Minggu, 18 April 2010

Dalem Nototarunan dan Masa Depan Pelestarian Benda Cagar Budaya

Martino Dwi Nugroho, MA.


Judul tersebut di atas diambil sama dengan tema pada saat diskusi publik pada tanggal 19 Februari 2010 dalam rangka konservasi bangunan Dalem Nototarunan sebagai benda cagar Budaya pasca gempa tahun 2006. Dalam diskusi tersebut hadir beberapa narasumber antara lain Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum selaku Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Staf BP3, Drs. Doso Winarno, M.Si selaku pimpro rehab-rekonstruksi Bangunan kuno, Joe Marbun dari MADYA dan Martino Dwi Nugroho, MA dari Prodi Desain Interior ISI Yogyakarta. Hadir sebagai peserta adalah keluarga besar ahli waris dalem Nototarunan, aparat daerah setempat dan beberapa LSM Pelestari Cagar Budaya.
Ada beberapa hal penting yang dapat dicatat dalam diskusi tersebut. Pertama, rintisan usaha konservasi atau pelestarian datang dari masyarakat. Ini sebagai bukti bahwa kesadaran masyarakat akan pelestarian benda cagar budaya sudah tumbuh (meskipun akhirnya legalitas sebagai benda cagar budaya harus tetap menunggu keputrusan dari pemerintah). Tetapi yang terpenting adalah terdapat usaha untuk melestarikan benda-benda cagar budaya sudah mulai tumbuh. Bahwa usaha peletarian bukan semata-mata karena harus membayar pajak IMB dan PBB yang tinggi, karena seperti diketahui bahwa jika bangunan tersebut sebagai benda cagar budaya, maka akan memperoleh insentif dan disentif, pengurangan dan pembebasan pajak. Datangnya para pejbat seperti kepala Dinas Kebudayaan, BP3 memnandakan adanya perhatian dan respon yang sangat besar ketika usaha pelestarian ini datang dari masyarakat. Sehingga tercipta kerjasama yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat dalam usaha pelestarian benda cagar budaya. Kedua, harus ada usaha atau kemandirian dalam mengelola aset bangunan cagar budaya yang belum mendapat legalitas hukum. Seperti contoh, Dalem Nototarunan ini. Dalem ini sedang menunggu legalitas hukum sebagai benda cagar budaya dari pemerintah. Padahal, kondisi fisik bangunan ini sudah memprihatinkan. Pasca gempa, bangunan ini hanya tergolong kerusakan sedang sehingga hanya memperoleh dana 4-5 juta untuk perbaikan. Padahal untuk bangunan sebesar ini, dana tersebut jauh dari cukup. Jika dana perbaikan tersebut menggantungkan dari pemerintah, maka yang terjadi adalah ketidakjelasan waktu. Oleh karena itu butuh kemandirian dari warga dan swata untuk bersama-sama membangun bangunan ini. Hal yang perlu dilakukan adalah membuat kelompok kerja untuk mengelola bangunan ini. Ketiga, keberlanjutan setelah bangunan ini dikonservasi. Perlu dipikirkan usaha untuk membiayai bangunan ini sendiri secara mandiri setelah bangunan ini dikonservasi. Salah satunya salah dengan membidik aspek pariwisata, karena bangunan ini menjadi satu wilayah dengan Pakualaman yang “seharusnya” mempunyai magnet yang besar dalam hal sejarah dan kepariwisataan. Kelompok kerja seperti yang tersebut di atas perlu mengembangkan jejaring dengan pihak lain untuk mengembangkan kawasan ini menjadi pusat pariwisata. Dimungkinkan untuk mengundang investor untuk menanam investasi di dalem ini, tetapi dengan aturan-aturan yang sesuai dengan prinsip pelestarian. Selain itu, juga perlu komitmen dari ahli waris (dikarenakan bangunan ini sudah menjadi hak milik perorangan) untuk tidak menjual bangunan ini setelah dikonservasi. Kerana beberapa kasus, misalnya Dalem Ngabean, setelah dijual ke pihak diluar keluarga Kraton, bentuk fisik bangunan berubah total.
Usaha pelestarian yang dirintis oleh masyarakat Nototarunan memang masih panjang dan butuh perjuangan yang keras. Sehingga diharapkan partisipasi semua pihak untuk bersama-sama melestarikan Dalem Nototarunan ini. Usaha ini juga dapat ditiru oleh masyarakat lain sehingga kita semua dapat menyelamatkan bangunan-bangunan cagar budaya ini agar tidak punah ditelan jaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar