Minggu, 18 April 2010

Eko-konservasi pada Arsitektur dan Kawasan Cagar Budaya
di Yogyakarta

Martino Dwi Nugroho, MA.

Yogyakarta terkenal dengan peninggalan-peninggalan masa lalu yang menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia dan masih tetap dipertahankan. Beberapa arsitektur yang masih dapat disaksikan dan dikenal antara lain Kraton Yogyakarta, Beteng Vredeburg, Gedung Agung dan masih banyak lagi. Adapaun kawasan yang menjadi cagar budaya antara lain kawasan Kraton, kawasan Kotabaru, dan Kawasan Kotagede. Banyaknya peninggalan masa lalu tersebut menyadarkan kita akan pentingnya upaya pelestarian yang biasa disebut dengan istilah konservasi. Pengertian konservasi pada dasarnya adalah usaha untuk memelihara suatu tempat tertentu atau daerah tertentu agar makna dan tujuannya dapat dipertahankan. Dalam konsep ini, tempat tersebut dapat diartikan sebagai tanah, area, bangunan atau kelompok bangunan termasuk lingkungannya. Tetapi seringkali upaya-upaya konservasi tidak memperhatikan faktor lingkungan hidup, hany sebatas mepertahankan keaslian visualnya saja.
Istilah eko-konservasi diambil dengan pertimbangan bahwa dalam upaya-upaya konservasi tidak hanya mempertimbangkan keaslian visual bangunan dan memberdayakan lingkungan sekitar, tetapi ada usaha untuk memperhatikan dan mengelola lingkungan hidup sebagai faktor pendukung upaya konservasi. Isu global warming seharusnya menyadarkan kita akan pentingnya pengelolaan lingkungan hidup.
Ada beberapa tindakan dalam mengelola lingkungan, yaitu hutan kota, taman kota, dan penghijauan jalan (biotop interconection). Kualitas taman dan hutan kota yang luasnya minimal 20% dari wilayah kota dengan jarak dari perumahan dengan jarak tidak melebihi 300 m, serta utilitas dan banyaknya taman merupakan tujuan pokok tata kota kontemporer. Alun-alun sebagai taman atau hutan kota merupakan ruang beraneka ragam yang sangat mempengaruhi kualitas kehidupan dalam kota. Letak dan pengaturan penghijuan dalam tata kota menentukan ciri khas kota tersebut. Di wilayah kota lama sering terjadi kekurangan lahan hijau. Di wilayah tersebut jaringan penghubung dengan penghijauan berbentuk bahu jalan yang ditanami dengan pohon peneduh dan semak belukar makin penting.
Sebagai contoh kawasan Kotabaru yang merupakan kawasan cagar budaya peninggalan kolonial Belanda. Di kawasan Kotabaru terdapat beberapa peninggalan bangunan baik residence, fasilitas umum, dan gereja. Sebagai kawasan yang berada di pusat kota, tingkat polusinya tentunya juga tinggi. Keberadaan stadion Kridosono yang merupakan stadion nomor 2 di kota Yogyakarta sebetulnya bisa dijadikan paru-paru atau pusat penghijauan kota. Kawasan Kraton yang merupakan inti kota Yogyakarta juga tak lepas dari usaha pelestarian yang tidak memperhatikan faktor ekologis. Kawasan Malioboro hingga Kraton merupakan daerah yang menghasilkan polusi yang sangat tinggi, tetapi konservasi di dareah tersebut hanya memeperhatikan bentuk keaslian bangunan saja. Perlu penataan ruang kota disepanjang jalan Malioboro dengan menambahkan jalur hijau. Juga di sekitar Beteng Vredeburg dapat dibuat paru-paru kota dengan memanfaatkan lahan di sebelah selatan beteng tersebut dengan menanam pohon perindang. Demikian pula daerah sekitar alun-alun. Alun-alun yang begitu luas hanya terdapat dua pohon perindang yang dianggap keramat. Seharusnya dengan tidak mengganggu visual Kraton, dapat dibuat penghijauan sepanjang lingkar alun-alun dengan pohon perindang. Selain itu, bangunan-bangunan cagar budaya yang mempunyai halaman luas dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan penghijauan, seperti di Dalem Notoprajan, dapat ditanami pohon perindang lebih banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar