Minggu, 18 April 2010

Konservasi Kawasan Pakualaman, Sebuah Pelestarian Cagar Budaya Yang Terlupakan

Martino Dwi Nugroho, MA.


Tulisan ini pada dasarnya sebuah usaha untuk mengingatkan kembali kepada semua pihak yang terkait dengan upaya pelestarian benda-benda cagar budaya bahwa kita melupakan sebuah kawasan yang begitu penting peranannya pada negara Indonesia selain Kraton Yogyakarta. Sebuah kawasan yang tidak terjamah usaha-usaha pelestarian tetapi mempunyai aset cagar budaya yang begitu banyak dan potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata seperti halnya kraton Yogyakarta. Aset-aset ini didasarkan dari dua faktor: faktor intern, yaitu dari keluarga besar Pakualam sendiri dan faktor eksternal, yaitu diluar keluarga besar Pakualam. Upaya konservasi kawasan Pakualaman ini perlu segera dilakukan agar supaya arus modernisasi dan penghancuran aset-aset budaya berdalih kepentingan ekonomi tidak terjadi. Indikasi penghancuran nilai-nilai tradisi mulai terlihat dengan berkembangnya pusat perbelanjaan seperti Superindo, Upaya konservasi ini diharapkan mampu mempertahankan nilai-nilai tradisi Jawa sebagaimana Kraton Yogyakarta, sebagaimana hakekat dari pengertian konservasi itu sendiri yaitu segenap proses pengelolaan suatu tempat agar kandungan makna kulturalnya terpelihara dengan baik yang meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat (Eko Budihardjo, 1989). Tujuan utama kegiatan pelestarian bangunan / artefak adalah untuk dapat menempatkan aset sejarah sebagai jembatan antara kehidupan masa lalu dengan kebutuhan sekarang dan kehidupan pada masa yang akan datang. Filosofi pelestarian didasarkan pada kecenderungan manusia untuk melestarikan nilai-nilai budaya pada masa yang telah lewat kegunaannya namun memiliki arti penting bagi generasi selanjutnya.
Begitu banyak peninggalan-peninggalan arkeologis yang terdapat di kawasan Pakualaman ini yang potensial untuk dijadikan benda cagar budaya. Selain Puro Pakualaman dan Masjid Agung Pakualaman, terdapat beberapa dalem pangeran Pakualaman dan rumah tradisional. Beberapa Dalem tersebut adalah (1) Dalem Suryasudirjan, didirikan pada tahun 1843. Dahulu digunakan oleh RM Suryasudirja (keturunan PA III). (2) Dalem Banaran, didirikan pada tahun 1923, dugunakan sebagai sanggar tari dan karawitan. (3) Dalem Somawinatan, didirikan tahun 1855, (4) Dalem Suryaningprangan, didirikan tahun 1843. (5) Dalem Pujowinatan, didirikan tahun 1843. (6) Dalem Nototarunan, didirikan tahun 1811. Dalem ini dibangun oleh BPH. Notokusumo. Pada tahun 1812 dipergunakan sebagai rumah tinggal BRM. Salya putra KGPAA Paku Alam I dengan garwa ampeyan raden Riya Purnamasari. BRM Salya ini yang mengganti pengausan Puro dengan gelar KGPAA Paku Alam II. Sehingga bisa dikatakan bahwa dalem Nototarunan adalah rumah tinggal putra mahkota Puro Pakualaman dan dapat dikatakan juga bahwa nilai dan kedudukan bangunan ini sama dengan Dalem Mangkubumen. Dalem ini adalah dalem yang mempunyai umur tertua dibanding dengan dalem-dalem yang ada di kawasan Pakualaman. (7) Dalem Natanegaran, didirikan tahun 1833. (8) Dalem Kepatihan, dibuat pada masa Paku Alam VII. Ditinjau dari tahun didirikan dan nilai kesejarahan, semua dalem masuk dalam kategori Benda Cagar Budaya sesuai UU No. 5 tahun 1992. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah menetapkan aset-aset budaya seperti dalem-dalem menjadi benda cagar budaya yang dilindungi UU, agar supaya tercegah dan terlindung dari perusakan secara fisik dan visual. Langkah selanjutnya adalah pemberdayaan sumber daya, baik aset budaya maupun SDM untuk menjadi kawasan wisata. Langkah pemberdayaan ini didukung faktor eksternal yang dapat mendukung kawasan ini menjadi kawasan pariwisata adalah terdapat sarana dan prasarana pariwisata seperti hotel, rumah makan, wisata kuliner yang mulai berkembang, kawasan Kauman, dan beberapa bangunan Indis peninggalan Belanda di daerah Bintaran yang sangat mendukung nilai kesejarahan kawasan Pakualaman ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar