Selasa, 20 Januari 2009




MELACAK JEJAK ARSITEKTUR JAWA

A.PENDAHULUAN
Telah banyak teori yang mencoba menjelaskan perihal bagaimana caranya pengaruh kebudayaan India (Hindu-Buddha) sampai ke kepulauan Indonesia. Hal yang sudah pasti adalah berkat adanya pengaruh tersebut penduduk kepulauan Indonesia kemudian memasuki periode sejarah sekitar abad ke-4 M. Menurut J.L.A Brandes (1887) penduduk Asia Tenggara termasuk yang mendiami kepulauan Indonesia telah mempunyai 10 kepandaian menjelang masuknya pengaruh kebudayaan India, yaitu: (1) mengenal pengecoran logam, (2) mampu membuat figur-figur manusia dan hewan dari batu, kayu, atau lukisan di dinding goa, (3) mengenal instrumen musik, (4) mengenal bermacam ragam hias, (5) mengenal sistem ekonomi barter, (6) memahami astronomi, (7) mahir dalam navigasi, (8) mengenal tradisi lisan, (9) mengenal sistem irigasi untuk pertanian, (10) adanya penataan masyarakat yang teratur. Dalam kondisi peradaban seperti itulah mereka kemudian berkenalan dan menerima para niagawan dan musafir dari India ataupun dari Cina.
Setelah berinteraksi dengan para pendatang dari India, maka diterimalah beberapa aspek kebudayaan penting oleh penduduk kepulauan Indonesia. Aspek-aspek kebudayaan dari India yang diterima oleh nenek moyang bangsa Indonesia benar-benar barang baru, yang tidak mereka kenal sebelumnya, yaitu:
1. Aksara Pallava
2. Agama Hindu dan Buddha
3. Penghitungan angka tahun Saka
Melalui ketiga aspek kebudayaan dari India itulah kemudian peradaban nenek moyang bangsa Indonesia terpacu dengan pesatnya, berkembang dan menghasilkan bentuk-bentuk baru kebudayaan Indonesia kuna yang pada akhirnya pencapaian itu diakui sebagai hasil kreativitas penduduk kepulauan Indonesia sendiri. Salah satu hasil kebudayaan yang merupakan kreatifitas penduduk Indonesia adalah arsitektur.
Jawa merupakan daerah yang terkena pengaruh Hindu dan Budha. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya peninggalan-peninggalan arkeologis. Salah satu peninggalan yang menarik untuk diamati adalah arsitektur Jawa. Berikut ini akan di uraikan tentang data-data arkeologis mengenai sejarah arsitektur Jawa dari sumber pictorial, sumber verbal dan sumber arsitektural.
Pengalaman Sejarah
Membahas perkembangan rumah tradisional Jawa tidak bisa lepas dari sejarah. Dalam bahasan ini dibatasi yaitu dari zaman neolitik dan megalitik sebagai awal mula mengenal rumah sampai zaman penjajahan Belanda yang banyak terjadi akulturasi budaya termasuk didalamnya arsitektur.
1.Masa neolitik (2500-1500 SM) dan megalitik ( 1500 SM-200 M)Pada masa itu orang Jawa hidup dalam masyarakat pedesaan yang sudah dikonsolidasikan dan menjadi inti masyarakat baru yang memperkembangkan desa atau kampung tradisional. Bentuk gubuk mereka masih agak kecil, berbentuk kerucut dengan atap yang langsung menempel ke tanah dan dibuat dari daun-daunan.
Pada perkembangannya, teknik tradisional tentang pembangunan rumah yang dapat dibongkar pasang (knock down) mulai dikembangkan. Hal ini dikarenakan rumah tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka yaitu ladang berpindah serta pembukaan hutan dengan cara membakarnya. Atap rumah yang berbentuk kerucut sudah terpisah dari tanah.
2.Zaman Purba
Zaman keemasan peradaban Jawa dimulai pada akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9 saat wangsa Sailendra yang beragama Budha mengambil alih kekuasaan di Jawa dari wangsa Sanjaya. Tempat kedudukan pemerintahan dinamakan Keraton, yang berarti istana raja dan rumah tangga istana. Pada masa itu juga konstruksi kayu diperkenalkan kepada rakyat.
Sekitar abad 13 –14 pada saat Majapahit diperintah oleh Hayam Wuruk, dalam bidang arsitektur dikembangkan ekspresi dan teknik pembangunan yang baru. Buku pelajaran bagi bermacam bagian pembangunan diterbitkan, pengetahuan dasar tentang pembangunan rumah kediaman, candi, pemandian dan tata kota diadakan pada waktu itu. Pembangunan dengan batu alam dihentikan dan penggunaan batu merah beserta konstruksi kayu diistimewakan dan diperkembangkan sedemikian rupa sehingga masih dipergunakan pada masa kini dalam arsitektur dan tata kota.
3.Zaman Madya
Masuknya agama Islam di Indonesia pada awal abad ke-16 terutama terjadi melalui hubungan dagang dengan saudagar Arab dan Persia sepanjang rute perdagangan dengan cara damai. Dalam penyebaran agama Islam di Jawa, kerajaan Demak berperan penting, karena berhasil mengalahkan Majapahit pada tahun 1478 M dan menundukkan pelabuhan Jepara pada tahun 1511 M. Penyebaran agama Islam terjadi secara bertahap dimulai dari pantai utara sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan. Kemudian bergerak ke arah pedalaman. Penyebaran agama Islam di pulau Jawa melalui sarana wayang dan gamelan yang notabene adalah kebudayaan Hindu. Dengan demikian gabungan antara kebudayaan Islam dan Hindu terwujud dengan baik, begitu juga dalam hal arsitektur.
Dalam arsitektur Hindu, yang diutamakan adalah gambaran aturan kosmis yang dinamakan Mandala atau Yantra. Mandala atau Yantra juga berarti ilmu proporsi atau perbandingan serta menentukan bentuk dan ukuran bagian-bagian bangunan. Dalam Islam sebaliknya menciptakan pembatasan bidang untuk penghidupan batin dan keagamaan. Pembatasan oleh bidang garis merupakan gerak maju dalam bidang tanpa menentukan atau menciptakan ruang tertentu. Jikalau ada pembentukan ruang, ruang tersebut terbentuk oleh bidang pembatasan : tenang, sebagai bujur sangkar, tidak terarah. Alam sekitar dipilih sebagai perhiasan abstrak, sebagai pertunjukan dalam garis-garis dan bidang-bidang tertentu. Untuk dekorasi, diperbolehkan menghias masjid sehingga menjadi indah, karena Allah menyukai keindahan. Adapun motif manusia dan hewan apalagi lukisan mengenai Nabi dan Allah tidak boleh. Di satu sisi hal itu menjauhkan diri dari sikap dan kegiatan kemusyrikan, sedang di sisi yang lain untuk menjaga agar tidak mencemarkan keluhurannya .
Kemudian juga perlu diketahui bahwa pusat-pusat kekuasaan sering berpindah-pindah pada zaman ini yang merugikan perwujudan kebudayaan dalam bidang arsitektur sehingga peninggalan arsitektur yang ada hanya beberapa masjid saja.
4.Zaman Penjajahan Belanda
Bagaimanakah penjajahan yang fungsi utamanya selama berabad-abad adalah perluasan kekuasaan, penjaminan terus menerus dan penyingkiran perlawanan pada waktu yang sama memungkinkan minoritas orang Eropa sebagai penjajah akhirnya menguasai penduduk Asia sekaligus kebudayaannya? Pertanyaan ini bukan mengutamakan bagaimana sikap penjajah terhadap warga negara dan struktur masyarakatnya, melainkan tentang penyingkiran kaum bangsawan, pembatasan kebebasan bergerak, serta tindakan atas kebiasaan dan kepercayaan penduduk yang mempengaruhi arsitektur bangsa-bangsa tersebut.
Setiap pembangunan berdasar atas prasyarat kedewaan. Pada keraton konsep ini diwujudkan dan merupakan hal pantas untuk ditiru. Konsep ini akibatnya sangat buruk, sehubungan dengan penjajahan Belanda atas arsitektur tradisional. Pusat ruang yang padat dan pantas diteladani tiba-tiba dikuasai oleh orang asing yang memiliki tingkah laku dan kebudayaan yang sama sekali asing. Penjajahan ini mengakibatkan kekosongan dalam interpretasi simbolis dan kosmis dalam bidang arsitektur dengan kerugian yang sampai saat ini belum dapat diperbaiki.
Menariknya, pengaruh Belanda atas bahan bangunan dan interpretasi ruang yang baru tidak-atau hanya sedikit mengubah perwujudan rumah tinggal tradisional. Dengan demikian, batu merah digunakan untuk membangun rumah tinggal, bukan lagi menjadi bahan bangunan yang dikhususkan untuk bangunan keraton dan candi. Kemudian mulai digunakan kaca yang memungkinkan cahaya alami masuk lewat dinding dan besi terutama besi cor sebagai kolom dan sebagainya. Karena di negeri Belanda gaya Renaisance pada awal abad 17 langsung diganti dengan gaya bangunan Klasik menurut Pallado dan Scamozzi, konsep dan pembentukan perumahan mengandung banyak kesamaan dengan arsitektur tradisional Jawa yang mengagumkan.
Dalam pandangan hidup tradisional di Jawa setiap lubang dalam dinding yang mengelilingi ruang merupakan suatu pelemahan diantara dunia material dan dunia spiritual, maka jendela sebagai celah atau bagian yang terbuka ditiadakan. Dengan diimpornya kaca oleh orang Belanda, muncul kemungkinan konstruksi baru untuk jendela yang tidak melanggar pandangan metafisik dinding sebagai pembatas. Pada saat itu pembangunan rumah tinggal dengan batu merah sebagai tembok menjadi hal yang umum, terutama bagi kaum bangsawan. Akibatnya rumah-rumah cukup cahaya tetapi juga agak rapat udara. Dengan demikian cara pembangunan Barat membantu proses penyingkiran konstruksi kayu dan bambu tradisional yang menyesuaikan diri dengan iklim setempat.



B.SUMBER PICTORIAL
Sumber pictorial ini diperoleh dari relief-relief candi di Jawa Timur yang banyak sekali menampilkan arsitektur Jawa.
1.Candi Surowono
Candi ini terletak di Pare, ± 28 km, ± 50 menit dari kota Kediri. Bangunan candi merupakan hasil karya peninggalan sejarah sebagai tempat penyucian Raja Wengker, salah satu raja pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Mojopahit. Wisatawan dapat juga mengunjungi bangunan terowongan / sungai bawah tanah dengan aliran air jernih dan bercabang cabang yang terletak ± 100 meter dari bangunan Candi.
Candi Surowono sebagai salah satu materi budaya Kabupaten Kediri memiliki nilai sejarah yang tinggi. Peninggalan suci Kerajaan Majapahit dengan latar belakang agama Hindu ini terletek di Pare, kurang lebih 28 kilometer dari Kota Kediri. Dulu candi ini menjadi tempat bersuci Raja Wengker salah satu raja fatsal atau bawahan di masa pemerintah Raja Hayam Wuruk,Majapahit.
Dibangun pada abad ke 15 Candi Surowono memiliki banyak keunikan. Baik dari segi arsitektur maupun relief yang menggambarkan cerita Arjuna Wiwaha, Bubhuksah, Gagang Aking dan Sri Tanjung. Sayang bagian yang masih utuh dari candi ini hanya tinggal kaki dan tubuhnya. Bagian atap sudah rusak dan runtuh. Padahal candi ini di bangun dengan menggunakan batu andesit berpori dan bagian pondasinya menggunakan batu merah dengan orientasi arah menghadap ke barat.








Foto 1. Candi Surowono Kediri
Pada relief-relief candi ini banyak menampilkan arsitektur tradisional Jawa pada masa Majapahit. Berdasarkan relief ini diketahui bahwa rumah Jawa dibuat dengan atap berbentuk sirap, terdapat kolom-kolom penyangga atap dan berdiri pada sebuah landasan (kemungkinan umpak) dan batur. Belum ada dinding penyekat antar ruangan.


Foto Arsitektur Jawa pada Relief

2. Candi Tegowangi
Candi Tegowangi, terletak di Desa Tegowangi, Kecamatan Plemahan.Candi ini jadi monumen peninggalan Kerajaan Majapahit di masa pemerintah Hayam Wuruk. Candi ini juga dibangun dengan menggunakan batu andesit serta pondasi bata merah yang menghadap ke arah barat. Reliefnya bercerita tentang Wayang Purwo dengan tokoh Sundamala atau kisah tentang ruwatan Durga.
Jika Candi Surowono telah hilang bagian atasnya, maka Candi Tegowangi masih memiliki Yoni pada bagian atas. Yoni ini dibuat dengan pahatan yang sangat indah serta dihiasi motif binatang dan naga. Selain itu terdapat pula batu pipih berbentuk bujursangkar yang memiliki sembilan buah lubang yang biasanya diletakkan pada sumuran candi.
Menurut Kitab Pararaton candi ini merupakan tempat Pendharmaan Bhre Matahun. Sedangkan dalam kitab Negarakertagama dijelaskan bahwa Bhre Matahun meninggal tahun 1388 M. Maka diperkirakan candi ini dibuat pada tahun 1400 M dimasa Majapahit karena pendharmaan seorang raja dilakukan 12 tahun setelah raja meninggal dengan upacara srada. Secara umum candi ini berdenah bujursangkar menghadap ke barat dengan memiliki ukuran 11,2 x 11,2 meter dan tinggi 4,35 m. Pondasinya terbuat dari bata sedangkan batu kaki dan sebagian tubuh yang masih tersisa terbuat dari batu andesit. Bagian kaki candi berlipit dan berhias. Tiap sisi kaki candi ditemukan tiga panel tegak yang dihiasi raksasa (gana) duduk jongkok; kedua tangan diangkat ketas seperti mendukung bangunan candi. Di atasnya terdapat tonjolan - tonjolan berukir melingkari candi diatas tonjolan terdapat sisi genta yang berhias. Pada bagian tubuh candi ditengah-tengah pada setiap sisinya terdapat pilar polos yang menghubungkan badan dan kaki candi. Pilar-pilar itu tampak belum selesai dikerjakan. Di sekeliling tubuh candi dihiasi relief cerita sudamala yang berjumlah 14 panil yaitu 3 panil disisi utara, 8 panil disisi barat dan 3 panil sisi selatan. Cerita ini berisi tentang pengruatan (pensucian) Dewi Durga dalam bentuk jelek dan jahat menjadi Dewi Uma dalam bentuk baik yang dilakukan oleh Sadewa, tokoh bungsu dalam cerita Pandawa. Sedangkan pada bilik tubuh candi terdapat Yoni dengan cerat (pancuran) berbentuk naga.
Dihalaman candi terdapat beberapa arca yaitu Parwati Ardhenari, Garuda berbadan manusia dan sisa candi di sudut tenggara. Berdasarkan arca-arca yang ditemukan dan adanya Yoni dibilik candi maka candi ini berlatar belakang agama Hindu.
Candi Tegowangi menepati sebuah areal yang cukup luas dan terbuka

Pada relief candi ini, arsitektur Jawa dibuat sangat menarik. Berbeda dengan arsitektur Jawa pada relief candi Surowono yang dipahat dengan menggunakan teknik dua dimensi, pada relief candi ini arsitektur Jawa dipahat dengan menggunakan teknik tiga dimensi. Bentuk arsitektur Jawa tidak jauh berbeda dengan candi Surowono. Arsitektur Jawa pada candi ini dibuat lebih detail, lebih kelihatan bahan material yang digunakan. Misalnya atap sudah tidak lagi polos.

Foto Arsitektur Jawa pada Relief


3. Candi Panataran
Candi Panataran yang terletak di sebelah utara Blitar adalah satu-satunya komplek percandian yang terluas di kawasan Jawa Timur. Berdasarkan laporan Dinas Purbakala tahu 1914-1915 nomor 2045 dan catatan Verbeek nomor 563, merupakan bangunan kekunaan yang terdiri atas beberapa gugusan sehingga disebut Komplek Percandian. Lokasi bangunan candi ini terletak di lereng barat-daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter dpl (di atas permukaan air laut), di desa yang juga bernama Panataran, Kecamatan Nglegok, Blitar. Hanya berjarak sekitar 12 kilometer dari Kota Blitar atau kurang lebih setengah jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Dengan jalan yang relatif mulus dan cukup lebar hingga di depan komplek candi.
Candi Panataran ditemukan pada tahun 1815, tetapi sampai tahun 1850 belum banyak dikenal. Penemunya adalah Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang berkuasa di Negara Indonesia. Raffles bersama-sama dengan Dr.Horsfield seorang ahli Ilmu Alam mengadakan kunjungan ke Candi Panataran, dan hasil kunjunganya dibukukan dalam buku yang berjudul "History of Java" yang terbit dalam dua jilid. Jejak Raffles ini di kemudian hari diikuti oleh para peneliti lain yaitu : J.Crawfurd seorang asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya Van Meeteren Brouwer (1828), Junghun (1884), Jonathan Rigg (1848) dan N.W.Hoepermans yang pada tahun 1886 mengadakan inventarisasi di komplek percandian Panataran.
Memasuki areal Candi, di pintu utama akan disambut dua buah arca penjaga pintu atau disebut dengan Dwaraphala yang dikalangan masyarakat Blitar terkenal dengan sebutan "Mba Bodo". Yang menarik dari arca penjaga ini bukan karena arcanya yang besar, namun karena wajahnya yang menakutkan (Daemonis). Pahatan angka yang tertera pada lapik arca tertulis dalam huruf Jawa Kuno : tahun 1242 Saka atau kalau dijadikan Masehi (ditambah 78 tahun) menjadi tahun 1320 Masehi. Berdasarkan pahatan angka yang terdapat pada kedua lapik arca, bahwa bangunan suci palah (nama lain untuk Candi Panataran) diresmikan menjadi kuil negara (state-temple) baru pada jaman Raja Jayanegara dari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328 Masehi.
Di sebelah timur Arca terdapat sisa-sisa pintu gerbang yang terbuat dari bahan batu bata merah. Bangunan penting lainnya yang terdapat disekitar gerbang adalah bangunan yang berbentuk persegi panjang yang disebut dengan Bale Agung. Kemudian bangunan bekas tempat pendeta yang hanya tinggal tatanan umpak-umpak saja. Sebuah bangunan persegi empat dalam ukuran yang lebih kecil dari Bale Agung adalah Pendopo Teras atau batur pendopo yang berupa candi kecil berangka tahun yang disebut Candi Angka Tahun, dimana bangunan-bangunan tersebut terbuat dari bahan batu andesit.
Di sebelah selatan bangunan candi masih berdiri tegak sebuah batu prasasti atau batu bertulis. Prasasti ini menggunakan huruf Jawa Kuno bertahun 1119 Saka atau 1197 Masehi yang dikeluarkan oleh Raja Srengga dari Kerajaan Kediri. Isinya antara lain menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah (Candi Panataran). Jadi proses pembangunan komplek Candi Panataran memakan waktu sekurang-kurangnya 250 tahun, dimana mulai dibangun tahun 1197 pada jaman Kerajaan Kediri sampai tahun 1454 pada jaman Kerajaan Majapahit.
Candi berikutnya adalah Candi Naga yang terbuat seluruhnya dari batu dengan ukuran lebar 4,83 meter, panjang 6,57 meter dan tinggi 4,70 meter. Disebut Candi Naga karena sekeliling tubuh candi dililit naga dan fitur-fitur atau tokoh-tokoh seperti raja sebanyak sembilan buah. Diantara bangunan candi yang paling besar adalah candi induk, yang terletak dibagian yang paling belakang yaitu bagian yang dianggap suci. Bangunan candi induk terdiri dari tiga teras bersusun dengan tinggi seluruhnya 7,19 meter. Pada masing-masing sisi kedua tangga naik ke teras pertama terdapat arca Dwaraphala, pada alas arca terdapat angka tahun 1269 Saka atau 1347 Masehi.
Pada bagian paling belakang candi terdapat kolam suci, yang konon ceritanya adalah kolam yang dipergunakan sebagai tempat ibadah ritual. Sisa-sisa kemewahan masa lampau memang masih terlihat dari bangunan kolam mini ini. Kolam yang berukuran sekitar 2 x 5 meter ini terlihat bersih dan tertata bagus.

Arsitektur Jawa yang dipahat pada relief candi ini penampilannya hampir sama dengan arsitektur Jawa pada relief candi Surowono Kediri yaitu dalam dua dimensi. Tetapi bentuk arsitekturalnya sama dengan kedua candi di atas yaitu beratap sirap ( sudah detail, beda dengan yang ada di Candi Surowono), mempunyai kolom penyangga atap, tanpa dinding, batur dan umpak.



Foto Arsitektur Jawa pada relief

4.Trowulan
Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Kecamatan ini terletak di bagian barat Kabupaten Mojokerto, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jombang. Trowulan terletak di jalan negara yang menghubungkan Surabaya-Surakarta.
Di kecamatan ini terdapat puluhan situs bangunan, arca, gerabah, dan pemakaman peninggalan Kerajaan Majapahit. Diduga kuat, pusat kerajaan berada di wilayah in yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab kakawin Nagarakretagama dan dalam sebuah sumber Tionghoa dari abad ke-15.

Kraton Majapahit pada dasarnya dibangun secara bertahap, sesuai dengan pola pemukiman yang berkembang di Jawa pada waktu itu. Bangunan tempat tinggal raja dikelilingi oleh rumah-rumah pengikut dan perwira setianya yang merupakan salah satu kelompok yang merupakan pulau pada suatu dataran rendah yang subur. Perkembangan lingkungan selanjutnya dilakukan sesuai dengan perkembangan kekuasaan dan kepercayaan. Dapat diketahui bahwa orientasi perletakan bangunan penting mengikuti susunan hirarki kepercayaan Hindu dan Buddha .
Pola kerajaan Majapahit dibagi menjadi sembilan kotak yang berpotongan dari Utara-Selatan dan Timur-Barat. Kotak di tengah diperuntukkan bagi kediaman raja, kotak sebelah tenggara dan barat daya diperuntukan bangunan suci.kotak tengah di utara tempat kediaman raja diperuntukkan sebagai tempat raja bertemu denganrakyatnya yang biasanya disebut Siti Hinggil. Sehingga dapat diketahui bahwa pola Keraton Majapahit menggunakan konsep pola kediamanraja sesuai dengan kepercayaan Hindu .

Dilihat dari bentuk arsitekturalnya, maka dapat diketahui bahwa bentuk arsitektur Jawa di Trowulan ini tidak jauh berbeda dengan bentuk arsitektural ketiga relief candi di atas, yaitu beratap sirap, mempunyai kolom penyangga atap, batur dan umpak.

Gambar 4. Bentuk rumah Jawa Jaman Majapahit

C. SUMBER VERBAL
Sumber verbal ini diperoleh dari naskah Kawruh Kalang yang disusun oleh R. Sasrawiryatma di Surakarta pada tahun 1928. Sekarang, teks tersebut disimpan di Perpustakaan Museum Sonobudoyo dengan kode PB A 285 31. Buku yang bertuliskan aksara Jawa ini (KSW) memuat keterangan tentang pembuatan rumah Jawa tradisional : rumah Taju, jug loro, limasan, gajah sap, saka, tumpang 5, suh kuningan atau mamas, umpak dari marmer atau batu, gaya diukir, panitih, molo, ander, dudur, takir, tumpang, reng, sirap, wuwung, cukil, tutup keyong, tutup kencong, tanda, angka Kalang yang disebut angka ageng, dapur rumah, sajen, kayu jati.
Dibawah ini akan diperinci tentang isi Kawruh Kalang berdasar topik :

Bab. Topik
Pembuka
1 Tentang Dhapur/tipe rumah Jawa
2 Ukuran Blandar Pangeret
3 Pembuatan saka/tiang
4 Pembuatan Umpak
5 Pembuatan sunduk
6 Pembuatan santen
7 Pembuatan gonja
8 Pembuatan molo
9 Pembuatan ander
10 Pembuatan dudur
11 Takir Tadhah las
12 Blandar Pananggap dan Sunduk Bangunan jugloro
13 Blandar dan sunduk emperan bangunan jugloro
14 Blandar dan sunduk bangunan Limasan
15 Blandar dan Sunduk emperan bangunan Limasan
16 Blandar Pananggap dan sunduk bangunan Taju
17 Blandar emper bangunan Taju
18 Tumpangsari
19 Usuk
20 Reng
21 Sirap
22 Plisir
23 Wuwung
24 Cukit
25 Tutup Keyong
26 Pemilihan Kayu untuk konstruksi lingkungan bina
27 Angka Kalang
28 Aneka Ragam dhapur/tipe lingkungan bina Jawa
29 Sesajian
30 Nama-nama dari bermacam kayu jati

Memperhatikan topik yang dibicarakan dalam setiap Bab, kuat sekali dirasakan adanya sasaran pembicaraan tertentu dari naskah ini yakni tentang bagian-bagian konstruktif dari bangunan, tidak hanya disampaikan letak bagian konstruksi ini dalam keseluruhan bangunan, tetapi juga disampaikan pengukuran dalam menetapkan panjang lebarnya bagian konstruksi bangunan itu; disampaikan pula keletakan konstruktifnya dalam keseluruhan kerangka bangunan. Dengan muatan isi seperti ini, dapat dikatakan bahwa sasaran yang dituju dari naskah ini adalah tukang bangunan .
Di bawah ini akan ditampilkan beberapa Gambar tentang konstruksi bangunan Jawa :

Waktu yang lampau, kegiatan perencanaan dan perancangan dilakukan oleh seseorang yang dianggap ahli oleh lingkungan masyarakat tersebut, yang diserahi tanggungjawab untuk mengembangkan pemikirannya untuk menciptakan bangunan rumah tinggal. Rumah tinggal yang diciptakan lebih banyak tergantung pada pemuka ahli tersebut dari pada pihak calon pemakainya. Sehingga kesamaan atau perubahan yang terjadi sangat tergantung pada perubahan yang diinginkan oleh pemuka ahli tersebut. Para pemuka ahli teknik yang disebut “Kalang” yang artinya tukang kayu ahli bangunan rumah, adalah para tenaga kerja yang dilatih dan dididik oleh para guru adat, yang kebanyakan dari lingkungan Kraton, sebagai abdi dalem kraton. Mereka belajar dari guru adat dengan cara latihan, sedang guru adat mengetahui hal-hal tersebut dari membaca ajaran-ajaran yang bersifat simbolik yang dibuat oleh pujangga kraton . Pengetahuan-pengetahuan tentang pembuatan rumah tersebut kemudian dituliskan dalam bentuk naskah supaya pengetahuan yang bersifat turun temurun dapat dibaca dan diketahui oleh masyarakat luas.
Menurut sejarah Prabu Jayabaya menyetujui pembuatan rumah dari kayu dengan alasan :
1. kayu tidak mudah rusak dikikis air hujan
2. Kayu merupakan bahan yang mudah didapat
3. Perabot dari bahan kayu mudah dikerjakan. Perbaikan perabot dari kayu mudah dilakukan.


D. SUMBER ARSITEKTURAL
Sumber-sumber arsitektural didapat dari bukti-bukti bangunan yang masih ada. Dalam paparan di bawah ini akan diuraikan tentang arsitektur Jawa yang masih ada, baik itu dari situs candi maupun rumah-rumah tradisional.
1. Situs-situs candi Di Jawa Tengah dan Jawa timur.
Dibeberapa candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur ditemukan beberapa situs tentang bangunan Jawa. Seperti yang ada di Dieng, terdapat bekas tempat untuk persiapan para pendeta mempersiapkan upacara. Artefak yang masih ada berupa umpak dari batu alam dan area berbentuk segi panjang, ada satu bangunan yang kelihatannya dicoba untuk direkonstruksi, tetapi hal itu belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Bangunan tersebut didirkan pada sebuah bidang segi empat yang terbuat dari batu, terdapat beberapa umpak dan saka dan beratap ijuk berbentuk kampung.

Foto 20. Bangunan yang ”mungkin” direkonstruksi di situs Dieng
Selain bangunan di atas,terdapat sebidang tanah, terdapat susunan batu yang dijadikan landasan bangunan dan beberapa batu alam (kemungkinan umpak). Bidang tersebut terletak tidak jauh dari bangunan ”rekonstruksi”.


Foto 21. Bidang yang terdapat umpak.

Selain di Dieng, pada situs – situs di Jawa Timur seperti Panataran juga terdapat sebidang tanah dengan beberapa landasan (umpak) seperti yang terdapat di Dieng. Tetapi ukuran umpak yang ada diPanataran lebih besar dibanding yang ada di Dieng. Bidang ini terletak di depan gugusan Candi Induk, sama seperti yang ada di Dieng.

Foto 22. bidang/area yang terdapat umpak.

2. Arsitektur/ Rumah Tradisional Jawa
Setelah mengetahui keberadaan arsitektur Jawa jaman Hindu, kemudian akan dilihat keberadaan arsitektur Jawa jaman Kerajaan Mataram atau lebih tepatnya jaman kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat . Selain Kraton, di Yogyakarta ternyata masih banyak terdapat artefak rumah pangeran yang masih berdiri dan berkondisi baik meskipun sekarang sudah banyak yang beralih fungsi atau dijual dengan pihak luar dengan pertimbangan biaya perawatan yang sangat tinggi (alasan ekonomis).
Rumah pangeran mempunyai organisasi ruang yang cukup lengkap dibanding dengan rumah rakyat biasa :

Gambar 7. Organisasi ruang dalam rumah Jawa yang lengkap .


Foto 23. Dalem Mangkubumen

Foto 24. Bangsal Utama Bangsal Pagongan Dalem Mangkubumen

Foto 25. Kraton Yogyakarta


Foto 26. Dalem Pakuningratan


Foto 27. Dalem Tejokusuman
Dari foto-foto diatas dapat diketahui bahwa sudah ada pengaruh Barat dalam pembuatan rumah Jawa, misalnya penggunaan marmer pada lantai, dinding menggunakan tembok dan lain-lain. Tetapi dari bentuk atap masih mempertahankan konsep-konsep Hindhu. Dari segi elemen estetis, pada rumah Jawa jaman Kerajaan Yogyakarta sudah mengenal ragam hias yang dibuat dengan makna-makna dan simbol – simbol tertentu. Setiap ragam hias mempunyai tempat tersendiri pada bagian elemen arsitekturalnya.

E. Kesimpulan
Dengan memperhatikan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Arsitektur bangunan rumah tinggal yang berkembang pada Jaman Hindu dan Budha dapat dibedakan dalam tiga kelompok :
a. Arsitektur Jawa Kuno, mempunyai ciri-ciri : Konstruksi bangunan dari kayu yang merupakan tiang berdiri di atas tanah, mempunyai kolong dan tanpa pemisah ruang.
b. Arsitektur majapahit lama, mempunyai ciri-ciri : konstruksi bangunan dari kayu yang berdiri di atas batur dan masih belum ada pembatas yang permanen. Penutupatapnya sudah dari genteng. Bangunan semacam ini dapat berfungsi sebagai pendap/bale maupun sebagai tempat istirahat/tidur.
c. Arsitektur Akhir Majapahit, mempunyai ciri : sama dengan arsitektur Majapahit Lama namun telah mempunyai pembatas yang permanen.
2. Arsitektur Jawa jaman Kasultanan Yogyakarta sudah mulai mengenal teknologi barat yaitu dengan penggunaan materialnya meski konsep Hindu masih sangat kentara.




F. Daftar Pustaka
Atmadi, Parmono, 1993, Bunga Rampai Arsitektur dan Pola Kota Keraton Majapahit, dalam Sartono Kartodirdjo, 700 (tujuh ratus ) tahun Majapahit 1293-1993 : Suatu Bunga Rampai, Seri Pustaka Kuntara, Surabaya.

Bratasiswa, Harmanto, 2000, Bauwarna, Adat Tata Cara Jawa, Yayasan Suryosumirat, Jakarta.

Frick, Heinz, 1997, Pola Struktural dan Teknik Bangunan Di Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.

Ronald, Arya, 1990, Ciri-Ciri Karya Budaya Di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa, Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta:.

Prijotomo, Josef, 2006, (Re-)Konstruksi Arsitektur Jawa, PT. Wastu Lanas Grafika, Surabaya.


Zein M. Wiryoprawiro, 1986, Perkembangan Masjid-Masjid di Jawa Timur, ,PT. Bina Ilmu, Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar