Minggu, 18 April 2010

Nasib Saujana Kraton Yogya. Sebuah Renungan

Martino Dwi Nugroho, MA.

Satu set piring antik koleksi salah seorang keluarga kraton Yogyakarta laku dilelang Rp. 20 juta dalam acara charity dinner di Hotel Phoenix Jogja pada hari Jumat, 20 November 2009. Bukan hanya piring antik asal Kraton, sebab ditawarkan pula keris pusaka gagrak Sri Sultan Hamengku Buwono V koleksi GBPH Yudaningrat. Acara tersebut untuk menyumbang perangkat teknologi yang mendukung bagi sejmlah sekolah dasar di Kota Jogja. Yang menarik untuk diamati dari acara tersebut adalah bagaimana keluarga Kraton justru menjual koleksi-koleksi Kraton yang harus dilestarikan kepada pihak umum. Mengingat kraton adalah pusat kebudayaan, puser pagi seluruh sendi-sendi kehidupam masyarakat Jawa (baca:Jogja). Hal tersebut mengingatkan kita pada jaman Sri Sultan Hamengku Buwono VIII tentang status kepemilikan dalem pangeran yangada di Jogja. Dijelaskan lebih lanjut oleh Parimin (1998) bahwa sejak Sultan Hamengku Buwana I hingga Hamengku Buwana VII, semua dalem pangeran adalah milik kraton. Penghuni hanya mempunyai hak pakai bukan hak milik, semua pajak bumi dan bangunan menjadi tanggungjawab Kraton. Mulai tahun 1939, Hamengku Buwana VIII membuat kebijaksanaan dengan memberikan tawaran kepada putra-putranya bahwa rumah yang mereka tempati bisa menjadi hak milik, jika mereka mampu menanggung semua pajak yang dibebankan atas bangunan tersebut. Hampir semua bangunan dalem pangeran pada saat itu beralih status kepemilikannya. Tetapi perkembangan selanjutnya setelah menjadi hal milik, ada beberapa bangunan yang beralih tangan ke pihak ketiga yang bukan pangeran. Melihat keadaan tersebut, Hamengku Buwana IX menarik kembali kebijakan mendiang ayahnya, sehingga semua bangunan itu kembali milik kraton kecuali yang sudah terjual kepada pihak diluar bangsawan dan dalam perkembangannya, dalem pangeran tersebut banyak yang beralih fungsi. Salah satu faktor yang menyebabkan alih fungsi ndalem pangeran yaitu karena faktor ekonomi yaitu untuk menutupi biaya perawatan ndalem pangeran yang terhitung cukup mahal.
Terjualnya aset-aset milik Kraton dengan alasan apapun seharusnya tidak perlu terjadi. Berkurangnya rasa nguri-ngruri kabudayan pada masyarakat memang sudah sangat memprihatinkan. Pemerintah bahkan pihak keluarga kraton seolah-olah tidak berdaya jika persoalan ini ujung-ujungnya masalah dana. Lebih dari itu, yang paling penting menurut saya adalah saujana-saujana milik kraton baik yang dimiliki oleh Sultan maupun kerabat kraton tidak boleh jatuh pada pihak ketiga, jika eksistensi kraton sebagai pusat kebudayaan masih ingin dipertahankan. Benda-benda milik kraton merupakan sumber sejarah yang hrus diketahui oleh anak cucu masyarakat Jogja, supaya mereka kelak mengerti akan ke-Jogja-annya. Pemerintah memang tidak bida campur tengan terlalu jauh ketika mengayngku maslah intern keluarga kraton. Tetapi jika konteksnya adalah pelestarian benda-benda bersejarah, pemerintah sebenarnya mempunyai kekuatan untuk membuat peraturan, misalnya peraturan atau Undang Undang Republik Indonesia No.5/1992 perlu direvisi lagi. Lagi-lagi peran Perguruan tinggi juga sangat diperlukan. Peran Perguruan tinggi tidak hanya melakukan penelitian dan jika sudah selesai penelitiannya hanya disimpan di perpustakaan. Tetapi lebih dari itu, peran nyata dari perguruan tinggi untuk usaha pelestarian ini memang sudah sangat mendesak untuk dilakukan. Penyadaran-penyadaran pada masyarakat melalui penyuluhan, memasukkan pelestarian kebudayaan lewat kurikulum pendidikan dasar hingga tinggi akan sangat relevan. Selain itu pendokumentasian tentang hasil-hasil kebudayaan juga sangat diperlukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar