya adalah bangunan masjid.
Gaya dan bentuk arsitektur masjid berkembang berabad-abad di seluruh penjuru dunia, masing-masing mempunyai ciri yang bila dilihat semakin menditail semakin banyak bahkan tidak terbatas perbedaan satu dengan yang lain. Untuk menguraikan perbedaan arsitektural sebaiknya dilihat pada pola pikir, konsep dan budaya masyarakat di suatu tempat dan jaman dimana masjid didirikan.. berdasar segipandang tersebut maka akan lebih terlihat perbedaan yang prinsip antara satu dengan yang lain. dengan demikian terlihat secara garis besar, dapat dibedakan antara dua bentuk atau tata ruang masjid, yaitu kategori hypostyle dan non-hypostyle (Sumalyo, 2000:656). Arsitektur masjid hypostyle terbentuk karena kecenderungan pola pikir vernakular atau mengambil bentuk, pola dari budaya dan lingkungan setempat (bahasa setempat). Ciri khas arsitektur hypostyle adalah adanya halaman dalam yang dikelilingi oleh portico atau iwan (serambi yang bertiang-tiang), adanya sahn (tempat wudhu atau ruang peralihan dari luar ke dalam masjid, dimana biasanya diletakkan air mancur berfungsi ganda untuk wudu dan elemen estetis.) dalam bangunan masjid dan terdapat banyak kolom. Sedangkan arsitektur masjid non-hypostyle yang mempunyai ciri-ciri yaitu tidak mempunyai sahn maupun iwan. Mesjid model ini biasanya mempunyai depan, samping dan kadang-kadang belakang, terbentuk oleh pagar keliling, tidak mempunyai halaman dalam. Seperti halnya mesjid hypostyle, non hypostyle juga terlihat sebagai bentuk vernakular yang menerapkan “bahasa setempat” dalam arsitektur (Sumalyo, 2000: 658).
Secara umum bentuk Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas masih mengacu pada bentuk masjid kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Ciri-ciri pokok masjid masa itu antara lain beratap tumpang, berdenah bujur sangkar, berserambi, mempunyai batur yang tinggi dan dilengkapi dengan pagar keliling dengan pintu utama sebelah timur. Selain itu, dilengkapi pula mimbar berbentuk tandu serta maqsura. Sehingga dapat dikatakan bahwa Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas termasuk masjid yang bertipe non-hypostyle.

Foto tampak dari gerbang depan

Atap mesjid ini berbentuk tajug bersusun tiga, paling bawah disebut penitih, tengah disebut pananggap dan puncaknya berbentuk piramidal brunjung dihias dengan mustaka. Pada celah antara dua atap bertumpuk terdapat celah sehingga cahaya alami dapat masuk. Menurut pandangan, atap berbentuk tajug tidak sesuai untuk rumah duniawi, namum khusus digunakan untuk candi, masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya. Karena atap tumpang yang berundak itu adalah hasil kesenian Indonesia sendiri, yang berupa bangunan meru, dimana pada bangunan jaman sebelum Islam hal itu telah banyak ditemui dan berfungsi sebagai bangunan suci (GF. Pijper, 1987:275). Sekalipun atap rumah di Indonesia, khususnya di Jawa tidak bertingkat, tetapi sesuatu dasar untuk dijadikan atap bertingkat telah ada ialah atap yang berbentuk joglo (Sucipto Wiryosuparto, 1962: 153).
Keunikan yang ada Masjid Nur Sulaiman adalah ruang mihrabnya mempunyai atap sendiri. Atap tersebut berupa tajug bersusun dua, dan dilengkapi dengan mustaka berbentuk mirip gada. Atap mihrab yang terpisah dengan atap ruang utama masjid tampaknya menjadi prototipe bagi masjid-masjid yang lebih muda di wilayah Banyumas. Hal ini dapat dijumpai antara lain pada masjid kuno di komplek makam para Bupati Banyumas di desa Dawuhan, Banyumas. Ini berbeda denagn masjid-masjid Agung Islam kuno pada umumnya yang atap mihrabnya menjadi satu dengan ruang utama, misalnya Masjid Agung di Demak, Kudus, Yogyakarta ataupun Surakarta.
Dilihat dari jumlah atap masjid ini terdiri dari tiga organisasi ruang, yaitu : Serambi, Ruang utama dan mihrab. Pada Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas tidak terdapat kolam di depan atau sekeliling bangunan masjid seperti yang terdapat pada masjid Jawa kuno, namun terdapat bangunan fasilitas yaitu tempat wudlu bagi pria dan wanita. Disamping itu terdapat beberapa bangunan baru yaitu kantor KUA, kanor BKM dan kantor Penilik Pendidikan Islam.
Serambi sebagai salah satu komponen masjid kuno berdiri di depan ruang utama. Serambi yang berukuran 11 x 22 m ini sekarang berfungsi sebagai tambahan tempat sholat, tempat anak-anak belajar Al-Qur’an dan pelajaran agama lainnya. Pada bagian depan serambi terdapat emperan yang atapnya merupakan perpanjangan dari atap serambi. Lantai serambi ditinggikan 130 cm dari permukaan halaman masjid. Menurut keterangan pengurus BKM permukaan lantai serambi ini dahulu berupa plesteran saja. Akan tetapi pada perbaikan yang dilakukan pada tahun 1929 lantai serambi ditutup tegel berukuran 20 x 20 cm. Tegel serambi disusun sebagi berikut: bagian pinggir ditutup tegel abu-abu, sedang bagian tengah ditutup tegel warna-warni bermotif geometrik dan bunga yang disusun menurut pola tertentu. Ruang serambi ini mempunyai dinding di sisi utara dan selatan, sisi timur terbuka, sedang sisi barat terdapat dinding pembatas antara serambi dan ruang utama. Dinding sisi utara dan selatan masing-masing mempunyai dua pintu yang ambang atasnya berbentuk lengkung. Kedua pintu itu mengapit satu jendela berbentuk segi empat.

Situasi serambi masjid

Ruang utama Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas berdenah bujur sangkar dengan ukuran 22 x 22 m dengan ketinggian 14,5 m. Lantainya lebih tinggi 20 cm dari lantai serambi. Ruang ini berfungsi sebagai ruang pokok pada waktu berjamaah. Untuk masuk kedalam ruang utama ada tiga pintu, pintu tengah berukuran tinggi 230 cm lebar 192 cm, sedang dua pintu yang mengapitnya berukuran tinggi 230 cm dan lebar 129 cm. Berdasarkan ukuranyan pintu tengah merupakan pintu utama yang hanya dibuka pada hari Jumat. Lantai ruang utama ditutup dengan tegel abu-abu ukuran 20 x 20 cm dikombinasi dengan tegel kembang warna-warni serta tegel warna polos ukuran 20 x 20 cm. Sebagi contoh lantai bagian pinggir ditutup dengan deretan tegel kembang bermotif geomtris, lantai sisi timur ditutup dengan tegel warna aba-abu dan krwem yang disusun selang-seling membentuk motif papan catur, bagian tengah ditutup dengan tegel berwarna dasar krem dan bermotif flora.
Di dalam ruang utama terdapat empat saka guru dan dua belas saka pengarak. Tiang-tiang tersebut dibuat dari kayu jati dan masing-masing dilandasi oleh umpak batu. Ke- 16 umpak yang ada di ruang utama berbentuk motif molding, tetapi umpak saka guru berukuran lebih besar yakni sisi-sisinya berukuran 75 cm, tingginya 56 cm. Sehingga terlihat perpaduan antara gaya barat dengan lokal. Kemungkinan konstruksi bangunan ini menggunakan sistem tajug Mangkurat. Hal ini dapat dilihat dengan adanya 4 umpak yang lebih besar ukurannya dari pada umpak-umpak yang lain. berbeda dengan Masjid Agung Yogyakarta yang menggunakan sistem tajug Ceblokan.
Gambar umpak berbentuk motif molding

Mihrab, adalah pintu simbolis, berdiri bersudut siku-siku pada arah Kabah di Mekah merupakan kemahasucian dari masjid. Mihrab menunjuk jurusan spiritual ke arah Mekah. Menurut Frick (1997 : 52), Mihrab menunjuk kepada dunia diluar batas pengetahuan kita, suatu penglihatan mistis-teologis. Seperti telah disebutkan di atas bahwa ruang mihrab pada masjid ini mempunyai atap terpisah yang berbentuk atap tumpang bertingkat dua. Oleh karena itu, dalam hal ini ruang mihrab yang menjorok ke barat itu dipandang sebagai komponen ruang tersendiri pada masjid yang bersangkutan. Ruang mihrab tersebut berukuran lebar 220 cm, panjang 400 cm, tinggi 590 cm. Puncak atap ditutup oleh mustaka yang berbentuk menyerupai gada.

Tampak depan dan samping Masjid Nur Sulaiman Banyumas

Sedangkan warna dominan pada ruang masjid ini adalah warna hijau. Warna hijau adalah warna khas Islam yang merupakan warna keluarga Nabi Muhammad SAW. Warna ini juga banyak digunakan pada partai-partai yang bernafaskan Islam seperti PKB, PBB dan lain-lain serta bangunan-bangunan yang bercirikan gaya Islam.

Ragam Hias pada Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas
Menurut Frick (1997: 182-185), ragam hias berhubungan erat dengan pemisahan mistis. Artinya ragam hias dengan nilai spiritualnya akan memperingati manusia atas peristiwa-peristiwa tertentu, batasan rutual dan sebagainya. Ragam hias sejak dahulu kala digunakan untuk menyampaikan gagasan kosmologis dan metafisis dalam bentuk simbol dari generasi ke generasi. Dengan demikian, ragam hias memantapkan perwujudan kebudayaan walaupun kadang-kadang faktor lain tampak lebih penting.
Dekorasi merupakan bagian dari seni seperti juga arsitektur, terkait langsung pada jaman dan budaya suatu masyarakat. Pengaruh tradisi Indonesia-Hindu dapat dijumpai pada hiasan-hiasan masjid kuno yang merupakan kelanjutan dari tradisi seni candi. Hal ini juga tampak pada bangunan kayu pada masjid kuno yang pada dasarnya berasal dari zaman Pra Hindu yang telah disempurnakan (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1976:69). Dalam hal hiasan pada masjid tidak lepas dari hukum Islam yang tertuang dalam Hadist dan Al-Quran khususnya yang berkaitan dengan seni. Seni terkait langsung dengan keindahan, dapat diartikan sebagai segala sesuatu ciptaan manusia yang membuat orang senang.Meskipun batasan tersebut mengandung sifat subyektif, namun dapat dinilai dengan fungsi dari suatu seni dan penilaian rata-rata dari banyak orang.
Ornamen yang merupakan dari ragam hias masjid dapat memberikan kesan kindahan dan kesempurnaan sehingga diperbolehkan menghias masjid menjadi indah karena Allah menyukai keindahan. Tetapi sebagian aspek kultural juga berfungsi sebagai wadah untuk mengunghkapkan perasaan manusia dan memberikan wujud sebagai penyalur ekspresi berbagai emosi yang ingin diterapkan di dalam bangunan masjid tersebut. Sehingga dengan demikian ornamen juga memancing perasaan yang seru pada orang lain yang menyaksikannya. Oleh karena itu menurut Abdul Rochym (1983:170), orang dapat mengagumi dan ikut merasakan keindahan yang ditampilkannya melalui garis, irama, bentuk dan warna serta gerak tertentu dari ujud keseluruhan dari ornamen itu. Adapun motif manusia dan hewan apalagi lukisan mengenai Nabi dan Allah tidak boleh. Disatu sisi hal itu menjauhkan diri dari sikap dan kegiatan kemusyrikan, sedang disisi lain untuk menjaga agar tidak mencemarkan keluhurannya (Wiryoprawiro, 1986:170). Menurut Sumalyo (2000: 13-22), hiasan-hiasan yang menghiasi masjid biasanya mengambil motif dari bentu-bentuk botanis (floral-Arabesque), geometris (intricate) dan cosmis (kaligrafi). Arabesque yaitu garis lengkung-lengkng abstraksi dari bentuk floral (seperti daun, batang, bunga dan sebagainya). Secara fungsional dugunakan pada pintu, jendela dan ventilasi dengan membuat bidang-bidang yang terbentuk oleh lubang-lubang tembus udara. Intricate adalah hiasan 2 dimensional yang terbentuk oleh garis-garis atau bidang-bidang datar warna – warni dari bermacam-macam bahan menjadi pola seperti bintang, rumit dan ramai. Garis sering terbentuk oleh relief dan warna-warnanya banyak menggunakan keramik, mozaik, marmer dan bahan alami yang memiliki warna alami pula. Cosmis atau kaligrafi adalah seni menulis huruf yang merupakan bagian dari seni. Pada umumnya tulisan dan kalimatnya mengutip Al Quran. Keindahan Kaligrafi bukan hanya dari bentuknya semata, tetapi juga dari makna dan isinya. Kaligrafi sering menyatu dengan hiasan geometris serta dengan elemen-elemen struktural seperti kolom, balok, kubah dan lain sebagainya. Berdiri sendiri atau kadang berderet membentuk garis dan bidang (www.geocities.com., Februari 2005). Dikenal beberapa aliran kaligrafi Arab, antara lain : Mashq, Kufic Persegi ( Square Kufic), Kufic Timur, Thuluth, Naskhi, Muhaqqaq, Rihani dan Taliq (Sumalyo, 2000 : 19).
Ragam hias pada masjid Nur Sulaiman Banyumas ini pada umumnya menggunakan motif-motif botanis, geometris dan cosmis. Pada ruang serambi terdapat ukir-ukiran dekoratif pada saka guru, sesanten dan godhegan. Ukiran pada bagian pangkal saka guru berupa ragam hias geometris yang diisikan dalam bingkai berbentuk tumpal dan segi empat. Ragam hias pada sesanten juga berupa sulur-suluran dan bunga, tetapi berbeda dengan ukiran pada pangkal saka guru, ukiran pada sesanten disusun berbentuk pola bolak-balik. Ragam hias suluran juga digunakan pada godhegan, saka guru serambi ini. Semua tiang, pengeret, kili berikut ukirannya dibuat dari kayu jati.
Untuk masuk ke dalam ruang utama ada tiga pintu utama yang ambang atasnya dihiasi ukiran krawangan dengan ragam hias flora yang menunjukkan gaya awal abad XX. Menarik perhatian bahwa panil ukiran pada ambang atas pintu utama bercorak bolak-balik, seperti halnya ukiran pada sesanten di serambi. Pada bagian pangkal dan ujung saka guru terdapat hiasan berupa ukiran tempel berbentuk tumpal, yang diisi ragam hias flora berpola simetris. Adapun langit-langit ruang utama Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas ditutup dengan papan-papan kayu jati. Pada bagian tengah dan sudut-sudut langit-langit (pemidangan) terdapat ukiran bermotif geometris yang diisi dengan ragam hias flora. Ukiran tumpal yang diisi ragam hias flora juga diterapkan pada sudut-sudut pertemuan antara tiang-tiang dengan kili serta blandar pengarak.
Sedangkan pada ruang mihrab, terdapat ukiran yang terdapat di atas kusen pintu masuk berupa krawangan yang memuat ragam hias flora dan geometris. Sebagian besar hiasan dalam masjid ini berpola simetris. Menarik di sini bahwa sebagian besar hiasan pada masjid ini berbentuk flora dan geometris. Kaligrafi hanya terdapat pada gantungan bedhug. Seperti diketahui bahwa hiasan kaligrafi terdapat pada umpak dan tiang sakaguru. Hal itu tidak terdapat pada masjid ini.

Artefak Kelengkapan Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas
Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas mempunyai beberapa artefak yang digunakan dalm rangkaian tata peribadatan sholat. Artefak-artefak itu adalah mimbar, maskura, bedug dan kentongan.
Mimbar yang fungsinya sebagai tempat khotib menyampaikan khotbah Jum’at, atau ceramah keagamaan lain, di Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas ditempatkan disebelah utara pintu ruang mihrab. Mimbar kuno ini berukuran lebar 125 cm, pnjang 220 cm, tinggi 167 cm dan mempunyai empat tiang penyangga atap dari kayu berukuran 10/10 cm. Untuk mencapai tempat duduk bagi khotib ada tiga anak tangga yang pada sudut-sudutnya terdapat hiasan berupa menara-menara kecil dengan puncak runcing. Bagian-bagian tempat duduk tersebut tidak memuat hiasan apapun. Seperti halnya kursi biasa, mimbar ini juga mempunyai tangan-tangan yang di bagian ujung membentuk ukel,.Tangan-tangan ini pada sisi luarnya dipenuhi ukiran timbul dengan motif flora.
Bagian bawah tempat duduk mimbar merupakan bagian yang berongga, yang ditutup pintu geser. Dengan demikian bagian tersbut dapat dimanfaatkan untuk tempat menyimpan perlengkapan masjid. Atap mimbar berbentuk lengkung, dan keduanya berupa ukel. Bagian depan atap mimbar ini memuat ukiran dekoratif terdiri atas sulur-suluran yang berpangkal pada ragam hias bunga yang terletak di tengah. Ukiran ini dicat dengan warna emas dan merah.
Di dekat mimbar terdapat artefak lain yaitu maksura, yaitu tempat tempat khusus bagi penguasa tertinggi disuatu tempat. Meskipun di dalam ajaran Islam tidak ada pembedaan tempat bagi umat pada waktu sholat berjamaah, namun kemudian pada akhir masa Khulafa’urrasyidin dirasa perlu untuk membuat tempat sholat khusus untuk keamanan bagi penguasa. Didalam perjalanan sejarah –terutama di Indonesia- fungsi keamanan maksura kemudian berubah menjadi simbolik saja. Maksura di Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas berbentuk mirip panggung kecil berukuran 230 x 230 cm dibuat darim kayu jati. Lantai maksura berupa tatanan papan dan disangga oleh empat kaki setinggi 9,5 cm. Pada keempat sudutnya terdapat tiang yang menyangga bagian atas maksura yang terdiri atas empat bidang berukir. Keseluruhan maksura dicat warna biru muda, sedang ukirannya dicat warna emas.
Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas memiliki alat pemberi tanda waktu sholat berupa bedhug dan kenthongan. Bedhug ini mempunyai ukuran garis tengah 94,5 cm dan panjang 158 cm. Artefak ini digantungkan pada gawangan kayu setinggi 250 cm, panjang 238 cm dan lebar 158 cm. Di bagian atas gawangan terdapa hiasan bermotif flora yang ditengahnya memuat prasasti pendek berhuruf Arab menerangkan angka 1312, yang menunjukan tahun Hijriyah 1312. Dilihat dari bentuk hurufnya, tulisan ini termasuk dalam aliran Taliq. Kenthongan yang terletak di dekat bedhug tidak digantung, melainkan berdiri dengan disangga kayu bersilang yang mempunyai unkuran diameter 21 cm, tinggi 130 cm dan bentuknya mirip kemuncak atap mihrab.
Sebagai kelengkapan suatu masjid, Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas juga mempunyai tempat wudhu, yang diwujudkan dalam dua bangunan. Kedua bangunan benbentuk kampung itu berdiri di sebelah utara untuk kaum pria dan selatan masjid untuk kaum wanita. Kedua bangunan itu dihubungkan dengan ruang utama masjid oleh lorong beratap (doorloop), dan tangga naik yang dilengkapi pegangan dari besi dengan lengkung-lengkung dekoratif. Kedua bangunan ini pernah diperbaiki sebagaiman dapat dibaca pada prasasti huruf latin. Prasasti yang tertera pada dinding penyekat tempat wudhu wanita berbunyi : ”dipugar Ke I 1889, Ke II 1980”. Adapun prasasti pada tempat wudhu pria berbunyi: ”Selesai dipugar pada tangal 1 Juni 1989”.

Penutup
Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas merupakan masjid peninggalan Islam kuno di pesisir pantai selatan pulau Jawa. Tidak ada kepastian kapan masjid ini dibangun karena memang tidak ada data atau dokumen yang pasti kapan masjid ini di bangun. Sementara ini hanya didasarkan pada peristiwa-peristiwa yang menyertai perkembangan kota Banyumas dan diperkirakan dibangun antara tahun 1755-1861.
Masjid ini termasuk type non hypostyle. Hal ini bisa terlihat dengan tidak adanya sahn maupun iwan. Juga terdapat ruang depan (mihrab), ruang tengah (utama), serambi dan terbentuk oleh pagar berkeliling. Secara keseluruhan, bentuk arsitektural masjid agung Nur Sulaiman Banyumas tidak berbeda dengan masjid agung-masjid agung di Pulau Jawa ini yaitu beratap tumpang dengan sistem tajug, mempunyai mihrab, serambi, ruang utama denagn perlengkapannya yaitu maksura, mimbar, bedhug dan kenthongan. Dengan disertai fasilitas-fasilitas pendukung yaitu tempat wudhu dan bangunan penyerta. Tidak seperti masjid-masjid Islam kuno di pulau Jawa ini, masjid ini mempunyai ruang mihrab sendiri, terpisah dengan ruang utama. Masjid ini juga merupakan perpaduan antara kebudayaan barat dan lokal yaitu dengan adanya umpak berbentuk molding di ruang utama masjid ini. Kemungkinan konstruksi bangunan ini menggunakan konstruksi tajug Mangkurat.
Ragam hias masjid ini sebagian besar bermotif botanis (floral-arabesque) dan geometris (intricate). Sedangkan motif cosmic (kaligrafi) hanya terdapat di gantungan bedhug. Pada umpak dan keempat saka guru yang biasanya terdapat hiasan motif kaligrafi tidak terdapat pada masjid ini.




Daftar Pustaka

Adrisijanti Romli, Inajati, DR, dkk, Laporan Purna Pugar Masjid Agung Nur Suaiman Banyumas, Jawa Tengah, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Jawa Tengah di Prambanan, 1997/1998.

Dakung, Sugiyarto, Arasitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1981/1982.

Frick, Heinz, Pola Struktural dan Teknik Bangunan di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1997.

M. Wiryoprawiro, Zein, Perkembangan Masjid di Jawa Timur, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986.

Pijper, GF, The Minaret in Java, India Antiqua, Leyden: Kern Institute, 1947, terjemahan Sri Hartati, Sastra UGM, 1987.

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Sejarah Seni Rupa Indonesia, Jakarta : Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976.1977.

Rochyim, Abdul, Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, Bandung : Angkasa, 1983.

Sumalyo, Yulianto, Arsitektur Mesjid dan Monumen Sejarah Muslim, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000.

Wiryosuparto, Sucipto, Sejarah Bangunan Masjid di Indonesia, Almanak Muhammadiyah, Djakarta: Pusat Pimpinan Muhammadiyah Madjelis Taman Pustaka, 1962.

http//www.geocities.com., Februari dan Mei 2005.

Selasa, 20 Januari 2009




MELACAK JEJAK ARSITEKTUR JAWA

A.PENDAHULUAN
Telah banyak teori yang mencoba menjelaskan perihal bagaimana caranya pengaruh kebudayaan India (Hindu-Buddha) sampai ke kepulauan Indonesia. Hal yang sudah pasti adalah berkat adanya pengaruh tersebut penduduk kepulauan Indonesia kemudian memasuki periode sejarah sekitar abad ke-4 M. Menurut J.L.A Brandes (1887) penduduk Asia Tenggara termasuk yang mendiami kepulauan Indonesia telah mempunyai 10 kepandaian menjelang masuknya pengaruh kebudayaan India, yaitu: (1) mengenal pengecoran logam, (2) mampu membuat figur-figur manusia dan hewan dari batu, kayu, atau lukisan di dinding goa, (3) mengenal instrumen musik, (4) mengenal bermacam ragam hias, (5) mengenal sistem ekonomi barter, (6) memahami astronomi, (7) mahir dalam navigasi, (8) mengenal tradisi lisan, (9) mengenal sistem irigasi untuk pertanian, (10) adanya penataan masyarakat yang teratur. Dalam kondisi peradaban seperti itulah mereka kemudian berkenalan dan menerima para niagawan dan musafir dari India ataupun dari Cina.
Setelah berinteraksi dengan para pendatang dari India, maka diterimalah beberapa aspek kebudayaan penting oleh penduduk kepulauan Indonesia. Aspek-aspek kebudayaan dari India yang diterima oleh nenek moyang bangsa Indonesia benar-benar barang baru, yang tidak mereka kenal sebelumnya, yaitu:
1. Aksara Pallava
2. Agama Hindu dan Buddha
3. Penghitungan angka tahun Saka
Melalui ketiga aspek kebudayaan dari India itulah kemudian peradaban nenek moyang bangsa Indonesia terpacu dengan pesatnya, berkembang dan menghasilkan bentuk-bentuk baru kebudayaan Indonesia kuna yang pada akhirnya pencapaian itu diakui sebagai hasil kreativitas penduduk kepulauan Indonesia sendiri. Salah satu hasil kebudayaan yang merupakan kreatifitas penduduk Indonesia adalah arsitektur.
Jawa merupakan daerah yang terkena pengaruh Hindu dan Budha. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya peninggalan-peninggalan arkeologis. Salah satu peninggalan yang menarik untuk diamati adalah arsitektur Jawa. Berikut ini akan di uraikan tentang data-data arkeologis mengenai sejarah arsitektur Jawa dari sumber pictorial, sumber verbal dan sumber arsitektural.
Pengalaman Sejarah
Membahas perkembangan rumah tradisional Jawa tidak bisa lepas dari sejarah. Dalam bahasan ini dibatasi yaitu dari zaman neolitik dan megalitik sebagai awal mula mengenal rumah sampai zaman penjajahan Belanda yang banyak terjadi akulturasi budaya termasuk didalamnya arsitektur.
1.Masa neolitik (2500-1500 SM) dan megalitik ( 1500 SM-200 M)Pada masa itu orang Jawa hidup dalam masyarakat pedesaan yang sudah dikonsolidasikan dan menjadi inti masyarakat baru yang memperkembangkan desa atau kampung tradisional. Bentuk gubuk mereka masih agak kecil, berbentuk kerucut dengan atap yang langsung menempel ke tanah dan dibuat dari daun-daunan.
Pada perkembangannya, teknik tradisional tentang pembangunan rumah yang dapat dibongkar pasang (knock down) mulai dikembangkan. Hal ini dikarenakan rumah tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka yaitu ladang berpindah serta pembukaan hutan dengan cara membakarnya. Atap rumah yang berbentuk kerucut sudah terpisah dari tanah.
2.Zaman Purba
Zaman keemasan peradaban Jawa dimulai pada akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9 saat wangsa Sailendra yang beragama Budha mengambil alih kekuasaan di Jawa dari wangsa Sanjaya. Tempat kedudukan pemerintahan dinamakan Keraton, yang berarti istana raja dan rumah tangga istana. Pada masa itu juga konstruksi kayu diperkenalkan kepada rakyat.
Sekitar abad 13 –14 pada saat Majapahit diperintah oleh Hayam Wuruk, dalam bidang arsitektur dikembangkan ekspresi dan teknik pembangunan yang baru. Buku pelajaran bagi bermacam bagian pembangunan diterbitkan, pengetahuan dasar tentang pembangunan rumah kediaman, candi, pemandian dan tata kota diadakan pada waktu itu. Pembangunan dengan batu alam dihentikan dan penggunaan batu merah beserta konstruksi kayu diistimewakan dan diperkembangkan sedemikian rupa sehingga masih dipergunakan pada masa kini dalam arsitektur dan tata kota.
3.Zaman Madya
Masuknya agama Islam di Indonesia pada awal abad ke-16 terutama terjadi melalui hubungan dagang dengan saudagar Arab dan Persia sepanjang rute perdagangan dengan cara damai. Dalam penyebaran agama Islam di Jawa, kerajaan Demak berperan penting, karena berhasil mengalahkan Majapahit pada tahun 1478 M dan menundukkan pelabuhan Jepara pada tahun 1511 M. Penyebaran agama Islam terjadi secara bertahap dimulai dari pantai utara sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan. Kemudian bergerak ke arah pedalaman. Penyebaran agama Islam di pulau Jawa melalui sarana wayang dan gamelan yang notabene adalah kebudayaan Hindu. Dengan demikian gabungan antara kebudayaan Islam dan Hindu terwujud dengan baik, begitu juga dalam hal arsitektur.
Dalam arsitektur Hindu, yang diutamakan adalah gambaran aturan kosmis yang dinamakan Mandala atau Yantra. Mandala atau Yantra juga berarti ilmu proporsi atau perbandingan serta menentukan bentuk dan ukuran bagian-bagian bangunan. Dalam Islam sebaliknya menciptakan pembatasan bidang untuk penghidupan batin dan keagamaan. Pembatasan oleh bidang garis merupakan gerak maju dalam bidang tanpa menentukan atau menciptakan ruang tertentu. Jikalau ada pembentukan ruang, ruang tersebut terbentuk oleh bidang pembatasan : tenang, sebagai bujur sangkar, tidak terarah. Alam sekitar dipilih sebagai perhiasan abstrak, sebagai pertunjukan dalam garis-garis dan bidang-bidang tertentu. Untuk dekorasi, diperbolehkan menghias masjid sehingga menjadi indah, karena Allah menyukai keindahan. Adapun motif manusia dan hewan apalagi lukisan mengenai Nabi dan Allah tidak boleh. Di satu sisi hal itu menjauhkan diri dari sikap dan kegiatan kemusyrikan, sedang di sisi yang lain untuk menjaga agar tidak mencemarkan keluhurannya .
Kemudian juga perlu diketahui bahwa pusat-pusat kekuasaan sering berpindah-pindah pada zaman ini yang merugikan perwujudan kebudayaan dalam bidang arsitektur sehingga peninggalan arsitektur yang ada hanya beberapa masjid saja.
4.Zaman Penjajahan Belanda
Bagaimanakah penjajahan yang fungsi utamanya selama berabad-abad adalah perluasan kekuasaan, penjaminan terus menerus dan penyingkiran perlawanan pada waktu yang sama memungkinkan minoritas orang Eropa sebagai penjajah akhirnya menguasai penduduk Asia sekaligus kebudayaannya? Pertanyaan ini bukan mengutamakan bagaimana sikap penjajah terhadap warga negara dan struktur masyarakatnya, melainkan tentang penyingkiran kaum bangsawan, pembatasan kebebasan bergerak, serta tindakan atas kebiasaan dan kepercayaan penduduk yang mempengaruhi arsitektur bangsa-bangsa tersebut.
Setiap pembangunan berdasar atas prasyarat kedewaan. Pada keraton konsep ini diwujudkan dan merupakan hal pantas untuk ditiru. Konsep ini akibatnya sangat buruk, sehubungan dengan penjajahan Belanda atas arsitektur tradisional. Pusat ruang yang padat dan pantas diteladani tiba-tiba dikuasai oleh orang asing yang memiliki tingkah laku dan kebudayaan yang sama sekali asing. Penjajahan ini mengakibatkan kekosongan dalam interpretasi simbolis dan kosmis dalam bidang arsitektur dengan kerugian yang sampai saat ini belum dapat diperbaiki.
Menariknya, pengaruh Belanda atas bahan bangunan dan interpretasi ruang yang baru tidak-atau hanya sedikit mengubah perwujudan rumah tinggal tradisional. Dengan demikian, batu merah digunakan untuk membangun rumah tinggal, bukan lagi menjadi bahan bangunan yang dikhususkan untuk bangunan keraton dan candi. Kemudian mulai digunakan kaca yang memungkinkan cahaya alami masuk lewat dinding dan besi terutama besi cor sebagai kolom dan sebagainya. Karena di negeri Belanda gaya Renaisance pada awal abad 17 langsung diganti dengan gaya bangunan Klasik menurut Pallado dan Scamozzi, konsep dan pembentukan perumahan mengandung banyak kesamaan dengan arsitektur tradisional Jawa yang mengagumkan.
Dalam pandangan hidup tradisional di Jawa setiap lubang dalam dinding yang mengelilingi ruang merupakan suatu pelemahan diantara dunia material dan dunia spiritual, maka jendela sebagai celah atau bagian yang terbuka ditiadakan. Dengan diimpornya kaca oleh orang Belanda, muncul kemungkinan konstruksi baru untuk jendela yang tidak melanggar pandangan metafisik dinding sebagai pembatas. Pada saat itu pembangunan rumah tinggal dengan batu merah sebagai tembok menjadi hal yang umum, terutama bagi kaum bangsawan. Akibatnya rumah-rumah cukup cahaya tetapi juga agak rapat udara. Dengan demikian cara pembangunan Barat membantu proses penyingkiran konstruksi kayu dan bambu tradisional yang menyesuaikan diri dengan iklim setempat.



B.SUMBER PICTORIAL
Sumber pictorial ini diperoleh dari relief-relief candi di Jawa Timur yang banyak sekali menampilkan arsitektur Jawa.
1.Candi Surowono
Candi ini terletak di Pare, ± 28 km, ± 50 menit dari kota Kediri. Bangunan candi merupakan hasil karya peninggalan sejarah sebagai tempat penyucian Raja Wengker, salah satu raja pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Mojopahit. Wisatawan dapat juga mengunjungi bangunan terowongan / sungai bawah tanah dengan aliran air jernih dan bercabang cabang yang terletak ± 100 meter dari bangunan Candi.
Candi Surowono sebagai salah satu materi budaya Kabupaten Kediri memiliki nilai sejarah yang tinggi. Peninggalan suci Kerajaan Majapahit dengan latar belakang agama Hindu ini terletek di Pare, kurang lebih 28 kilometer dari Kota Kediri. Dulu candi ini menjadi tempat bersuci Raja Wengker salah satu raja fatsal atau bawahan di masa pemerintah Raja Hayam Wuruk,Majapahit.
Dibangun pada abad ke 15 Candi Surowono memiliki banyak keunikan. Baik dari segi arsitektur maupun relief yang menggambarkan cerita Arjuna Wiwaha, Bubhuksah, Gagang Aking dan Sri Tanjung. Sayang bagian yang masih utuh dari candi ini hanya tinggal kaki dan tubuhnya. Bagian atap sudah rusak dan runtuh. Padahal candi ini di bangun dengan menggunakan batu andesit berpori dan bagian pondasinya menggunakan batu merah dengan orientasi arah menghadap ke barat.








Foto 1. Candi Surowono Kediri
Pada relief-relief candi ini banyak menampilkan arsitektur tradisional Jawa pada masa Majapahit. Berdasarkan relief ini diketahui bahwa rumah Jawa dibuat dengan atap berbentuk sirap, terdapat kolom-kolom penyangga atap dan berdiri pada sebuah landasan (kemungkinan umpak) dan batur. Belum ada dinding penyekat antar ruangan.


Foto Arsitektur Jawa pada Relief

2. Candi Tegowangi
Candi Tegowangi, terletak di Desa Tegowangi, Kecamatan Plemahan.Candi ini jadi monumen peninggalan Kerajaan Majapahit di masa pemerintah Hayam Wuruk. Candi ini juga dibangun dengan menggunakan batu andesit serta pondasi bata merah yang menghadap ke arah barat. Reliefnya bercerita tentang Wayang Purwo dengan tokoh Sundamala atau kisah tentang ruwatan Durga.
Jika Candi Surowono telah hilang bagian atasnya, maka Candi Tegowangi masih memiliki Yoni pada bagian atas. Yoni ini dibuat dengan pahatan yang sangat indah serta dihiasi motif binatang dan naga. Selain itu terdapat pula batu pipih berbentuk bujursangkar yang memiliki sembilan buah lubang yang biasanya diletakkan pada sumuran candi.
Menurut Kitab Pararaton candi ini merupakan tempat Pendharmaan Bhre Matahun. Sedangkan dalam kitab Negarakertagama dijelaskan bahwa Bhre Matahun meninggal tahun 1388 M. Maka diperkirakan candi ini dibuat pada tahun 1400 M dimasa Majapahit karena pendharmaan seorang raja dilakukan 12 tahun setelah raja meninggal dengan upacara srada. Secara umum candi ini berdenah bujursangkar menghadap ke barat dengan memiliki ukuran 11,2 x 11,2 meter dan tinggi 4,35 m. Pondasinya terbuat dari bata sedangkan batu kaki dan sebagian tubuh yang masih tersisa terbuat dari batu andesit. Bagian kaki candi berlipit dan berhias. Tiap sisi kaki candi ditemukan tiga panel tegak yang dihiasi raksasa (gana) duduk jongkok; kedua tangan diangkat ketas seperti mendukung bangunan candi. Di atasnya terdapat tonjolan - tonjolan berukir melingkari candi diatas tonjolan terdapat sisi genta yang berhias. Pada bagian tubuh candi ditengah-tengah pada setiap sisinya terdapat pilar polos yang menghubungkan badan dan kaki candi. Pilar-pilar itu tampak belum selesai dikerjakan. Di sekeliling tubuh candi dihiasi relief cerita sudamala yang berjumlah 14 panil yaitu 3 panil disisi utara, 8 panil disisi barat dan 3 panil sisi selatan. Cerita ini berisi tentang pengruatan (pensucian) Dewi Durga dalam bentuk jelek dan jahat menjadi Dewi Uma dalam bentuk baik yang dilakukan oleh Sadewa, tokoh bungsu dalam cerita Pandawa. Sedangkan pada bilik tubuh candi terdapat Yoni dengan cerat (pancuran) berbentuk naga.
Dihalaman candi terdapat beberapa arca yaitu Parwati Ardhenari, Garuda berbadan manusia dan sisa candi di sudut tenggara. Berdasarkan arca-arca yang ditemukan dan adanya Yoni dibilik candi maka candi ini berlatar belakang agama Hindu.
Candi Tegowangi menepati sebuah areal yang cukup luas dan terbuka

Pada relief candi ini, arsitektur Jawa dibuat sangat menarik. Berbeda dengan arsitektur Jawa pada relief candi Surowono yang dipahat dengan menggunakan teknik dua dimensi, pada relief candi ini arsitektur Jawa dipahat dengan menggunakan teknik tiga dimensi. Bentuk arsitektur Jawa tidak jauh berbeda dengan candi Surowono. Arsitektur Jawa pada candi ini dibuat lebih detail, lebih kelihatan bahan material yang digunakan. Misalnya atap sudah tidak lagi polos.

Foto Arsitektur Jawa pada Relief


3. Candi Panataran
Candi Panataran yang terletak di sebelah utara Blitar adalah satu-satunya komplek percandian yang terluas di kawasan Jawa Timur. Berdasarkan laporan Dinas Purbakala tahu 1914-1915 nomor 2045 dan catatan Verbeek nomor 563, merupakan bangunan kekunaan yang terdiri atas beberapa gugusan sehingga disebut Komplek Percandian. Lokasi bangunan candi ini terletak di lereng barat-daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter dpl (di atas permukaan air laut), di desa yang juga bernama Panataran, Kecamatan Nglegok, Blitar. Hanya berjarak sekitar 12 kilometer dari Kota Blitar atau kurang lebih setengah jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Dengan jalan yang relatif mulus dan cukup lebar hingga di depan komplek candi.
Candi Panataran ditemukan pada tahun 1815, tetapi sampai tahun 1850 belum banyak dikenal. Penemunya adalah Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang berkuasa di Negara Indonesia. Raffles bersama-sama dengan Dr.Horsfield seorang ahli Ilmu Alam mengadakan kunjungan ke Candi Panataran, dan hasil kunjunganya dibukukan dalam buku yang berjudul "History of Java" yang terbit dalam dua jilid. Jejak Raffles ini di kemudian hari diikuti oleh para peneliti lain yaitu : J.Crawfurd seorang asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya Van Meeteren Brouwer (1828), Junghun (1884), Jonathan Rigg (1848) dan N.W.Hoepermans yang pada tahun 1886 mengadakan inventarisasi di komplek percandian Panataran.
Memasuki areal Candi, di pintu utama akan disambut dua buah arca penjaga pintu atau disebut dengan Dwaraphala yang dikalangan masyarakat Blitar terkenal dengan sebutan "Mba Bodo". Yang menarik dari arca penjaga ini bukan karena arcanya yang besar, namun karena wajahnya yang menakutkan (Daemonis). Pahatan angka yang tertera pada lapik arca tertulis dalam huruf Jawa Kuno : tahun 1242 Saka atau kalau dijadikan Masehi (ditambah 78 tahun) menjadi tahun 1320 Masehi. Berdasarkan pahatan angka yang terdapat pada kedua lapik arca, bahwa bangunan suci palah (nama lain untuk Candi Panataran) diresmikan menjadi kuil negara (state-temple) baru pada jaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328 Masehi.
Di sebelah timur Arca terdapat sisa-sisa pintu gerbang yang terbuat dari bahan batu bata merah. Bangunan penting lainnya yang terdapat disekitar gerbang adalah bangunan yang berbentuk persegi panjang yang disebut dengan Bale Agung. Kemudian bangunan bekas tempat pendeta yang hanya tinggal tatanan umpak-umpak saja. Sebuah bangunan persegi empat dalam ukuran yang lebih kecil dari Bale Agung adalah Pendopo Teras atau batur pendopo yang berupa candi kecil berangka tahun yang disebut Candi Angka Tahun, dimana bangunan-bangunan tersebut terbuat dari bahan batu andesit.
Di sebelah selatan bangunan candi masih berdiri tegak sebuah batu prasasti atau batu bertulis. Prasasti ini menggunakan huruf Jawa Kuno bertahun 1119 Saka atau 1197 Masehi yang dikeluarkan oleh Raja Srengga dari Kerajaan Kediri. Isinya antara lain menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah (Candi Panataran). Jadi proses pembangunan komplek Candi Panataran memakan waktu sekurang-kurangnya 250 tahun, dimana mulai dibangun tahun 1197 pada jaman Kerajaan Kediri sampai tahun 1454 pada jaman Kerajaan Majapahit.
Candi berikutnya adalah Candi Naga yang terbuat seluruhnya dari batu dengan ukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Disebut Candi Naga karena sekeliling tubuh candi dililit naga dan fitur-fitur atau tokoh-tokoh seperti raja sebanyak sembilan buah. Diantara bangunan candi yang paling besar adalah candi induk, yang terletak dibagian yang paling belakang yaitu bagian yang dianggap suci. Bangunan candi induk terdiri dari tiga teras bersusun dengan tinggi seluruhnya 7,19 meter. Pada masing-masing sisi kedua tangga naik ke teras pertama terdapat arca Dwaraphala, pada alas arca terdapat angka tahun 1269 Saka atau 1347 Masehi.
Pada bagian paling belakang candi terdapat kolam suci, yang konon ceritanya adalah kolam yang dipergunakan sebagai tempat ibadah ritual. Sisa-sisa kemewahan masa lampau memang masih terlihat dari bangunan kolam mini ini. Kolam yang berukuran sekitar 2 x 5 meter ini terlihat bersih dan tertata bagus.

Arsitektur Jawa yang dipahat pada relief candi ini penampilannya hampir sama dengan arsitektur Jawa pada relief candi Surowono Kediri yaitu dalam dua dimensi. Tetapi bentuk arsitekturalnya sama dengan kedua candi di atas yaitu beratap sirap ( sudah detail, beda dengan yang ada di Candi Surowono), mempunyai kolom penyangga atap, tanpa dinding, batur dan umpak.



Foto Arsitektur Jawa pada relief

4.Trowulan
Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Kecamatan ini terletak di bagian barat Kabupaten Mojokerto, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jombang. Trowulan terletak di jalan negara yang menghubungkan Surabaya-Surakarta.
Di kecamatan ini terdapat puluhan situs bangunan, arca, gerabah, dan pemakaman peninggalan Kerajaan Majapahit. Diduga kuat, pusat kerajaan berada di wilayah in yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab kakawin Nagarakretagama dan dalam sebuah sumber Tionghoa dari abad ke-15.

Kraton Majapahit pada dasarnya dibangun secara bertahap, sesuai dengan pola pemukiman yang berkembang di Jawa pada waktu itu. Bangunan tempat tinggal raja dikelilingi oleh rumah-rumah pengikut dan perwira setianya yang merupakan salah satu kelompok yang merupakan pulau pada suatu dataran rendah yang subur. Perkembangan lingkungan selanjutnya dilakukan sesuai dengan perkembangan kekuasaan dan kepercayaan. Dapat diketahui bahwa orientasi perletakan bangunan penting mengikuti susunan hirarki kepercayaan Hindu dan Buddha .
Pola kerajaan Majapahit dibagi menjadi sembilan kotak yang berpotongan dari Utara-Selatan dan Timur-Barat. Kotak di tengah diperuntukkan bagi kediaman raja, kotak sebelah tenggara dan barat daya diperuntukan bangunan suci.kotak tengah di utara tempat kediaman raja diperuntukkan sebagai tempat raja bertemu denganrakyatnya yang biasanya disebut Siti Hinggil. Sehingga dapat diketahui bahwa pola Keraton Majapahit menggunakan konsep pola kediamanraja sesuai dengan kepercayaan Hindu .

Dilihat dari bentuk arsitekturalnya, maka dapat diketahui bahwa bentuk arsitektur Jawa di Trowulan ini tidak jauh berbeda dengan bentuk arsitektural ketiga relief candi di atas, yaitu beratap sirap, mempunyai kolom penyangga atap, batur dan umpak.

Gambar 4. Bentuk rumah Jawa Jaman Majapahit

C. SUMBER VERBAL
Sumber verbal ini diperoleh dari naskah Kawruh Kalang yang disusun oleh R. Sasrawiryatma di Surakarta pada tahun 1928. Sekarang, teks tersebut disimpan di Perpustakaan Museum Sonobudoyo dengan kode PB A 285 31. Buku yang bertuliskan aksara Jawa ini (KSW) memuat keterangan tentang pembuatan rumah Jawa tradisional : rumah Taju, jug loro, limasan, gajah sap, saka, tumpang 5, suh kuningan atau mamas, umpak dari marmer atau batu, gaya diukir, panitih, molo, ander, dudur, takir, tumpang, reng, sirap, wuwung, cukil, tutup keyong, tutup kencong, tanda, angka Kalang yang disebut angka ageng, dapur rumah, sajen, kayu jati.
Dibawah ini akan diperinci tentang isi Kawruh Kalang berdasar topik :

Bab. Topik
Pembuka
1 Tentang Dhapur/tipe rumah Jawa
2 Ukuran Blandar Pangeret
3 Pembuatan saka/tiang
4 Pembuatan Umpak
5 Pembuatan sunduk
6 Pembuatan santen
7 Pembuatan gonja
8 Pembuatan molo
9 Pembuatan ander
10 Pembuatan dudur
11 Takir Tadhah las
12 Blandar Pananggap dan Sunduk Bangunan jugloro
13 Blandar dan sunduk emperan bangunan jugloro
14 Blandar dan sunduk bangunan Limasan
15 Blandar dan Sunduk emperan bangunan Limasan
16 Blandar Pananggap dan sunduk bangunan Taju
17 Blandar emper bangunan Taju
18 Tumpangsari
19 Usuk
20 Reng
21 Sirap
22 Plisir
23 Wuwung
24 Cukit
25 Tutup Keyong
26 Pemilihan Kayu untuk konstruksi lingkungan bina
27 Angka Kalang
28 Aneka Ragam dhapur/tipe lingkungan bina Jawa
29 Sesajian
30 Nama-nama dari bermacam kayu jati

Memperhatikan topik yang dibicarakan dalam setiap Bab, kuat sekali dirasakan adanya sasaran pembicaraan tertentu dari naskah ini yakni tentang bagian-bagian konstruktif dari bangunan, tidak hanya disampaikan letak bagian konstruksi ini dalam keseluruhan bangunan, tetapi juga disampaikan pengukuran dalam menetapkan panjang lebarnya bagian konstruksi bangunan itu; disampaikan pula keletakan konstruktifnya dalam keseluruhan kerangka bangunan. Dengan muatan isi seperti ini, dapat dikatakan bahwa sasaran yang dituju dari naskah ini adalah tukang bangunan .
Di bawah ini akan ditampilkan beberapa Gambar tentang konstruksi bangunan Jawa :

Waktu yang lampau, kegiatan perencanaan dan perancangan dilakukan oleh seseorang yang dianggap ahli oleh lingkungan masyarakat tersebut, yang diserahi tanggungjawab untuk mengembangkan pemikirannya untuk menciptakan bangunan rumah tinggal. Rumah tinggal yang diciptakan lebih banyak tergantung pada pemuka ahli tersebut dari pada pihak calon pemakainya. Sehingga kesamaan atau perubahan yang terjadi sangat tergantung pada perubahan yang diinginkan oleh pemuka ahli tersebut. Para pemuka ahli teknik yang disebut “Kalang” yang artinya tukang kayu ahli bangunan rumah, adalah para tenaga kerja yang dilatih dan dididik oleh para guru adat, yang kebanyakan dari lingkungan Kraton, sebagai abdi dalem kraton. Mereka belajar dari guru adat dengan cara latihan, sedang guru adat mengetahui hal-hal tersebut dari membaca ajaran-ajaran yang bersifat simbolik yang dibuat oleh pujangga kraton . Pengetahuan-pengetahuan tentang pembuatan rumah tersebut kemudian dituliskan dalam bentuk naskah supaya pengetahuan yang bersifat turun temurun dapat dibaca dan diketahui oleh masyarakat luas.
Menurut sejarah Prabu Jayabaya menyetujui pembuatan rumah dari kayu dengan alasan :
1. kayu tidak mudah rusak dikikis air hujan
2. Kayu merupakan bahan yang mudah didapat
3. Perabot dari bahan kayu mudah dikerjakan. Perbaikan perabot dari kayu mudah dilakukan.


D. SUMBER ARSITEKTURAL
Sumber-sumber arsitektural didapat dari bukti-bukti bangunan yang masih ada. Dalam paparan di bawah ini akan diuraikan tentang arsitektur Jawa yang masih ada, baik itu dari situs candi maupun rumah-rumah tradisional.
1. Situs-situs candi Di Jawa Tengah dan Jawa timur.
Dibeberapa candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur ditemukan beberapa situs tentang bangunan Jawa. Seperti yang ada di Dieng, terdapat bekas tempat untuk persiapan para pendeta mempersiapkan upacara. Artefak yang masih ada berupa umpak dari batu alam dan area berbentuk segi panjang, ada satu bangunan yang kelihatannya dicoba untuk direkonstruksi, tetapi hal itu belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Bangunan tersebut didirkan pada sebuah bidang segi empat yang terbuat dari batu, terdapat beberapa umpak dan saka dan beratap ijuk berbentuk kampung.

Foto 20. Bangunan yang ”mungkin” direkonstruksi di situs Dieng
Selain bangunan di atas,terdapat sebidang tanah, terdapat susunan batu yang dijadikan landasan bangunan dan beberapa batu alam (kemungkinan umpak). Bidang tersebut terletak tidak jauh dari bangunan ”rekonstruksi”.


Foto 21. Bidang yang terdapat umpak.

Selain di Dieng, pada situs – situs di Jawa Timur seperti Panataran juga terdapat sebidang tanah dengan beberapa landasan (umpak) seperti yang terdapat di Dieng. Tetapi ukuran umpak yang ada diPanataran lebih besar dibanding yang ada di Dieng. Bidang ini terletak di depan gugusan Candi Induk, sama seperti yang ada di Dieng.

Foto 22. bidang/area yang terdapat umpak.

2. Arsitektur/ Rumah Tradisional Jawa
Setelah mengetahui keberadaan arsitektur Jawa jaman Hindu, kemudian akan dilihat keberadaan arsitektur Jawa jaman Kerajaan Mataram atau lebih tepatnya jaman kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat . Selain Kraton, di Yogyakarta ternyata masih banyak terdapat artefak rumah pangeran yang masih berdiri dan berkondisi baik meskipun sekarang sudah banyak yang beralih fungsi atau dijual dengan pihak luar dengan pertimbangan biaya perawatan yang sangat tinggi (alasan ekonomis).
Rumah pangeran mempunyai organisasi ruang yang cukup lengkap dibanding dengan rumah rakyat biasa :

Gambar 7. Organisasi ruang dalam rumah Jawa yang lengkap .


Foto 23. Dalem Mangkubumen

Foto 24. Bangsal Utama Bangsal Pagongan Dalem Mangkubumen

Foto 25. Kraton Yogyakarta


Foto 26. Dalem Pakuningratan


Foto 27. Dalem Tejokusuman
Dari foto-foto diatas dapat diketahui bahwa sudah ada pengaruh Barat dalam pembuatan rumah Jawa, misalnya penggunaan marmer pada lantai, dinding menggunakan tembok dan lain-lain. Tetapi dari bentuk atap masih mempertahankan konsep-konsep Hindhu. Dari segi elemen estetis, pada rumah Jawa jaman Kerajaan Yogyakarta sudah mengenal ragam hias yang dibuat dengan makna-makna dan simbol – simbol tertentu. Setiap ragam hias mempunyai tempat tersendiri pada bagian elemen arsitekturalnya.

E. Kesimpulan
Dengan memperhatikan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Arsitektur bangunan rumah tinggal yang berkembang pada Jaman Hindu dan Budha dapat dibedakan dalam tiga kelompok :
a. Arsitektur Jawa Kuno, mempunyai ciri-ciri : Konstruksi bangunan dari kayu yang merupakan tiang berdiri di atas tanah, mempunyai kolong dan tanpa pemisah ruang.
b. Arsitektur majapahit lama, mempunyai ciri-ciri : konstruksi bangunan dari kayu yang berdiri di atas batur dan masih belum ada pembatas yang permanen. Penutupatapnya sudah dari genteng. Bangunan semacam ini dapat berfungsi sebagai pendap/bale maupun sebagai tempat istirahat/tidur.
c. Arsitektur Akhir Majapahit, mempunyai ciri : sama dengan arsitektur Majapahit Lama namun telah mempunyai pembatas yang permanen.
2. Arsitektur Jawa jaman Kasultanan Yogyakarta sudah mulai mengenal teknologi barat yaitu dengan penggunaan materialnya meski konsep Hindu masih sangat kentara.




F. Daftar Pustaka
Atmadi, Parmono, 1993, Bunga Rampai Arsitektur dan Pola Kota Keraton Majapahit, dalam Sartono Kartodirdjo, 700 (tujuh ratus ) tahun Majapahit 1293-1993 : Suatu Bunga Rampai, Seri Pustaka Kuntara, Surabaya.

Bratasiswa, Harmanto, 2000, Bauwarna, Adat Tata Cara Jawa, Yayasan Suryosumirat, Jakarta.

Frick, Heinz, 1997, Pola Struktural dan Teknik Bangunan Di Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.

Ronald, Arya, 1990, Ciri-Ciri Karya Budaya Di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa, Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta:.

Prijotomo, Josef, 2006, (Re-)Konstruksi Arsitektur Jawa, PT. Wastu Lanas Grafika, Surabaya.


Zein M. Wiryoprawiro, 1986, Perkembangan Masjid-Masjid di Jawa Timur, ,PT. Bina Ilmu, Surabaya.