Minggu, 18 April 2010

JEJAK – JEJAK RUMAH JAWA DALAM TRADISI
INDONESIA LAMA

Martino Dwi Nugroho



Telah banyak teori yang mencoba menjelaskan perihal bagaimana caranya pengaruh kebudayaan India (Hindu-Buddha) sampai ke kepulauan Indonesia. Menurut J.L.A Brandes (1889), telah menyatakan bahwa ada 10 butir kekayaan budaya yang telah dimiliki bangsa Indonesia (Jawa) sebelum tersentuh oleh budaya India, yaitu: (1) mengenal pengecoran logam, (2) mampu membuat figur-figur manusia dan hewan dari batu, kayu, atau lukisan di dinding goa, (3) mengenal instrumen musik, (4) mengenal bermacam ragam hias, (5) mengenal sistem ekonomi barter, (6) memahami astronomi, (7) mahir dalam navigasi, (8) mengenal tradisi lisan, (9) mengenal sistem irigasi untuk pertanian, (10) adanya penataan masyarakat yang teratur. Dalam kondisi peradaban seperti itulah mereka kemudian berkenalan dan menerima para niagawan dan musafir dari India ataupun dari Cina.
Setelah berinteraksi dengan para pendatang dari India, maka diterimalah beberapa aspek kebudayaan penting oleh penduduk kepulauan Indonesia. Aspek-aspek kebudayaan dari India yang diterima oleh nenek moyang bangsa Indonesia benar-benar barang baru, yang tidak mereka kenal sebelumnya, yaitu: (1) Aksara Pallava; (2) Agama Hindu dan Budha; (3) Perhitungan angka tahun Saka. Melalui ketiga aspek kebudayaan dari India itulah kemudian peradaban nenek moyang bangsa Indonesia terpacu dengan pesatnya, berkembang dan menghasilkan bentuk-bentuk baru kebudayaan Indonesia kuna yang pada akhirnya pencapaian itu diakui sebagai hasil kreativitas penduduk kepulauan Indonesia sendiri. Salah satu hasil kebudayaan yang merupakan kreatifitas penduduk Indonesia adalah arsitektur dalam hal ini rumah Jawa. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya peninggalan-peninggalan arkeologis. Dimensi waktu dibagi atas jaman Hindu Budha dan jaman Islam. Menurut Wiyoso Yudoseputro, masa Indonesia lama terbagi menjadi 3 bagian waktu yaitu jaman prasejarah, jaman Hindu Budha, dan jaman Islam. Tetapi karena data-data pada masa prasejerah sangat terbatas, maka dalam uraian ini disajikan penjelasan tetang rumah Jawa pada jaman Hindu Budha dan jaman Islam.

Sejarah Perkembangan Rumah Jawa
Sejarah perkembangan rumah Jawa dimulai dari jaman prasejarah yaitu masa neolitik (2500-1500 SM) dan megalitik ( 1500 SM-200 M). Pada masa itu orang Jawa hidup dalam masyarakat pedesaan yang sudah dikonsolidasikan dan menjadi inti masyarakat baru yang memperkembangkan desa atau kampung tradisional. Bentuk gubuk mereka masih agak kecil, berbentuk kerucut dengan atap yang langsung menempel ke tanah dan dibuat dari daun-daunan. Pada perkembangannya, teknik tradisional tentang pembangunan rumah yang dapat dibongkar pasang (knock down) mulai dikembangkan. Hal ini dikarenakan rumah tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka yaitu ladang berpindah serta pembukaan hutan dengan cara membakarnya. Atap rumah yang berbentuk kerucut sudah terpisah dari tanah.
Kemudian dilanjutkan dengan jaman atau masa Hindu Budha. Jaman ini disebut “masa Jawa Kuno” dalam pengertian ini adalah yang dimaksud adalah suatu masa yang panjang ketika kebudayaan Jawa mendapat pengaruh dari India. Masa Jawa Kuno di dalam sejarah kebudayaan sering disebut dengan masa Hindu atau masa klasik. Masa tersebut dibagi menjadi dua periode yaitu masa klasik tua (abad VII-X) dan masa klasik muda (abad XI-XVI). Jaman keemasan peradaban Jawa dimulai pada akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9 saat wangsa Sailendra yang beragama Budha mengambil alih kekuasaan di Jawa dari wangsa Sanjaya. Tempat kedudukan pemerintahan dinamakan Keraton, yang berarti istana raja dan rumah tangga istana. Pada masa itu juga konstruksi kayu diperkenalkan kepada rakyat.
Sekitar abad ke-13 hingga abad ke–14 pada saat Majapahit diperintah oleh Hayam Wuruk, dalam bidang arsitektur dikembangkan ekspresi dan teknik pembangunan yang baru. Buku pelajaran bagi bermacam bagian pembangunan diterbitkan, pengetahuan dasar tentang pembangunan rumah kediaman, candi, pemandian dan tata kota diadakan pada waktu itu. Pembangunan dengan batu alam dihentikan dan penggunaan batu merah beserta konstruksi kayu diistimewakan dan diperkembangkan sedemikian rupa sehingga masih dipergunakan pada masa kini dalam arsitektur dan tata kota.
Periode selanjutnya adalah masuknya Islam di Indonesia pada abad ke-7 dan berkembang pada abad ke-12. Periode ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari periode Hindu Budha. Pedoman dan peraturan seni bangunan pada jaman Islam disempurnakan dan mencapai puncak perkembangan seni bangunan kayu. Bangunan masjid dan istana raja adalah contoh bagaimana tradisi arsitektur kayu mencapai bentuknya apda jaman Islam.

Sumber Pictorial
Sumber pictorial ini diperoleh dari relief-relief candi di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur yang banyak sekali menampilkan rumah Jawa. Menurut Bernet Kempers banyak hal- hal yang diungkapkan pada relief yang mempunyai hubungan langsung (erat) dengan keadaan yang dapat ditemukan di Jawa atau tempat lain. Berdasarkan data-data yang diperoleh dapat diketahui bahwa gambar-gambar yang ada di relief candi, baik candi Jawa tengah dan Jawa timur memiliki kesamaan bentuk. Candi-candi yang ada di Jawa Timur sepereti Candi Surowono, Candi Tegowangi, Candi Panataran menampilkan rumah Jawa pada jaman Majapahit.
Pada relief-relief candi Surowono di Kediri, banyak menampilkan rumah tradisional Jawa pada masa Majapahit. Berdasarkan relief ini diketahui bahwa rumah Jawa dibuat dengan atap berbentuk sirap, terdapat kolom-kolom penyangga atap dan berdiri pada sebuah landasan (kemungkinan umpak) dan batur. Belum ada dinding penyekat antar ruangan.

Foto 1. Arsitektur Jawa pada Relief candi Surowono (koleksi pribadi)

Pada relief Candi Tegowangi di Kediri, rumah Jawa dibuat sangat menarik. Berbeda dengan rumah Jawa pada relief candi Surowono yang dipahat dengan menggunakan teknik dua dimensi, pada relief candi ini rumah Jawa dipahat dengan menggunakan teknik tiga dimensi. Bentuk rumah Jawa tidak jauh berbeda dengan candi Surowono. Rumah Jawa pada candi ini dibuat lebih detail, lebih kelihatan bahan material yang digunakan. Misalnya atap sudah tidak lagi polos.

Foto 2. Rumah Jawa pada Relief candi Tegowangi (koleksi pribadi)


Foto 3. Rumah Jawa pada Relief candi Tegowangi (koleksi pribadi)
Adapun rumah Jawa yang dipahat pada relief Candi Panataran di Blitar, penampilannya hampir sama dengan rumah Jawa pada relief candi Surowono Kediri yaitu dalam dua dimensi. Tetapi bentuk rumahnya sama dengan kedua candi di atas yaitu beratap sirap ( sudah detail, beda dengan yang ada di Candi Surowono), mempunyai kolom penyangga atap, tanpa dinding, batur, dan umpak.

Foto 4. Rumah Jawa pada relief candi Panataran, Blitar (koleksi pribadi)


Foto 5. Rumah Jawa pada relief candi Panataran, Blitar (koleksi pribadi)


Dari penelusuran yang ada dapat diketahui bahwa jenis rumah pada masa Hindu dan Budha adalah rumah kolong atau rumah panggung. Menurut Mangunwijaya, ada kekhususan bersama yang dimiliki oleh bangsa-bangsa yang tersebar luas, yakni perihal teknik pembangunan rumah atau bangunan-bangunan lain. Sistem dasarnya adalah sistem rumah panggung atau rumah kolong. Rumah panggung atau rumah kolong benar-benar merupakan penyelesaian yang berkualitas tinggi. Pertama, rumah panggung sehat, tidak langsung terkena kelembaban dan serangan binatang-binatang yang mengganggu bahkan membahayakan. Kedua, dari fisika bangunan, hal itu sangat melindungi bangunan terhadap kelembaban tropis yang amat ganas dan mudah membusukkan bangunan yang terbuat dari kayu. Selain itu, rumah bersistem rumah panggung kebal terhadap gempa bumi. Rumah panggung ini dapat dilihat pada relief di candi-candi Hindu maupun Budha, yang artinya bahwa rumah panggung ini sudah berkembang pada masa Hindhu di Jawa.
Rumah kolong tersebut sampai saat ini masih dapat ditemui di beberapa bagian di pulau Jawa, misalnya di Kampung Naga Jawa barat. Rumah-rumah penduduk masih menggunakan sistem rumah kolong dengan dinding anyaman bambu dan atap dari ijuk.

Foto 6. Rumah masyarakat Kampung Naga yang menggunakan sisten rumah kolong (koleksi pribadi)





SUMBER VERBAL

Sumber verbal ini diperoleh dari naskah atau manuskrip. Prijotomo menjelaskan bahwa terdapat beberapa naskah Kawruh Kalang yaitu:
Kode Judul Keterangan
KSW Serat Tjarijos Bab Kawroeh Kalang (1901) Aksara Jawa bahasa Jawa, tulisan tangan, penyusun R. Sasrawiryatma
KSP Serat Tjarijos Bab Kawroeh Kalang (1934) Aksara latin bahasa Jawa, ketikan, penyusun R. Sasrawiryatma, pelatinan atas perintah Dr. Th. Pigeaud.
KSN Serat Tjarijos Bab Kawroeh Kalang (1992) Aksara latin bahasa Jawa, ketikan, penyusun R. Sasrawiryatma, pelatinan oleh E. Siti Nuryanti.
KM Kawroeh Kalang (1906) Aksara Jawa, bahasa Jawa, tulisan tangan, penyusun Mangoendarma
KMN Kawroeh Kalang (1936) Aksara latin, bahasa Jawa, ketikan, penyusun Mangoendarma, yang melatinkan nn.
Tabel 1. Nama-nama Naskah Kawruh Kalang (singkatan pada kode dilakukan oleh Prijotomo)

Salah satu naskah Kawruh Kalang yang akan dibahas adalah Kawruh Kalang yang disusun oleh R. Sasrawiryatma di Surakarta pada tahun 1901. Sekarang, teks tersebut disimpan di Perpustakaan Museum Sonobudoyo dengan kode PB A 285 31. Buku yang bertuliskan aksara Jawa ini (KSW) memuat keterangan tentang pembuatan rumah Jawa tradisional : rumah Taju, jug loro, limasan, gajah sap, saka, tumpang 5, suh kuningan atau mamas, umpak dari marmer atau batu, gaya diukir, panitih, molo, ander, dudur, takir, tumpang, reng, sirap, wuwung, cukil, tutup keyong, tutup kencong, tanda, angka Kalang yang disebut angka ageng, dapur rumah, sajen, kayu jati.
Dibawah ini akan diperinci tentang isi Kawruh Kalang berdasar topik :
Bab. Topik
Pembuka
1 Tentang Dhapur/tipe rumah Jawa
2 Ukuran Blandar Pangeret
3 Pembuatan saka/tiang
4 Pembuatan Umpak
5 Pembuatan sunduk
6 Pembuatan santen
7 Pembuatan gonja
8 Pembuatan molo
9 Pembuatan ander
10 Pembuatan dudur
11 Takir Tadhah las
12 Blandar Pananggap dan Sunduk Bangunan jugloro
13 Blandar dan sunduk emperan bangunan jugloro
14 Blandar dan sunduk bangunan Limasan
15 Blandar dan Sunduk emperan bangunan Limasan
16 Blandar Pananggap dan sunduk bangunan Taju
17 Blandar emper bangunan Taju
18 Tumpangsari
19 Usuk
20 Reng
21 Sirap
22 Plisir
23 Wuwung
24 Cukit
25 Tutup Keyong
26 Pemilihan Kayu untuk konstruksi lingkungan bina
27 Angka Kalang
28 Aneka Ragam dhapur/tipe lingkungan bina Jawa
29 Sesajian
30 Nama-nama dari bermacam kayu jati
Tabel 2. Bab dan isi dari naskah Kawruh Kalang (KSW)

Naskah lain yang hampir sama dengan Kawruh Kalang (KSW) yaitu Manuskrip Kawruh Kambeng, ditulis oleh Mas Behi Sutosukarya tahun 1933 di Pendapa Prangwedanan Surakarta atas perintah Dr. Th. Pigeaud. Naskah tersebut saat ini disimpan di Museum Sonobudoyo dengan kode PB E.91 55, bahasa Jawa aksara Latin.
Memperhatikan topik yang dibicarakan dalam setiap Bab, kuat sekali dirasakan adanya sasaran pembicaraan tertentu dari naskah ini yakni tentang bagian-bagian konstruktif dari bangunan, tidak hanya disampaikan letak bagian konstruksi ini dalam keseluruhan bangunan, tetapi juga disampaikan pengukuran dalam menetapkan panjang lebarnya bagian konstruksi bangunan itu; disampaikan pula keletakan konstruktifnya dalam keseluruhan kerangka bangunan. Dengan muatan isi seperti ini, dapat dikatakan bahwa sasaran yang dituju dari naskah ini adalah tukang bangunan. Waktu yang lampau, kegiatan perencanaan dan perancangan dilakukan oleh seseorang yang dianggap ahli oleh lingkungan masyarakat tersebut, yang diserahi tanggungjawab untuk mengembangkan pemikirannya untuk menciptakan bangunan rumah tinggal. Rumah tinggal yang diciptakan lebih banyak tergantung pada pemuka ahli tersebut dari pada pihak calon pemakainya. Sehingga kesamaan atau perubahan yang terjadi sangat tergantung pada perubahan yang diinginkan oleh pemuka ahli tersebut. Para pemuka ahli teknik yang disebut “Kalang” yang artinya tukang kayu ahli bangunan rumah, adalah para tenaga kerja yang dilatih dan dididik oleh para guru adat, yang kebanyakan dari lingkungan Kraton, sebagai abdi dalem kraton. Mereka belajar dari guru adat dengan cara latihan, sedang guru adat mengetahui hal-hal tersebut dari membaca ajaran-ajaran yang bersifat simbolik yang dibuat oleh pujangga kraton. Pengetahuan-pengetahuan tentang pembuatan rumah tersebut kemudian dituliskan dalam bentuk naskah supaya pengetahuan yang bersifat turun temurun dapat dibaca dan diketahui oleh masyarakat luas.
Menurut sejarah Prabu Jayabaya menyetujui pembuatan rumah dari kayu dengan alasan kayu merupakan bahan yang mudah didapat, perabot dari bahan kayu mudah dikerjakan, dan perbaikan perabot dari kayu mudah dilakukan.
SUMBER ARSITEKTURAL
Sumber-sumber arsitektural didapat dari bukti-bukti bangunan yang masih ada. Dalam paparan di bawah ini akan diuraikan tentang arsitektur Jawa yang masih ada, baik itu dari situs candi maupun rumah-rumah tradisional.
1. Situs-situs candi Di Jawa Tengah dan Jawa timur.
Di beberapa candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur ditemukan beberapa situs tentang bangunan Jawa. Seperti yang ada di Dieng, terdapat bekas tempat untuk persiapan para pendeta mempersiapkan upacara. Artefak yang masih ada berupa umpak dari batu alam dan area berbentuk segi panjang, ada satu bangunan yang kelihatannya dicoba untuk direkonstruksi, tetapi hal itu belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Bangunan tersebut didirikan pada sebuah bidang segi empat yang terbuat dari batu, terdapat beberapa umpak dan saka dan beratap ijuk berbentuk kampung.

Foto 7. Bangunan yang ”mungkin” direkonstruksi di situs Dieng

Selain bangunan di atas, terdapat sebidang tanah, terdapat susunan batu yang dijadikan landasan bangunan dan beberapa batu alam (kemungkinan umpak). Bidang tersebut terletak tidak jauh dari bangunan ”rekonstruksi”. Bidang tersebut mungkin sama dengan bangunan yang direkonstruksi, karena terdapat kemiripan landasan dan umpak.

Foto 8. Bidang yang terdapat umpak.

Selain di Dieng, pada situs – situs di Jawa Timur seperti Panataran juga terdapat sebidang tanah dengan beberapa landasan (umpak) seperti yang terdapat di Dieng. Tetapi ukuran umpak yang ada di Panataran lebih besar dibanding yang ada di Dieng. Bidang ini terletak di depan gugusan Candi Induk, sama seperti yang ada di Dieng.

Foto 9. bidang/area yang terdapat umpak.



2. Arsitektur/ Rumah Tradisional Jawa
Setelah mengetahui keberadaan rumah Jawa jaman Hindu, kemudian akan dilihat keberadaan rumah Jawa jaman Kerajaan Mataram Islam atau lebih tepatnya jaman kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam perkembangannya, artefak rumah Jawa pada masa Islam yang ada di Yogyakarta sudah mendapat pengaruh kebudayaan Indis. misalnya penggunaan marmer pada lantai, dinding menggunakan tembok dan lain-lain. Tetapi dari bentuk atap masih mempertahankan konsep-konsep Hindhu yaitu merupakan stilasi bentuk gunung (Meru) yang dianggap suci oleh masyarakat Jawa. Dari segi elemen estetis, pada rumah Jawa jaman Kerajaan Yogyakarta sudah mengenal ragam hias yang dibuat dengan makna-makna dan simbol – simbol tertentu. Setiap ragam hias mempunyai tempat tersendiri pada bagian elemen arsitekturalnya.
Selain Kraton, di Yogyakarta ternyata masih banyak terdapat artefak rumah pangeran yang masih berdiri dan berkondisi baik meskipun sekarang sudah banyak yang beralih fungsi atau dijual dengan pihak luar dengan pertimbangan biaya perawatan yang sangat tinggi (alasan ekonomis). Rumah pangeran mempunyai organisasi ruang yang cukup lengkap dibanding dengan rumah rakyat biasa :


Gambar 1. Organisasi ruang dalam rumah Jawa yang lengkap
.(sumber Heinz Frick,1997, hal. 89




Foto 10. Atap rumah pangeran yang menggunakan konsep gunung
(koleksi pribadi)


Foto 11. Perkembangan fumgsi umpak dan lantai yang berasal dari rumah kolong
di kraton Yogyakarta (koleksi pribadi).


Foto 12. Penggunaan profil dan dinding yang tebal pada rumah pangeran adalah wujud pengaruh budaya Indis pada rumah Jawa. (Koleksi pribadi)


Kesimpulan
Dengan memperhatikan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Arsitektur bangunan rumah tinggal yang berkembang pada Jaman Hindu dan Budha dapat dibedakan dalam tiga kelompok :
a. Rumah Jawa Kuno, mempunyai ciri-ciri : Konstruksi bangunan dari kayu yang merupakan tiang berdiri di atas tanah, mempunyai kolong dan tanpa pemisah ruang.
b. Rumah majapahit lama, mempunyai ciri-ciri : konstruksi bangunan dari kayu yang berdiri di atas batur dan masih belum ada pembatas yang permanen. Penutup atapnya sudah dari genteng. Bangunan semacam ini dapat berfungsi sebagai pendapa/bale maupun sebagai tempat istirahat atau tidur.
c. Rumah Akhir Majapahit, mempunyai ciri : sama dengan rumah Majapahit Lama namun telah mempunyai pembatas yang permanen.
Rumah Jawa tersebut mempunyai sistem bangunan yang disebut sistem rumah kolong.
2. Rumah Jawa pada masa Islam yaitu pada jaman Kasultanan Yogyakarta sudah mulai mengenal teknologi barat yaitu dengan penggunaan materialnya meski konsep Hindu masih sangat kentara. Selain itu unsur estetika mulai diterapkan yaitu dengan penggunaan ornamen atau ragam hais. Selain itu pengetahuan tentang membangun rumah mulai dibukukan dengan ditulisnya manuskrip tentang teknik pembuatan rumah jawa yang disebut Kawruh Kalang.






GLOSARIUM

Blandar : Balok keliling (ring) yang menghubungkan bagian atas saka guru dalam arah memanjang.

Cukit : Usuk sambungan yang terletak di akhir blandar
Dalem Ageng : Rumah inti pada rumah Jawa tradisional. Terletak di belakang pendapa dan pringgitan. Bagian ini terdiri atas tiga area, yaitu tiga kamar yang disebut senthong tengah, senthong kiwo, senthong tengen.

Emper : Atap yang terletak di bawah atap serambi.

Gadri : Serambi (ruang makan) yang terletak di belakang dalem ageng

Gandhok : Bangunan kecil memanjang yang terdapat disekitar omah njero. Kata gandhok dalam bahasa jawa berarti pasangan atau rekatan yang ditambahkan. Ruang ini merupakan bangunan tambahan yang mengitari sisi samping dam belakang bangunan inti.

Ganja : Balok atas (pelana) di bawah ander, penopang molo untuk menjaga keseimbangan.

Guru : Pembagi blandar pengeret pada bubungan rumah bentuk joglo yang letaknya paling bawah.

Kalang : Ahli bangunan yang bekerja pada Sultan; kumpulan semua orang pakuya. Karena pengaruh Islam, kasta pakuya lama-lama diabaikan. Kelompok ini tampaknya hanya berlaku di Yogyakarta.

Kawruh Kalang : Naskah Jawa tentang bangunan Jawa
Kawruh Kambeng : Sebutan lain Kawruh Kalang.
Kili : Balok di bawah pengerat dan terletak miring pada tiang.

Molo atau Sirah : Penampang balok molo adalah bujursangkar
Pamidhangan : Rongga yang terbentuk dari rangkaian balok/tumpang sari pada brunjung/gajah bangunan.

Penanggap : Atap rumah bentuk joglo yang terletak di bawah bubungan.

Pendapa : Pendapa adalah ruangan yang berada pada bagian terdepan dari keseluruhan bangunan.

Pendapa : Balai penerimaan tamu
Petungan : Sistem pengukuran dan perhitungan dalam arsitektur Jawa, disebut oleh Clifford Geertz sebagai numerology.

Pringgitan : merupakan lorong penghubung antara pendapa dengan omah njero. Bagian pringgitan ini sering difungsikan sebagai tempat pertunjukan wayang kulit.

Reng : Kayu kecil pipih untuk tempat sirap atau genting
Saka emper : Tiang penyangga blandar teritis.
Saka guru : Tiang utama.
Saka penanggap : Tiang serambi yag tidak menyangga blandar.

Senthong Kiwo : Ruang tidur tuan rumah; terletak bagian belakang dalem ageng sebelah kanan.

Senthong tengah : Ruang ini merupakan ruang yang sakral yang sering menjadi tempat pelaksanaan upacara atau ritual keluarga. Tempat ini juga menjadi tempat penyimpanan benda – benda pusaka keluarga penghuni rumah

Senthong tengen : Ruang pengantin lengkap dengan pelaminan selama 35 hari sesudah perkawinan; terletak di bagian belakang dalem agung sebelah kiri.

Sunduk : Berfungsi sebagai penyiku atau stabilisator.
Takir : Yang dimasuki ujung tiang
Takir : Menampung seluruh daya berat dari brunjung.
Takir : Yang dimasuki ujung usuk
Tumpang : Balok yang bersusun-susun dan jumlah harus ganjil.

Tumpang sari : Sama dengan tumpang tetapi letaknya paling bawah di antara tumpang yang lain. Tumpang: tindih-menindih; sari: bunga.

Tutup keyong : Tutup sisi samping pada rumah bentuk kampung
Umpak : Ganjal tiang. Dapat dibuat dari batu, bata, atau kayu.
BELAJAR DARI KEARIFAN MASYARAKAT NAGA

Martino Dwi Nugroho, MA


Tulisan ini bukan mengajak kita hidup dan berbuat seperti masyarakat tradisional Kampung Naga, tetapi merupakan refleksi bagaimana kita harus belajar tentang pelestarian warisan dari kearifan nenek moyang kita yang berupa rumah tinggal ini. Nenek moyang kita meninggalkan warisan tentang suatu teknologi arsitektur yang berdasarkan konsep ekologis dan mempunyai dampak pada perilaku masyarakatnya.
Kampung Naga merupakan perkampungan adat yang dihuni oleh masyarakat yang sangat kuat memegang adat istiadat yang diwariskan oleh tradisi leluhurnya. Masyarakat Kampung Naga atau biasa disebut masyarakat Naga, hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suasana dan lingkungan kearifan tradisional. Menuju Kampung Naga bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Menuruni anak tangga yang cukup jauh (bagi yang tidak terbiasa), menyusuri pinggiran sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray, Garut. Aura kearifan, kesederhanaan, dan alami sudah bisa dirasakan bagi yang akan memasuki Kampung Naga ini. Kejujuran dalam diri penduduk dan rumah tinggal mereka sangat kentara bisa kita saksikan. Kondisi bangunan-bangunan di Kampung Naga cukup terpelihara keasliannya, baik bentuk, bahan, maupun warna. Keterawatan bangunan ini karena ketaatan dan kepatuhan akan larangan dari leluhur. Bagi masyarakat Kampung Naga, rumah tidak sekedar sebagai tempat berlindung, tetapi juga sebagai pusat dan sumber asal seseorang.
Rumah-rumah di Kampung Naga terbuat dari kayu dan anyaman bambu (gedheg)yang dicat warna putih, beratap ijuk. Tak ada paku, tak ada beton. Begitulah umumnya rumah di kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat, jujur dalam menggunakan bahan-bahan bangunan. Memang akan banyak menggunakan bahan kayu dan bambu, tetapi kayu dan bambu adalah sumber daya alam yang dapat diperbaharui, sehingga tidak perlu khawatir akan kehabisan bahan baku. Di sebagian besar pulau Jawa, kayu jati masih menjadi idola untuk membuat rumah, tetapi saat ini perlu difikirkan bahan pengganti jati. Di dalam rumah-rumah tersebut kejujuran sangat tampak dengan tidak menggunakan meja kursi pada ruang tamunya, dimana setiap tamu yang datang dianggap sama dengan tidak ada derajat perbedaan. Hal tersebut berbeda dengan masyarakat kota yang menerapkan sistem sifat ruang publik, semi publik dan privat di mana sistem tersebut merupakan saringan mana orang yang boleh masuk ke dalam mana yang tidak. Antara ruang tamu dengan ruang keluarga tidak ada sekat. Hal tersebut menandakan bahwa tidak ada yang disembunyikan dalam keluarga mereka dari orang lain. Hal tersebut berpengaruh pada perilaku masyarakatnya, contoh tidak ada rasa individualisme pada penduduknya, beda dengan rumah yang mempunyai tembok pagar yang besar dan tertutup, serasa tidak mengenal orang lain. Konstruksi rumahnya menggunakan sistem rumah panggung atau rumah kolong dengan fondasi batu menyerupai umpak. Adapun sistem tersebut terbukti tahan terhadap gempa, dimana pulau Jawa ini daerah rawan gempa. Sistem penghawaan dan pencahayaan di Kampung Naga ini juga sangat baik, dengan tetap mempertahankan pepohonan di lingkungannya, dengan suara gemericik air menambah suasana hati dan pikiran menjadi tenang dan sejuk, dan tanpa stres.
Masyarakat modern ada baiknya mengadopsi rumah dan penataan lingkungan seperti di Kampung Naga ini. Alangkah arifnya kita jika kembali pada penggunaan bahan-bahan yang ekologis saat bumi yang semakin renta ini semakin tidak bersahabat dengan kehidupan kita. Secara visual, bentuk rumah di Kampung Naga ini seperti rumah desa di Jawa tengah yang imejnya rumahnya orang miskin. Tetapi dengan sentuhan desain, menjadikan rumah yang tadinya ndeso (desa, ketinggalan jaman) menjadi kutha (kota, modern). Desain interior sangat berperan menciptakan desain-desain yang ramah lingkungan untuk ke depan menjadikan hidup kita menjadi lebih baik. Kita memang tidak bisa lepas dari pengeruh teknologi Barat, tetapi kita bisa belajar dari Masyarakat Naga bahwa kita tidak perlu terseret dengan alur pikiran Barat, bahwa kita mempunyai teknologi sendiri yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia yang wajib kita pertahankan dan kita lestarikan.
Sekilas tentang arsitektur masyarakat Bagelen

Martino Dwi Nugroho, MA.


Berbicara tentang kebudayaan, pastinya kita akan membahas tentang produk hasil cipta, karsa dan karya manusia. Salah satu hasil karya manusia adalah arsitektur. Dan kawasan yang akan dibicarakan dalam edisi ini adalah arsitektur masyarakat Bagelen. Masyarakat bagelen merupakan masyarakat yang unik, baik dilihat dari struktur masyarakatnya ataupun arsitekturnya.
Bagelen pada tahun 1830 merupakan karesidenan baru yang dibentuk pemerintah kolonial Hindia Belanda. Wilayah ini adalah bekas milik Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta yang jatuh ke tangan Belanda melalui perjanjian antara Belanda dengan Sunan dan Sultan pada tanggal 22 Juni 1830 yaitu setelah berakhirnya Perang Diponegoro 28 Maret 1830. selanjutnya Karesidenan Bagelen sejak 1 Agustus 1901 dihapuskan dan dimaksudkan ke dalam wilayah karesidenan Kedu, namun dalam mulut rakyat rupa-rupanya Bagelen tetap dipisahkan dengan Kedu. Ketika masih berstatus karesidenan, Bagelen terdiri dari afdeeling Purworejo dan Kebumen, serta afdeeling (kemudian jadi regentchap) Wonosobo. Sedang pada Kerajaan Mataram yang dimaksud dengan Bagelen adalah afdeeling Purworejo dan Kebumen saja. Karena Wonosobo yang dahulu terdiri dari daerah Ledok dan Guwong rupanya tidak termasuk dalam wilayah Bagelen. Bagelen rupanya merupakan salah satu daerah yang memiliki cara pembagian wilayah menurut konsep moncapat (corak magis empat lima yang mengandung empat mata angin dan pusatnya sebagai aturan administratif kuno maupun awal-mula mikrokosmos). Sampai pada sekitar 1950-an di daerah Bagelen masih ditemukan adanya kesatuan-kesatuan administrasi terdiri dari lima desa yang disebut glondhongan. Konsep Moncapat ini sesuai dengan pola kebiasaan dan cara pandang spiritual khas Jawa yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Bagelen, yakni ajaran akan papat kiblat lima pancer. Secara harfiah, ajaran tersebut bermakna empat arah mata angin dan satu pusat, yaitu diri. Ajaran ini membantu Komunitas Bagelen selalu menjaga keseimbangan hidup sehingga selalu terhindar dari pageblug (pandemik), bencana, dan bisa hidup berdampingan dalam keragaman masyarakat
Ciri logat Banyumas berkembang di Bagelen yang dipengaruhi logat Yogya-Sala dan tradisi agama pesisir. Di dalamnya berkembang bentuk-bentuk organisasi sosial kuno, upacara-upacara ritus kehidupan, ceritera-rakyat dan kesenian yang khas. Sehingga dapat dikatakan bahwa Bagelen merupakan potret akulturasi budaya Islam Jawa.
Masjid yang didirikan pada tahun 1618 ini berarsitektur tradisional Jawa dengan atap tajuk tumpang satu. Konstruksi kayu serta Gonjo Masjid Santren sama dengan yang ada di Masjid Menara Kudus dan Masjid Kajoran Klaten. Masjid ini terletak di kawasan yang cukup rindang, ±400 m dari jalan utama melalui jalan tanah yang tidak begitu lebar ± 3 m. Tidak ada sign system yang menunjukkan bahwa di situ terdapat masjid yang sangat bersejarah. Belum adanya perhatian dari pemerintah daerah menjadikan kawasan disekitar masjid ini belum tertata dengan baik. Berbeda dengan masjid Jawa pada umumnya yang dikelilingi pagar, masjid ini tidak dikelilingi pagar. Justru masjid ini dikelilingi oleh makam-makam leluhur.
Kenthol adalah gelar bangsawan setempat di Bagelen. Dipilihnya rumah tinggal Kenthol karena dalam susunan ruang pada rumah bangsawan lebih lengkap dari rumah – rumah orang biasa. Salah satu kenthol yang ada di Bagelen dan masih memiliki rumah tradisional adalah Bapak R. Sunarto. Rumah beliau berdekatan dengan petilasan Nyai Bagelen. Masyarakat yang ingin ”berkunjung” ke petilasan Nyai Bagelen harus meminta ijin pada Bapak R Sunarto. Suasana sejuk karena dikelilingi pepohonan yang rindang menjadikan suasana rumah menjadi adhem ayem. Menurut pak Sunanto, rumah yang beliau diami adalah tipe rumah joglo beratap Brunjung dimana atapnya tetap dipertahankan. Rumah ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu depan, tengah dan belakang. Ruang Depan terdiri dari pendopo dan pringgitan yang lebih bersifat publik. Ruang Tengah terdiri dari Ruang Keluarga dan beberapa kamar tidur yang lebih bersifat semi privat. Ruang Belakang terdapat dapur atau orang Jawa menyebutnya Pawon yang bersifat privat. Ada yang menarik pada pendopo ini. Terdapat umpak yang ukurannya lebih besar daripada umpak ruang tengah (dalem). Ini berbeda dengan umpak yang terdapat pada rumah Jawa pada umumnya yang mana ukuran umpak dalem lebih besar dari pada pendopo. Sehingga dapat diintrepertasikan bahwa ungkapan prestise pemilik rumah berada di ruang pendopo.
Dalem Nototarunan, Bangunan Bersejarah Masa Mataram Islam
Riwayatmu Kini….


Martino Dwi Nugroho, MA.


Perjanjian Giyanti (1755) memang membawa pengaruh sangat besar terhadap struktur pemerintahan di Jawa (baca:Mataram) yaitu terbaginya kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda, lahirlah sebuah kerajaan baru di Jogjakarta, yaitu Kadipaten Pakualaman. Saat itu, Gubernur Jenderal Raffles menilai bahwa Sri Sultan HB II dan Sunan Solo tidak mentaati Perjanjian Tuntang. Karena itu, Sultan HB II dipaksa oleh Raffles untuk turun tahta. Kemudian, Raffles mengangkat Sri Sultan HB III dengan mengurangi daerah kekuasaan Kasultanan Jogjakarta. Sebagian dari wilayah kekuasaan Kasultanan diberikan kepada Pangeran Notokusumo yang adalah saudara dari Sri Sultan HB III. Daerah otonom ini – sebagian di dalam kota dan sebagian di daerah selatan Jogja (Adikarto) – menjadi sebuah Kadipaten baru yang dikuasai dan dipimpin oleh Pangeran Notokusumo tersebut. Pada tanggal 17 Maret 1813, Pangeran Notokusumo mengukuhkan tahtanya dan bergelar Pangeran Adipati Paku Alam I. Pada dasarnya, daerah Pakualaman ini merupakan hadiah dari Sultan Hamengku Buwana III (Santosa, 2008). Sebagai suatu kawasan kerajaan (baca:kadipaten), Pakualaman mempunyai beberapa bangunan tradisional bersejarah. Selain kraton Pakualaman, terdapat beberapa dalem pangeran yang tersebar di kawasan Pakualaman. Salah satu dalem Pangeran yang ada di Pakualaman adalah Dalem Nototuran.
Dalem Nototarunan, didirikan tahun 1811. Dalem ini dibangun oleh BPH. Notokusumo. Pada tahun 1812 dipergunakan sebagai rumah tinggal BRM. Salya putra K.G.P.A.A. Paku Alam I dengan garwa ampeyan raden Riya Purnamasari. BRM. Salya ini yang mengganti penguasa Puro dengan gelar KGPAA Paku Alam II. Dalam catatan yang berhasil dihimpun oleh BP3 Yogyakarta, bangunan tersebut sudah mengalami sepuluh kali pergantian status kepemilikan. Sehingga bisa dikatakan bahwa dalem Nototarunan adalah rumah tinggal putra mahkota Puro Pakualaman dan dapat dikatakan juga bahwa nilai dan kedudukan bangunan ini sama dengan Dalem Mangkubumen. Dalem ini adalah dalem yang mempunyai umur tertua dibanding dengan dalem-dalem yang ada di kawasan Pakualaman. Hal yang menarik pada bangunan ini adalah dilihat dari tahun pembuatan bangunan ini. Seperti telah disebutkan di atas bahwa bangunan ini didirikan tahun 1811, sedangkan Pangeran Notokusumo naik tahta menjadi Paku Alam I tahun 1813. Terdapat rentang waktu 2 tahun dimana pangeran Notokusumo bertempat tinggal. Ada kemungkinan bahwa sebelum pindah ke Kraton atau Puro Pakualaman, Pangeran Notokusumo bertempat tinggal di Dalem Nototarunan. Kita ingat ketika Pangeran Mangkubumi membangun Kraton Yogyakarta, selagi karton belum selesai, beliau beserta keluarganya pertempat tinggal di Istana Ambarketawang, di daerah Gamping.
Bangunan yang menghadap selatan dengan dengan luas bangunan 605 m² dan luas tanah 2317 m² yang beralamat di Gunungketur PA II/128 RT 24 RW 06 Yogyakarta mempunyai beberapa bagian ruang seperti bangunan dalem pada umumnya seperti kuncungan, pendapa, pringgitan, dalem ageng, gadri, gandok kiwa, seketheng. Dapur saat ini sudah tidak ada. Bangunan ini dikelilingi oleh tembok keliling dan mempunyai pintu gerbang yang oleh orang-orang sekitar disebut manuk beri. Ada beberapa bangunan magersari disisi timur. Pada tanggal 27 Mei 2006, sesaat setelah kejadian gempa bumi dahsyat yang melanda DIY – Jateng, Dalem Nototarunan merupakan salah satu bangunan yang mengalami kerusakan akibat gempa bumi yang terjadi. Beberap bagian yang hilang dan rusak berat antara lain manuk beri, kuncung dan gadri. Namun sudah 3 (tiga) tahun lebih bencana berlalu, tetapi sampai saat ini, Dalem tersebut masih saja terbengkalai dan belum direhabilitasi. Perlu kerjasama semua pihak baik masyarakat, pemerintah, swasta dan perguruan tinggi untuk ikut serta dalam upaya konservasi bangunan ini, mengingat bangunan ini mempunyai nilai sejarah yang sangat tinggi. Diharapkan dengan direhabilitasinya dalem ini, nilai historik dan nilai kulturalnya tetap terjaga dan terlestarikan.
PERPADUAN ANTARA DESAIN INTERIOR DAN KERAJINAN TANGAN (CRAFT)

Martino Dwi Nugroho, MA

Sebelum membahas tentang desain interior, perlu kiranya ditinjau tentang arti kata desain untuk melihat hubungan antara desain dengan craft. Secara estimologis kata desain berasal dari kata “designo” (Italia) yang artinya gambar. Kata ini diberi makna baru dalam bahasa Inggris pada abad ke-17, yang digunakan untuk membentuk School of Design tahun 1836. Makna baru tersebut dalam praktek kerapkali semakna dengan craft, kemudian atas jasa Ruskin dan Morris- dua tokoh gerakan antiindustri di Inggris pada abad 19, kata ”desain” diberi bobot sebagai art and craft : yaitu paduan antara seni dan kerampilan.

Menurut Agus Sachari (2002), dalam dunia kesenirupaan Indonesia, kata desain kerapkali dipadankan dengan reka bentuk, tatarupa, rekayasa, perencanaan, gambar, hasil ketrampilan, karya kerajinan, kriya, penggayaan, ruang, menyusun, mencipta dan pelbagai kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan merancang dalam arti luas.

Desain interior adalah karya seni yang mengungkapkan dengan jelas dan tepat tata kehidupan manusia dari satu massa melalui media ruang. Sedangkan mengenai maksud dan tujuan desain interior yaitu pada mulanya desain interior hanya menitikberatkan pada fungsi semata, tapi pada perkembangan selanjutnya, desain interior mempunyai jangkauan yang lebih jauh dengan mencakup semua unsur keindahan dari berbagai macam aspek, sehingga pada akhirnya memberi kepuasan fisik dan spiritual bagi penghuninya atau dengan kata lain bahwa desain interior harus dapat memenuhi kebutuhan berbagai kebutuhan secara memuaskan. Sedangkan makna interior sendiri secara umum bahwa, interior merupakan perancangan yang menyangkut bagian dalam suatu bangunan. Ruang perlu diatur atau ditata sebaik mungkin karena penghuni menghendaki adanya suasana yang nyaman, baik, indah dan mampu melayani kebutuhan secara fisik maupun emosional. Sistem pengaturan ruang yang mampu memenuhi persyaratan tersebut itulah yang dinamakan desain interior.

Setiap interior, apakah itu sebuah rumah, kantor, mobil semuanya harus dapat disusun dan digabungkan ke dalam sebuah unsur desain. Unsur-unsur yang paling penting adalah gaya, bentuk, warna, pencahayaan, skala (perbandingan), pola dan tekstur. Setiap unsur bisa dikembangkan untuk mendapat bermacam-macam suasana. Untuk menyusun unsur-unsur desain interior, setiap orang bisa memilih unsur tersebut menurut fungsi dan tujuannya,untuk apa ruangan tersebut dibuat. Tetapi kesemuanya tetap dalam konteks keindahan. Setiap kehidupan terpentaskan pada sebuah ruang. Dari bangun tidur hingga tidur kembali kita mempergunakan produk industrial. Sikat gigi, tempat sabun, kloset, gelas, meja-kursi kantor, semua produk industri. Namun diantara keluarga-keluarga yang hidup dalam budaya industrial yang dingin tanpa emosi di kota besar itu, kita masih sering dikejutkan oleh suasana yang lain yang khas yang indah karena hadirnya benda-benda kerajinan tangan. Benda-benda itu bisa berupa patung, lukisan, keramik hingga penyekat ruang dari kayu berukir. Benda-benda kerajinan tangan memuaskan kerinduan-kerinduan kita akan sentuhan emosi kemanusiaan dalam dunia benda-benda yang mengurung kita. Benda-benda kerajinan tangan, dimana cita-cita manusia akan keindahan dimanifestasikan, memecah kebisuan suausana industri.

Di sini terlihat bahwa kerajinan tangan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap sebuah desain inteerior. Selain faktor teknis, faktor estetis membutuhkan sentuhan kerajinan baik untuk finishing maupun sebagai elemen dekoratif. Dan kerajinan-kerajinan yang diminati sekarang adalah berupa kerajinan tangan.
Rumah Jawa, Desain yang Bersahaja (2)

Martino Dwi Nugroho, MA


Minggu yang lalu sudah dibahas rumah Jawa yang berkaitan dengan prinsip desain, yaitu pada aspek bentuk, proporsi dan skala, dan pencahayaan alami. Pada edisi ini akan dibahas prinsip-prinsip desain yang cukup penting pada rumah Jawa, yaitu pada aspek keseimbangan, keserasian dan kesatuan, dan ritme.
Memahami rumah/omah sama dengan memahami kehidupan suatu kelompok kebudayaan. Suatu kebudayaan sering memancarkan suatu watak khas tertentu yang tampak dari luar. Dalam hal ini kebudayaan Jawa memancarkan keselarasan, kesuraman, ketenangan berlebih-lebihan yang sering mengesankan kelambanan, kegemaran akan tingkah laku yang njlimet dan kegemaran akan karya atau gagasan yang rumit.
(1) Keseimbangan. Ruang-ruang interior dan elemen-elemen di dalamnya seperti dinding, perabot dan aksesori lainnya mengandung campuran dari bentuk, warna, dan tekstur. Masing-masing elemen dalam rangkaian ruang mempunyai karakter spesifik dalam hal rupa, bentuk, ukuran, warna, dan tekstur. Rumah Jawa disusun berdasarkan keseimbangan simetris. Struktur organisasi ruang selalu disusun secara simetris, misalnya gandhok kiwa dan gandhok tengen, senthong kiwa dan senthong tengen. Begitu juga dengan penataan perabot, seperti yang terdapat pada dalem ageng dalem pangeran. Gambar foto selalu dipasang kiri dan kanan mengapit senthong tengah. Begitu juga dengan cermin, selalu berpasangan. Ini menandakan bahwa orang jawa selalu menjaga keseimbangan dalam kehidupannya (keseimbangan antara jagad besar (alam semesta) dengan jagad kecil (lingkungan buatan)). Fungsi ruangpun sangat memikirkan tentang keseimbangan gender. Di dalam perwujudannya dalam rumah tinggal, omah mburi (datem, senthong, gandhok, pawon dan kulah) merupakan domain wanita, sedang pendapa adalah domain laki laki. Sementara pringgitan merupakan batas/ruang transisi antara kedua domain di atas. Jadi meskipun sering disebutkan bahwa semakin ke belakang, bagian rumah Jawa akan semakin privat, tetapi peran gender dalam konteks budaya Jawa dalam hal ini masih sangat berperan.
(2) Keserasian (harmoni) dan kesatuan. Harmoni adalah keselarasan dari beberapa bagian atau kombinasi beberapa bagian dalam satu komposisi. Prinsip Harmoni meliputi pemilihan dengan cermat elemen-elemen yang berkarakter sama seperti rupa-bentuk, warna, tekstur, dan material. Keserasian dan kesatuan dari rumah Jawa dapat dilihat dari pemilihan bahan material kayu dengan pola yang sama, warna alami, dan bentuk atap yang merupakan kombinasi dari atap joglo dan limasan, disusun sangat serasi sehingga tidak menimbulkan distorsi.
(3) Ritme. Prinsip desain dari ritme adalah pengulangan elemen-elemen dalam ruang dan waktu. Pengulangan ini tidak hanya menimbulkan kesatuan visual, tetapi juga membangkitkan suatu kesinambungan ritme gerak yang dapat diikuti oleh mata dan fikiran orang yang memandang disepanjang jalan dalam sebuah komposisi atau disekitar ruangan. Perhatikan saka (tiang) yang ada di rumah Jawa. Saka yang disusun secara berulang-ulang penuh dengan ukiran dan hiasan sehingga menimbulkan gairah, dinamis tetapi dapat ”menguasai emosinya” atau tetap bersahaja, layaknya penari yang sedang menari tari Jawa dengan lemah gemulai.
Rumah Jawa, Desain yang Bersahaja (1)

Martino Dwi Nugroho, MA


Rumah bukan hanya sekedar sosok bangunan tapi benar-benar sebuah bangunan yang penuh makna dan perlambang serta sekaligus bagian yang menyatu dengan hidup dan kehidupan. Rumah atau omah dalam kaitan ini merupakan suatu konsep berhuni orang Jawa dalam mengaktualisasikan diri, baik pribadi maupun sosial yang meliputi serangkaian kegiatan rutin maupun ritualnya. Jika kita mengamati rumah Jawa dengan seksama, maka kita akan mengetahui sebuah hasil karya yang sangat bersahaja dimana dalam proses pembuatannya dilakukan dengan penerapan kaidah-kaidah desain yang rumit tapi manusiawi. Prinsip-prinsip desain menurut Ching (1996), yaitu bentuk, warna, tekstur, cahaya, proporsi dan skala, keseimbangan, keserasian, kesatuan, ritme, dan penekanan. Di bawah ini akan diuraikan penerapan beberapa prinsip desain dalam rumah Jawa.
(1) Bentuk. Seperti diketahui bahwa terdapat beberapa bentuk dasar rumah Jawa yaitu Joglo, Limasan, dan Kampung. Mengingat dalam bahasa Jawa dikenal tingkatan bahasa yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko, dalam bahasa arsitekturnya juga terdapat ungkapan untuk kalangan atas (bangsawan), tengah (orang kaya atau terpandang), dan bawah. Struktur sosial kalangan bangsawan atau pangeran dan kerabatnya terungkap dalam bentuk rumah bertipe joglo (biasa disebut dalem), kalangan orang kaya atau terpandang dalam bentuk rumah bertipe limasan, dan masyarakat kebanyakan dalam bentuk rumah bertipe kampung. Perbedaan nama-nama tersebut berdasarkan bentuk atapnya. Dengan adanya fenomena kultural yang bertingkat-tingkat itu, maka kehidupan manusia Jawa juga tumbuh berakar pada konsep tingkatan atau hirarki.
(2) Proporsi dan Skala. Rumah Jawa dibangun berdasarkan atas proporsi atau perbandingan dari elemen-elemen arsitekturnya. Sebagai contoh, tinggi saka guru adalah diagonal dari pamidhangan (balandar dan pangeret), tinggi umpak adalah keliling penampang saka. Jika diamati lebih jauh lagi dapat diketahui bahwa proporsi yang digunakan dalam rumah Jawa sesuai dengan sistem proporsi ideal atau Golden Section. Adapaun sistem pengukuran menggunakan skala tubuh manusia, misalnya kilan yaitu jarak antara ujung jempol dan ujung jari kelingking, hasta yaitu jarak antara ujung jaru tangan dan ujung siku. Rumah Jawa juga dibagi menjadi tiga bagian seperti bentuk manusia (pola antropomorf: kepala, badan, dan kaki) baik secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal, rumah Jawa dibagi menjadi tiga yaitu atap sepadan dengan kepala, ruang sepadan dengan badan, dan lantai atau alas sepadan dengan kaki. Secara horisontal, juga dibagi tiga yaitu bagian pendopo dan pringgitan (ruang luar ) sepadan dengan kepala, ruang dalam dan gandhok sepadan dengan badan dengan pengertian gandhok sebagai lengan. Dapur sepadan dengan kaki. Pembagian ini sama dengan pembagian pada candi Hindu dan Budha yang juga dibagi atas tiga bagian yaitu kepala, badan, dan kaki.
(3) Pencahayaan (alami). Pada rumah Jawa, efek pencahayaan dibagi dua yaitu sakral dan profan (tidak sakral). Pada dalem, efek pencahayaan yang dihasilkan adalah redup (dalam bahasa Jawa: singup), disesuaikan dengan sifat ruang dalem yang sakral (bahasa Jawa: wingit) dan semi privat, di mana pada ruang tersebut terdapat senthong tengah yang dianggap sakral. Adapun efek pencahayaan di pendapa adalah terang disesuaikan dengan sifat ruang yang profan (tidak sakral) dan publik atau terbuka.
Dalem Nototarunan dan Masa Depan Pelestarian Benda Cagar Budaya

Martino Dwi Nugroho, MA.


Judul tersebut di atas diambil sama dengan tema pada saat diskusi publik pada tanggal 19 Februari 2010 dalam rangka konservasi bangunan Dalem Nototarunan sebagai benda cagar Budaya pasca gempa tahun 2006. Dalam diskusi tersebut hadir beberapa narasumber antara lain Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum selaku Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Staf BP3, Drs. Doso Winarno, M.Si selaku pimpro rehab-rekonstruksi Bangunan kuno, Joe Marbun dari MADYA dan Martino Dwi Nugroho, MA dari Prodi Desain Interior ISI Yogyakarta. Hadir sebagai peserta adalah keluarga besar ahli waris dalem Nototarunan, aparat daerah setempat dan beberapa LSM Pelestari Cagar Budaya.
Ada beberapa hal penting yang dapat dicatat dalam diskusi tersebut. Pertama, rintisan usaha konservasi atau pelestarian datang dari masyarakat. Ini sebagai bukti bahwa kesadaran masyarakat akan pelestarian benda cagar budaya sudah tumbuh (meskipun akhirnya legalitas sebagai benda cagar budaya harus tetap menunggu keputrusan dari pemerintah). Tetapi yang terpenting adalah terdapat usaha untuk melestarikan benda-benda cagar budaya sudah mulai tumbuh. Bahwa usaha peletarian bukan semata-mata karena harus membayar pajak IMB dan PBB yang tinggi, karena seperti diketahui bahwa jika bangunan tersebut sebagai benda cagar budaya, maka akan memperoleh insentif dan disentif, pengurangan dan pembebasan pajak. Datangnya para pejbat seperti kepala Dinas Kebudayaan, BP3 memnandakan adanya perhatian dan respon yang sangat besar ketika usaha pelestarian ini datang dari masyarakat. Sehingga tercipta kerjasama yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat dalam usaha pelestarian benda cagar budaya. Kedua, harus ada usaha atau kemandirian dalam mengelola aset bangunan cagar budaya yang belum mendapat legalitas hukum. Seperti contoh, Dalem Nototarunan ini. Dalem ini sedang menunggu legalitas hukum sebagai benda cagar budaya dari pemerintah. Padahal, kondisi fisik bangunan ini sudah memprihatinkan. Pasca gempa, bangunan ini hanya tergolong kerusakan sedang sehingga hanya memperoleh dana 4-5 juta untuk perbaikan. Padahal untuk bangunan sebesar ini, dana tersebut jauh dari cukup. Jika dana perbaikan tersebut menggantungkan dari pemerintah, maka yang terjadi adalah ketidakjelasan waktu. Oleh karena itu butuh kemandirian dari warga dan swata untuk bersama-sama membangun bangunan ini. Hal yang perlu dilakukan adalah membuat kelompok kerja untuk mengelola bangunan ini. Ketiga, keberlanjutan setelah bangunan ini dikonservasi. Perlu dipikirkan usaha untuk membiayai bangunan ini sendiri secara mandiri setelah bangunan ini dikonservasi. Salah satunya salah dengan membidik aspek pariwisata, karena bangunan ini menjadi satu wilayah dengan Pakualaman yang “seharusnya” mempunyai magnet yang besar dalam hal sejarah dan kepariwisataan. Kelompok kerja seperti yang tersebut di atas perlu mengembangkan jejaring dengan pihak lain untuk mengembangkan kawasan ini menjadi pusat pariwisata. Dimungkinkan untuk mengundang investor untuk menanam investasi di dalem ini, tetapi dengan aturan-aturan yang sesuai dengan prinsip pelestarian. Selain itu, juga perlu komitmen dari ahli waris (dikarenakan bangunan ini sudah menjadi hak milik perorangan) untuk tidak menjual bangunan ini setelah dikonservasi. Kerana beberapa kasus, misalnya Dalem Ngabean, setelah dijual ke pihak diluar keluarga Kraton, bentuk fisik bangunan berubah total.
Usaha pelestarian yang dirintis oleh masyarakat Nototarunan memang masih panjang dan butuh perjuangan yang keras. Sehingga diharapkan partisipasi semua pihak untuk bersama-sama melestarikan Dalem Nototarunan ini. Usaha ini juga dapat ditiru oleh masyarakat lain sehingga kita semua dapat menyelamatkan bangunan-bangunan cagar budaya ini agar tidak punah ditelan jaman.
Konservasi Kawasan Pakualaman, Sebuah Pelestarian Cagar Budaya Yang Terlupakan

Martino Dwi Nugroho, MA.


Tulisan ini pada dasarnya sebuah usaha untuk mengingatkan kembali kepada semua pihak yang terkait dengan upaya pelestarian benda-benda cagar budaya bahwa kita melupakan sebuah kawasan yang begitu penting peranannya pada negara Indonesia selain Kraton Yogyakarta. Sebuah kawasan yang tidak terjamah usaha-usaha pelestarian tetapi mempunyai aset cagar budaya yang begitu banyak dan potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata seperti halnya kraton Yogyakarta. Aset-aset ini didasarkan dari dua faktor: faktor intern, yaitu dari keluarga besar Pakualam sendiri dan faktor eksternal, yaitu diluar keluarga besar Pakualam. Upaya konservasi kawasan Pakualaman ini perlu segera dilakukan agar supaya arus modernisasi dan penghancuran aset-aset budaya berdalih kepentingan ekonomi tidak terjadi. Indikasi penghancuran nilai-nilai tradisi mulai terlihat dengan berkembangnya pusat perbelanjaan seperti Superindo, Upaya konservasi ini diharapkan mampu mempertahankan nilai-nilai tradisi Jawa sebagaimana Kraton Yogyakarta, sebagaimana hakekat dari pengertian konservasi itu sendiri yaitu segenap proses pengelolaan suatu tempat agar kandungan makna kulturalnya terpelihara dengan baik yang meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat (Eko Budihardjo, 1989). Tujuan utama kegiatan pelestarian bangunan / artefak adalah untuk dapat menempatkan aset sejarah sebagai jembatan antara kehidupan masa lalu dengan kebutuhan sekarang dan kehidupan pada masa yang akan datang. Filosofi pelestarian didasarkan pada kecenderungan manusia untuk melestarikan nilai-nilai budaya pada masa yang telah lewat kegunaannya namun memiliki arti penting bagi generasi selanjutnya.
Begitu banyak peninggalan-peninggalan arkeologis yang terdapat di kawasan Pakualaman ini yang potensial untuk dijadikan benda cagar budaya. Selain Puro Pakualaman dan Masjid Agung Pakualaman, terdapat beberapa dalem pangeran Pakualaman dan rumah tradisional. Beberapa Dalem tersebut adalah (1) Dalem Suryasudirjan, didirikan pada tahun 1843. Dahulu digunakan oleh RM Suryasudirja (keturunan PA III). (2) Dalem Banaran, didirikan pada tahun 1923, dugunakan sebagai sanggar tari dan karawitan. (3) Dalem Somawinatan, didirikan tahun 1855, (4) Dalem Suryaningprangan, didirikan tahun 1843. (5) Dalem Pujowinatan, didirikan tahun 1843. (6) Dalem Nototarunan, didirikan tahun 1811. Dalem ini dibangun oleh BPH. Notokusumo. Pada tahun 1812 dipergunakan sebagai rumah tinggal BRM. Salya putra KGPAA Paku Alam I dengan garwa ampeyan raden Riya Purnamasari. BRM Salya ini yang mengganti pengausan Puro dengan gelar KGPAA Paku Alam II. Sehingga bisa dikatakan bahwa dalem Nototarunan adalah rumah tinggal putra mahkota Puro Pakualaman dan dapat dikatakan juga bahwa nilai dan kedudukan bangunan ini sama dengan Dalem Mangkubumen. Dalem ini adalah dalem yang mempunyai umur tertua dibanding dengan dalem-dalem yang ada di kawasan Pakualaman. (7) Dalem Natanegaran, didirikan tahun 1833. (8) Dalem Kepatihan, dibuat pada masa Paku Alam VII. Ditinjau dari tahun didirikan dan nilai kesejarahan, semua dalem masuk dalam kategori Benda Cagar Budaya sesuai UU No. 5 tahun 1992. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah menetapkan aset-aset budaya seperti dalem-dalem menjadi benda cagar budaya yang dilindungi UU, agar supaya tercegah dan terlindung dari perusakan secara fisik dan visual. Langkah selanjutnya adalah pemberdayaan sumber daya, baik aset budaya maupun SDM untuk menjadi kawasan wisata. Langkah pemberdayaan ini didukung faktor eksternal yang dapat mendukung kawasan ini menjadi kawasan pariwisata adalah terdapat sarana dan prasarana pariwisata seperti hotel, rumah makan, wisata kuliner yang mulai berkembang, kawasan Kauman, dan beberapa bangunan Indis peninggalan Belanda di daerah Bintaran yang sangat mendukung nilai kesejarahan kawasan Pakualaman ini.
Menilik Keeksotikan Bangunan “Mooi Indie” di Jawa

Martino Dwi Nugroho, MA.


Istilah Indie Mooi (Hindia Molek) diberikan sebagai sindiran oleh S.Sudjojono untuk menerangi tipe karya dan pengarahan tema seni lukis zaman Hindia Belanda, kurang lebih antara tahun 1925 sampai dengan tahun 1938. Tapi dalam perkembangannya, istilah itu tidak hanya untuk seni lukis saja, tetapi juga merambah pada dunia arsitektur. Rumah tinggal Indis di kota Yogyakarta pada awalnya dibangun bersamaan dengan keberadaan masyarakat Eropa sekitar tahun 1830. Masyarakat Eropa ini terdiri dari pejabat beserta petugas dan tentara, pedagang dan penyewa tanah yang bergerak di bidang ekonomi serta pendeta yang bergerak di bidang sosial keagamaan (Vincen J. Houben, 1994). Sesudah abad ke-19 kota menjadi bagian integral akibat meningkatnya aktivitas dagang dan industri sehingga menambah kedinamisan warga kota. Sebagai upaya mengimbangi jumlah penduduk Eropa yang bertambah mengikuti perkembangan ekonomi, maka pemerintah kolonial mulai menciptakan kota-kota baru untuk pemukiman khusus orang Eropa (W.F. Wertheim, 1956). Rumah tersebut memiliki ciri tersendiri jika dibandingkan dengan rumah orang pribumi.
Bangunan Indis adalah arsitektur yang dibangun selama pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia yaitu antara abad 17 hingga tahun 1942, yang dipengaruhi oleh arsitektur tropis. Arsitektur ini merupakan hasil dari kreativitas arsitek Belanda pada zaman itu dan umumnya mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan arsitektur modern Indonesia, karena para arsitek Belanda ini mentransfer teknologi Barat, desain dan selera dari tanah kelahiran mereka dalam melahirkan bangunan-bangunan di Indonesia yang kemudian disesuaikan dengan kebiasaan adat, lingkungan dan iklim yang dimiliki Indonesia yaitu kondisi iklim tropis basah dan cuaca yang panas (Budiharjo,1997). Arsitek-arsitek yang terkenal di Indonesia antara lain Thomas Karsten, Henry Maclaine Pont, Wolf Schoemaker, Citroen, dan lain-lain.
Penyesuaian terhadap iklim tropis pada bangunan Indis terlihat dengan dipikirkannya secara mendalam mengenai orientasi angin dan matahari serta sistem pencahayaan dan penghawaan alami. Hal ini terlihat pada plafon yang sangat tinggi, kemiringan atap yang tajam bahkan kadang-kadang terdiri dari dua lapis dengan celah untuk mengalirkan panas, jendela dan ventilasi yang memenuhi hampir seluruh permukaan dinding, serta terdapat doorloop (selasar) yang berfungsi ganda selain sebagai penghubung antar ruang juga sebagai isolasi panas dan sinar matahari langsung. Elemen-elemen bangunan berciri Eropa seperti plengkung, menara dan lain-lain tetap ada dan penggunaan lantai tegel bermotif yang begitu indah. Bangunan rumah Indis yang ada di Jawa mempunyai ciri-ciri salah satunya menggunakan tiang-tiang dengan gaya Ionia dan Korintia yang banyak digunakan untuk menghias bangunan-bangunan besar dan megah milik raja atau penguasa jajahan, khususnya untuk batang-batang tiang sisi bagian dalam bangunan. Di Jawa, sebagai contohnya adalah Istana Presiden di Jakarta, Gedung Agung di Yogyakarta, juga Pagelaran Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Bangunan pagelaran adalah bangunan tradisional Jawa, namun gerbang dan emper-nya yang disangga batang-bantang tiang gaya Korintia tampak megah dan indah. Penggunaan elemen estetis seperti lukisan yang bergaya Hindia Molek (Indie Mooi), penggunaan kaca patry di dinding, dan penggunaan perabot bergaya Eropa yang megah menambah keeksotikan bangunan Indis ini.
Bahasa Ruang, Antara Estetika dan Teknologi
Martino Dwi Nugroho, MA.


Manusia hidup dalam ruang. Ruang adalah konsep arsitektur yang paling misterius dan tidak kasat mata. Konon semenjak dulu, ide ruang telah menjadi isu yang vital dalam diskusi ilmu filsafat maupun pengetahuan alam. Estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek yang disebut keindahan. Keindahan telah menjadi bagian manusia yang mendunia. Estetika sangat berhubungan dengan makna. Uraian di bawah ini akan membahas tentang bagaimana sebuah ruang mengkomunikasikan diri dan diinterpertasikan menjadi sebuah jalinan makna dengan bungkus estetika (keindahan) dan teknologi.
Ruang membahasakan dirinya dalam bentuk-bentuk tertentu. Ruang dibuat bukan hanya sekedar untuk berlindung, memperoleh kenikmatan dan kenyamanan, akan tetapi lebih dari itu, ruang ditata agar mempunyai makna yang bertujuan untuk memperoleh ketenangan hidup, dan keselarasan antara ruang yang dihuni dengan lingkungan alamnya, sehingga ruang mencerminkan citra bagi pemiliknya. Citra menunjuk kepada yang transenden dan mampu memberi makna. Makna dan citra, selain mencakup estetik, juga mencakup kenalaran ekologis, karena mendambakan keselarasan dan keteraturan, yang bukan serba kebetulan ataupun kesemrawutan, melainkan sesuatu yang harmonis. Rumah sebagai objek desain dapat diamati sebagai sesuatu yang mengandung makna simbolik, makna sosial, makna budaya, makna keindahan, makna ekonomi, makna penyadaran, ataupun makna religious. Rumah adalah citra, cerminan jiwa dan cita-cita, serta lambang yang membahasakan segala yang manusiawi, indah, dan agung. Tanpa makna, apapun yang dikerjakan oleh manusia sama dengan ”tiada”.
Ruang merupakan salah satu karya arsitektur yang merupakan hasil dari kebudayaan manusia akan sangat dipengaruhi oleh kepribadian pemiliknya. Ruang termasuk di dalam penataan interiornya dapat mencerminkan watak, tingkah laku, gaya hidup, simbol, dan juga status sosial pemiliknya, sehingga dalam ruang terjadi dialog antara si “empunya” ruang dengan orang lain. Misalnya pada interior rumah Jawa memiliki ruang yang dapat menunjukkan status dan identitas sosialnya. Sumintardja (1978) menjelaskan bahwa “senthong tengah” pada rumah Jawa digunakan sebagai ruang pamer bagi penghuninya. Hal ini menunjukkan bahwa interior digunakan untuk mengkomunikasikan identitas dan status, terutama pada ruang-ruang yang dapat dilihat oleh orang lain. Demikian juga masyarakat tradisional di Toraja, mereka menandai identitas dan status social dengan jumlah tiang penyangga pada rumahnya. Semakin banyak tiang penyangga rumah, semakin tinggi status social pemilik rumah tersebut. Sekarang kita lihat tiang-tiang (saka) yang ada di interior rumah Jawa. Bentuknya serba mengekang diri, apa adanya, diibaratkan gaya tari atau gamelan yang anggun seperti Arjuna sang jago perang yang sakti tetapi sangat tenang, penuh rasa pasti terhadap diri sendiri. Pada masyarakat modern, ruang membahasakan diri dalam bentuk-bentuk yang semakin beragam meski dalam kemasan yang lebih sederhana. Ruang maskulin dan feminim salah satu contohnya. Ruang feminim lebih menggunakan warna-warna soft, unsur bunga, lebih luwes dan segala sesuatu yang identik dengan wanita. Baik di ruang pribadi (kamar tidur) atau tempat kerja, Unsur- unsur feminim tersebut tidak bisa hilang. Dalam pengungkapan estetika dalam ruang, sejak jaman dahulu hingga sekarang tidak bisa lepas dengan yang namanya teknologi. Dalam perkembangannya,teknologi semakin berperan dalam pengungkapan ide ruang baik pada struktur, fungsi, estetik, dan desain. Sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara estetika dan teknologi sangatlah erat. Estetika dianggap sebagai konsep berfikir, sedangkan teknologi dianggap sebagai alat untuk mewujudkan nilai estetik tersebut.
Vastu Purusha Mandala, Gaya Menata Ruang dari India

Martino Dwi Nugroho, MA

Selama ini, kaidah yang kita kenal tentang seni menata ruang hanyalah Feng Shui dari Cina. Padahal, ada satu kaidah seni menata ruang yang sangat terkenal yang berasal dari India, yaitu Vastu Purusha Mandala. Tulisan ini sedikit menjelaskan tentang apa itu Vastu Purusha Mandala. Vastu Purusha Mandala adalah suatu persegi empat yang dibagi sembilan persegi kecil. Terdapat persegi empat yang terletak di tengah sebagai pusat atau puser. Vastu purusha adalah roh ruang yang dengan wajahnya yang menghadap ke bawah melindungi lahan bangunan (Frick, 1997). Dari semua aturan dan perintah di dalam Vastushastras, satu hal yang ditemukan untuk membangun bangunan oleh para perancang dari zaman lampau untuk masa kini adalah Vastu Purusha Mandala. Vastu Purusha Mandala telah digambarkan sebagai " suatu kumpulan aturan yang mencoba untuk memudahkan terjemahan dari konsep mengenai agama ke dalam format secara ilmu bangunan”.
Standar dalam pendirian bangunan bukan merupakan hal asing dalam kultur arsitektur Nusantara, melainkan telah dikenal berabad-abad, bahkan sejak zaman arsitektur candi. Arsitektur candi merupakan manifestasi teratur dengan ukuran tertentu yang mengacu pada bentuk bersegi empat. Turunannya yaitu arsitektur yang menggunakan Vastu Purusha Mandala Suci sebagai standar proporsi dan alokasi ruang secara fisik maupun psikis. Vastu-Purusha-Mandala berlaku pula bagi pembangunan suatu kota, desa, perbentengan, atau seluruh hal yang berkaitan dengan dimensi keruangan. Vastu-Purusha-Mandala merupakan gambaran mengenai posisi arca dewa-dewa di dalam suatu candi. Apabila Vastu-Purusha-Mandala itu digunakan sebagai dasar untuk perencanaan suatu kota maka orientasi atau arah hadap kota itu harus memperhatikan kedudukan candinya. Pada dasarnya, diagram ini merupakan suatu Vastu atau norma dasar semesta, jejak (tapak) mengenai aturan dan menampakkan bentuk yang dianggap sebagai Purusha (insan, atau personifikasi gejala semesta dasar yang awal, asli, utama, dan sejati) yang universal dalam suatu mandala (bentuk, form) di dunia yang fenomenal. Secara tepat proporsi, Vastu-Purusha-Mandala itu sendiri tidak penting karena tidak pernah secara tepat merupakan cetak biru tentang candi atau kuil, melainkan suatu ramalan atau perkiraan yang memuat kemungkinan-kemungkinan untuk dijadikan acuan bagi pembangunan kuil. Vastu-Purusha-Mandala pada dasarnya berbentuk persegi dari sejumlah persegi yang dikonversikan dalam bentuk persegi-persegi utama. Ukuran yang paling sederhana terdiri dari bentuk persegi yang berjumlah 81 (9x9). Bagian inti yang terdiri dari 4 atau 9 bagian ditujukan bagi dewa-dewa utama, yakni Brahma.
Sebagai seni menata rung, dalam Vastu-Purusha-Mandala merekomendasikan penataan ruang dalam rumah, misalnya arah timur untuk kamar mandi, arah selatan untuk kamar tidur, barat untuk ruang makan, tenggara untuk dapur. Pintu masuk atau entrance sebaiknya diletakkan pada arah barat atau timur, ketinggian bangunan yang di timur dan utara sebaiknya lebih rendah daripada yang di barat dan selatan. Penerapan prinsip Vastu Purusha Mandala pada rumah Jawa yaitu pada area saka guru sebagai inti/pusat konstruksi. Dewa Brahma mempunyai bermacam-macam nama sebutan salah satunya adalah Bodha atau guru, sehingga dapat dikatakan bahwa saka yang berada di pusat dinamakan saka guru seperti dalam Vastu Purusha Mandala di mana pusatnya dihuni oleh Dewa Brahma yang mempunyai sebutan Bodha atau guru.
MEMBANGUN CITRA INDONESIA
(DESAIN DAN REVITALISASI SENI TRADISIONAL)

Martino Dwi Nugroho, MA.

Salah satu aspek penting dalam pemberdayaan desain adalah terjadinya upaya untuk memodernisasi estetik tradisi,baik sebagai narasumber estetik ataupun yang bersifat eklektik, bahkan penggalian nilai estetis baru. Kesadaran tersebut muncul sebagai bagian “perlawanan” dan “perimbangan” terhadap semakin meluasnya pengaruh kebudayaan Barat. Disamping juga sebagai uapaya untuk membangun jatidiri bangsa yang semakin memudar karena serbuan nilai-nilai estetik dominan yang semakin meluas. Fakta utama dalam pergeseran-pergeseran nilai estetik modern Indonesia adalah tumbuhnya kesadaran untuk meningkatkan kualitas nilai estetik tradisi melalui pendekatan-pendekatan modern. Nilai estetik yang selama ini dipertahankan sebagai suatu cagar budaya nasional dalam format lain mengalami juga modernisasi, karena ditemukannya teknologi baru ataupun mengalami proses modernisasi dalam sistem produksinya.
Estetik tradisi telah dikenal di Indonesia sejak sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Sebelum mengenal sistem industrial, bangsa Indonesia telah dikenal sebagai bangsa yang memiliki ketrampilan tinggi dalambidang kriya kayu, kriya bahan alam, logam, konstruksi bangunan, perkapalan, pertekstilan dan berbagai ketrampilan yang lain. Sejak pemerintah Belanda mengenalkan nilai-nilai estetik modern melalui karya-karya arsitektur, gaya hidup dan program modernisasi dalam kehidupan masyarakat perkotaan, secara bertahap telah terjadi pergeseran pada nilai estetiknya.
Proses pembudayaan niali-nilai estetik modern, tidak pula sepenuhnya terhindar dari aspek perlawanan budaya. Hal itu telah menjadi bagian konseptual bahwa dalam wacana estetik modern universal telah tercipta bahasa rupa yang cenderung seragam. Terutama ketika para desainer, arsitek dan seniman berhadapan dengan ideologi modernisme, khususnya gaya internasional dalam dunia arsitektur, gaya abstrak dan realisme dalam dunia seni rupa dan gaya pop modernisme dalam desain yang oleh beberapa pihak mengalami proses pemapanan serta menjadi suatu hal yang stereotip, klise dan hambar meskipun telah mengalami proses pembibitan serta adanya upaya memberi bumbu-bumbu keIndonesiaan. Dari gambaran di atas perlu kiranya adanya suatu pemikiran tentang upaya membangun jati diri wajah desain interior dan craft (kerajinan) Indonesia. Kiranya perlu usaha bersama dari desainer interior dan kriyawan dalam membuat suatu karya meski akan selalu berhadapan dengan ”keinginan klien”. Sebagai seorang desainer perlu kiranya memberi masukan kepada klien bahwa Indonesia kaya akan elemen-elemen estetis yang bisa diaplikasikan pada desain bangunan rumah atau komersil. Tentunya dengan pakem-pekem dan norma-norma yang sudah ada. Disitulah peran desainer memberi masukan kepad klien tentang penerapan hiasan khas Indonesia pada tempat yang benar, tidak asal tempel.
Beberapa kemungkinan untuk menghidupkan kembali revitalisasi bentuk seni tradisional ke dalam sebuah desain :
A. Menjalin bentuk atau corak seni lama seperti warna, struktur serta pola hiasnya tanpa banyak perubahan, terutama maknanya.
B. Memindahkan pola hias lama ke dalam kemungkinan-kemungkinan desain baru yang disesuaiakan dengan lingkungan baru, yang diungkapkan adalah jiwanya. Jadilah A contemporary desaign with a traditional touch.
C. Memindahkan beberapa unsur dari seni tradisional ke dalam proses teknik produksi yang baru. Jadilah the design transform such traditional item into very modern design.
Suasana modern yang penuh dengan hiruk pikuk teknologi modern atau mutakhir, suatu ketika memerlukan kesempatan untuk melihat serta menilai kembali kekayaan lama benda-benda seni yang sudah terlupakan.
Nasib Saujana Kraton Yogya. Sebuah Renungan

Martino Dwi Nugroho, MA.

Satu set piring antik koleksi salah seorang keluarga kraton Yogyakarta laku dilelang Rp. 20 juta dalam acara charity dinner di Hotel Phoenix Jogja pada hari Jumat, 20 November 2009. Bukan hanya piring antik asal Kraton, sebab ditawarkan pula keris pusaka gagrak Sri Sultan Hamengku Buwono V koleksi GBPH Yudaningrat. Acara tersebut untuk menyumbang perangkat teknologi yang mendukung bagi sejmlah sekolah dasar di Kota Jogja. Yang menarik untuk diamati dari acara tersebut adalah bagaimana keluarga Kraton justru menjual koleksi-koleksi Kraton yang harus dilestarikan kepada pihak umum. Mengingat kraton adalah pusat kebudayaan, puser pagi seluruh sendi-sendi kehidupam masyarakat Jawa (baca:Jogja). Hal tersebut mengingatkan kita pada jaman Sri Sultan Hamengku Buwono VIII tentang status kepemilikan dalem pangeran yangada di Jogja. Dijelaskan lebih lanjut oleh Parimin (1998) bahwa sejak Sultan Hamengku Buwana I hingga Hamengku Buwana VII, semua dalem pangeran adalah milik kraton. Penghuni hanya mempunyai hak pakai bukan hak milik, semua pajak bumi dan bangunan menjadi tanggungjawab Kraton. Mulai tahun 1939, Hamengku Buwana VIII membuat kebijaksanaan dengan memberikan tawaran kepada putra-putranya bahwa rumah yang mereka tempati bisa menjadi hak milik, jika mereka mampu menanggung semua pajak yang dibebankan atas bangunan tersebut. Hampir semua bangunan dalem pangeran pada saat itu beralih status kepemilikannya. Tetapi perkembangan selanjutnya setelah menjadi hal milik, ada beberapa bangunan yang beralih tangan ke pihak ketiga yang bukan pangeran. Melihat keadaan tersebut, Hamengku Buwana IX menarik kembali kebijakan mendiang ayahnya, sehingga semua bangunan itu kembali milik kraton kecuali yang sudah terjual kepada pihak diluar bangsawan dan dalam perkembangannya, dalem pangeran tersebut banyak yang beralih fungsi. Salah satu faktor yang menyebabkan alih fungsi ndalem pangeran yaitu karena faktor ekonomi yaitu untuk menutupi biaya perawatan ndalem pangeran yang terhitung cukup mahal.
Terjualnya aset-aset milik Kraton dengan alasan apapun seharusnya tidak perlu terjadi. Berkurangnya rasa nguri-ngruri kabudayan pada masyarakat memang sudah sangat memprihatinkan. Pemerintah bahkan pihak keluarga kraton seolah-olah tidak berdaya jika persoalan ini ujung-ujungnya masalah dana. Lebih dari itu, yang paling penting menurut saya adalah saujana-saujana milik kraton baik yang dimiliki oleh Sultan maupun kerabat kraton tidak boleh jatuh pada pihak ketiga, jika eksistensi kraton sebagai pusat kebudayaan masih ingin dipertahankan. Benda-benda milik kraton merupakan sumber sejarah yang hrus diketahui oleh anak cucu masyarakat Jogja, supaya mereka kelak mengerti akan ke-Jogja-annya. Pemerintah memang tidak bida campur tengan terlalu jauh ketika mengayngku maslah intern keluarga kraton. Tetapi jika konteksnya adalah pelestarian benda-benda bersejarah, pemerintah sebenarnya mempunyai kekuatan untuk membuat peraturan, misalnya peraturan atau Undang Undang Republik Indonesia No.5/1992 perlu direvisi lagi. Lagi-lagi peran Perguruan tinggi juga sangat diperlukan. Peran Perguruan tinggi tidak hanya melakukan penelitian dan jika sudah selesai penelitiannya hanya disimpan di perpustakaan. Tetapi lebih dari itu, peran nyata dari perguruan tinggi untuk usaha pelestarian ini memang sudah sangat mendesak untuk dilakukan. Penyadaran-penyadaran pada masyarakat melalui penyuluhan, memasukkan pelestarian kebudayaan lewat kurikulum pendidikan dasar hingga tinggi akan sangat relevan. Selain itu pendokumentasian tentang hasil-hasil kebudayaan juga sangat diperlukan
Desain Yang Meng-Indonesia

Martino Dwi Nugroho, MA.

Tanggal 2 Oktober 2009 ditetapkan sebagai hari Batik Nasional oleh Presiden RI berdasar pengakuan UNESCO atas batik sebagai hasil budaya asli Indonesia. Tetapi masih banyak hasil-hasil budaya asli Indonesia yang belum mendapat pengakuan dunia Internsional, sehingga banyak hasil-hasil budaya kita dicomot oleh negara lain. Kalau kita ingat hasil penelitian seorang sarjana Belanda, J.L.A. Brandes (1889) telah menyatakan bahwa ada 10 butir kekayaan budaya yang telah dimiliki bansa Indonesia (Jawa) sebelum tersentuh oleh budaya India, yaitu: (1) Wayang; (2) Gamelan; (3) Tembang; (4) Batik; (5) Teknologi logam; (6) Sistem mata uang; (7) Pelayaran; (8) Astronomi; (9) Sistem Irigasi; (10) Sistem pemerintahan yang teratur. Desain-desain asli budaya Indonesia memang harus kita lestarikan agar mendapat pengakuan dari dunia Internasional. Itu penting karena hal tersebut juga menyangkut eksistensi suatu bangsa. Penjajahan dunia barat saat ini tidak melalui kolonialisasi atau perang, tetapi melalui budaya.
Desain arsitektur Indonesia merupakan salah satu desain budaya indonesia yang harus kita lestarikan. Jangan sampai bangunan-bangunan tradisional seperti Joglo di Jawa, Tongkonan di Toraja, rumah Gadang di Minangkabau, dan lain-lain diklaim oleh bangsa lain sebagai hasil budaya mereka. Jika dilihat dari penelitian Brandes memang arsitektur tidak termasuk dalam 10 budaya asli Indonesia. Tetapi jika dilihat dari pekembangannya, kita menemukan kekhasan dari arsitektur tradisional Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Hal tersebut dapat kita lacak melalui artefak yang ada. Misalnya di Jawa. Jika kita lihat relief-relief yang ada di candi Jawa, maka kita akan melihat bentuk bangunan yang berbentuk rumah Jawa yang dibuat dengan atap berbentuk sirap, terdapat kolom-kolom penyangga atap dan berdiri pada sebuah landasan (kemungkinan umpak). Bentuk joglo sekarang adalah pengembangan dari bentuk tadi karena peranan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu penggalian potensi keaslian desain arsitektur yang merupakan budaya asli Indonesia juga dilakukan oleh peneliti yang bukan dari arsitektur dan desain, seperti ahli antropologi, arkeologi, geografi budaya atau ahli etnologi. Memang pemahaman dari berbagai ilmu tadi telh memungkinkan kita untuk menjadi yakin bahwa arsitektur adalah buah budaya dan sekaligus bagian dari kebudayaan suatu masyarakat tradisional kita. Jikalau dikatakan bahwa arsitektur dan desain merupakan buah budaya dan bagian kebudayaan, sebenarnya kita menyadari bahwa dalam pengertian ini arsitektur bukanlah upaya manusia dan masyarakat untuk mengungkapkan kebudayaan lewat bangunan yang diciptakannya, melainkan merupakan konsekwensi logis dari kebudayaan bersangkutan, sehingga muncul bentuk arsitektur yang berbeda di tiap suku bangsa.
Tantangan bagi para ilmuwan desain, desainer baik arsitektur maupun interior untuk semakin menggali potensi-potensi ke-lokal-an (baca:tradisional) lewat karya-karya maupun tulisan-tulisan. Suatu kebanggaan yang sangat besar jika kita bisa meniru jejak ”batik” yang telah mendapat pengakuan dunia internsional yang saya yakin perjuangan punggawa-pinggawa batik tentunya tidaklah mudah dan cepat. Perjuangan yang tetap memepertahankan eksisitesi ke-tradisional-an batik ditengah gempuran budaya-budaya asing dan modernitas. Lihatlah Ramli, Adjie Notonegoro yang tetap eksis dengan desain fashion dengan motif batik dan dipentaskan di berbagai negara. Kita sebagai ilmuwan dan praktisi desain di bidang arsitektur dan interior harus bisa seperti itu. Jika kita lihat karya-karya arsitek Belanda pada jaman kolonial seperti Henry Macline Pont (Aula ITB Bandung, Gereja Poh Sarang Kediri), Thomas Karsten (Museum Sonobudoyo Yogyakarta), karya-karya mereka adalah adaptasi dari budaya Indonesia. Eksistensi keaslian budaya kita, tergantung dari kita mau atau tidak melestarikannya.
Eko-konservasi pada Arsitektur dan Kawasan Cagar Budaya
di Yogyakarta

Martino Dwi Nugroho, MA.

Yogyakarta terkenal dengan peninggalan-peninggalan masa lalu yang menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia dan masih tetap dipertahankan. Beberapa arsitektur yang masih dapat disaksikan dan dikenal antara lain Kraton Yogyakarta, Beteng Vredeburg, Gedung Agung dan masih banyak lagi. Adapaun kawasan yang menjadi cagar budaya antara lain kawasan Kraton, kawasan Kotabaru, dan Kawasan Kotagede. Banyaknya peninggalan masa lalu tersebut menyadarkan kita akan pentingnya upaya pelestarian yang biasa disebut dengan istilah konservasi. Pengertian konservasi pada dasarnya adalah usaha untuk memelihara suatu tempat tertentu atau daerah tertentu agar makna dan tujuannya dapat dipertahankan. Dalam konsep ini, tempat tersebut dapat diartikan sebagai tanah, area, bangunan atau kelompok bangunan termasuk lingkungannya. Tetapi seringkali upaya-upaya konservasi tidak memperhatikan faktor lingkungan hidup, hany sebatas mepertahankan keaslian visualnya saja.
Istilah eko-konservasi diambil dengan pertimbangan bahwa dalam upaya-upaya konservasi tidak hanya mempertimbangkan keaslian visual bangunan dan memberdayakan lingkungan sekitar, tetapi ada usaha untuk memperhatikan dan mengelola lingkungan hidup sebagai faktor pendukung upaya konservasi. Isu global warming seharusnya menyadarkan kita akan pentingnya pengelolaan lingkungan hidup.
Ada beberapa tindakan dalam mengelola lingkungan, yaitu hutan kota, taman kota, dan penghijauan jalan (biotop interconection). Kualitas taman dan hutan kota yang luasnya minimal 20% dari wilayah kota dengan jarak dari perumahan dengan jarak tidak melebihi 300 m, serta utilitas dan banyaknya taman merupakan tujuan pokok tata kota kontemporer. Alun-alun sebagai taman atau hutan kota merupakan ruang beraneka ragam yang sangat mempengaruhi kualitas kehidupan dalam kota. Letak dan pengaturan penghijuan dalam tata kota menentukan ciri khas kota tersebut. Di wilayah kota lama sering terjadi kekurangan lahan hijau. Di wilayah tersebut jaringan penghubung dengan penghijauan berbentuk bahu jalan yang ditanami dengan pohon peneduh dan semak belukar makin penting.
Sebagai contoh kawasan Kotabaru yang merupakan kawasan cagar budaya peninggalan kolonial Belanda. Di kawasan Kotabaru terdapat beberapa peninggalan bangunan baik residence, fasilitas umum, dan gereja. Sebagai kawasan yang berada di pusat kota, tingkat polusinya tentunya juga tinggi. Keberadaan stadion Kridosono yang merupakan stadion nomor 2 di kota Yogyakarta sebetulnya bisa dijadikan paru-paru atau pusat penghijauan kota. Kawasan Kraton yang merupakan inti kota Yogyakarta juga tak lepas dari usaha pelestarian yang tidak memperhatikan faktor ekologis. Kawasan Malioboro hingga Kraton merupakan daerah yang menghasilkan polusi yang sangat tinggi, tetapi konservasi di dareah tersebut hanya memeperhatikan bentuk keaslian bangunan saja. Perlu penataan ruang kota disepanjang jalan Malioboro dengan menambahkan jalur hijau. Juga di sekitar Beteng Vredeburg dapat dibuat paru-paru kota dengan memanfaatkan lahan di sebelah selatan beteng tersebut dengan menanam pohon perindang. Demikian pula daerah sekitar alun-alun. Alun-alun yang begitu luas hanya terdapat dua pohon perindang yang dianggap keramat. Seharusnya dengan tidak mengganggu visual Kraton, dapat dibuat penghijauan sepanjang lingkar alun-alun dengan pohon perindang. Selain itu, bangunan-bangunan cagar budaya yang mempunyai halaman luas dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan penghijauan, seperti di Dalem Notoprajan, dapat ditanami pohon perindang lebih banyak.

Desain Interior Yang Membumi, Sebuah Renungan

Desain Interior Yang Membumi, Sebuah Renungan

Bumi semakin susah untuk bernafas ketika semua tanah dilapisi bahan yang tidak tembus sehingga bumi susah menyimpan air untuk kehidupan. Di kota tidak terdapat paru-paru kota sebagai tempat bernafas yang bersih karena tidak adanya perencanaan tata kota disebabkan adanya kepentingan ekonomi dan politis. Di desa-desa, pohon-pohon ditebangi dengan alasan lahan pertanian dan perluasan perumahan. Ilegal loging masih sering terjadi, karena pelaksanaan hukum dan pengawasan yang tidak ketat. Perubahan iklim sudah terjadi, curah hujan sudah semakin menurun, suhu bumi naik, banjir bandang sering terjadi, lapisan ozon semakin besar lobangnya dari tahun ke tahun karena polusi. Beberapa waktu yang lalu, diadakan KTT Perubahan Iklim yang dihadiri beberapa pimpinan negara di dunia, termasuk Indonesia.

Penelititan tentang teknologi ramah lingkungan sudah sering dilakukan. Dari tenaga surya untuk tenaga listrik hingga mobil menggunakan tenaga listrik dan gas alam. Tetapi merubah mindset dan perilaku manusia tidaklah mudah. Hanya Jepang yang intens melakukan penelitian tentang teknologi ramah lingkungan.

Arsitek dan desain interior juga berperan dalam kerusakan bumi ini, ketika mereka mendesain dengan tidak memperhatikan faktor ekologi. Teknologi seharusnya dapat bersinergi dengan lingkungan sehingga teknologi tidak justru merusak lingkungan. Indonesia kaya akan angin dan cahaya, yang seharusnya hal tersebut dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh desainer. Laksana sebuah trend dan gaya hidup, AC merupakan kebutuhan pokok untuk mengatasi masalah termal pada sebuah rumah tinggal. Padahal jika kita mencontoh rumah tradisional Jawa dan rumah tinggal Indis (Kolonial), kita dapat memecahkan masalah termal tanpa menggunakan AC yang notabene boros energi (listrik) dan bisa mencegah polusi. Demikian juga masalah pencahayaan, dengan mendasarkan orientasi, masalah pencahayaan alami dapat teratasi, kecuali pencahayaan dimalam hari. Gaya hidup yang modern memang memberi dampak yang signifikan terhadap kerusakan bumi. Mall-mall yang bertebaran di setiap kota, sebagai contoh, Yogyakarta yang notabene kota kecil mempunyai beberapa mall memang kurang efektif dalam pemakaian tenaga listrik. Kita perlu mencontoh Bantul yang membuat kebijakan tidak membangun mall di Bantul, terkait dengan pelestarian identitas tradisi dan penghematan energi.

Pemahaman-pemahaman tentang Save Our World dengan Green Design sebagai jargonnya sebaiknya dimulai dari sekarang, baik lewat kurikulum lembaga pendidikan maupun lewat jalur-jalur sosialisasi hingga sampai masyarakat umum sehingga mereka lebih bijak dalam mengelola lingkungan dimulai dari rumah tinggal. Sehingga ketika kita berada dalam rumah, kita berada dalam satu ruang yang benar-benar nyaman, menghirup udara bersih, dengan dikelilingi pohon-pohon sebagai sumber O2 tanpa adanya polusi. Sudah saatnya kita mulai memperbaiki bumi kita demi anak dan cucu kita nanti.