Minggu, 18 April 2010

JEJAK – JEJAK RUMAH JAWA DALAM TRADISI
INDONESIA LAMA

Martino Dwi Nugroho



Telah banyak teori yang mencoba menjelaskan perihal bagaimana caranya pengaruh kebudayaan India (Hindu-Buddha) sampai ke kepulauan Indonesia. Menurut J.L.A Brandes (1889), telah menyatakan bahwa ada 10 butir kekayaan budaya yang telah dimiliki bangsa Indonesia (Jawa) sebelum tersentuh oleh budaya India, yaitu: (1) mengenal pengecoran logam, (2) mampu membuat figur-figur manusia dan hewan dari batu, kayu, atau lukisan di dinding goa, (3) mengenal instrumen musik, (4) mengenal bermacam ragam hias, (5) mengenal sistem ekonomi barter, (6) memahami astronomi, (7) mahir dalam navigasi, (8) mengenal tradisi lisan, (9) mengenal sistem irigasi untuk pertanian, (10) adanya penataan masyarakat yang teratur. Dalam kondisi peradaban seperti itulah mereka kemudian berkenalan dan menerima para niagawan dan musafir dari India ataupun dari Cina.
Setelah berinteraksi dengan para pendatang dari India, maka diterimalah beberapa aspek kebudayaan penting oleh penduduk kepulauan Indonesia. Aspek-aspek kebudayaan dari India yang diterima oleh nenek moyang bangsa Indonesia benar-benar barang baru, yang tidak mereka kenal sebelumnya, yaitu: (1) Aksara Pallava; (2) Agama Hindu dan Budha; (3) Perhitungan angka tahun Saka. Melalui ketiga aspek kebudayaan dari India itulah kemudian peradaban nenek moyang bangsa Indonesia terpacu dengan pesatnya, berkembang dan menghasilkan bentuk-bentuk baru kebudayaan Indonesia kuna yang pada akhirnya pencapaian itu diakui sebagai hasil kreativitas penduduk kepulauan Indonesia sendiri. Salah satu hasil kebudayaan yang merupakan kreatifitas penduduk Indonesia adalah arsitektur dalam hal ini rumah Jawa. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya peninggalan-peninggalan arkeologis. Dimensi waktu dibagi atas jaman Hindu Budha dan jaman Islam. Menurut Wiyoso Yudoseputro, masa Indonesia lama terbagi menjadi 3 bagian waktu yaitu jaman prasejarah, jaman Hindu Budha, dan jaman Islam. Tetapi karena data-data pada masa prasejerah sangat terbatas, maka dalam uraian ini disajikan penjelasan tetang rumah Jawa pada jaman Hindu Budha dan jaman Islam.

Sejarah Perkembangan Rumah Jawa
Sejarah perkembangan rumah Jawa dimulai dari jaman prasejarah yaitu masa neolitik (2500-1500 SM) dan megalitik ( 1500 SM-200 M). Pada masa itu orang Jawa hidup dalam masyarakat pedesaan yang sudah dikonsolidasikan dan menjadi inti masyarakat baru yang memperkembangkan desa atau kampung tradisional. Bentuk gubuk mereka masih agak kecil, berbentuk kerucut dengan atap yang langsung menempel ke tanah dan dibuat dari daun-daunan. Pada perkembangannya, teknik tradisional tentang pembangunan rumah yang dapat dibongkar pasang (knock down) mulai dikembangkan. Hal ini dikarenakan rumah tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka yaitu ladang berpindah serta pembukaan hutan dengan cara membakarnya. Atap rumah yang berbentuk kerucut sudah terpisah dari tanah.
Kemudian dilanjutkan dengan jaman atau masa Hindu Budha. Jaman ini disebut “masa Jawa Kuno” dalam pengertian ini adalah yang dimaksud adalah suatu masa yang panjang ketika kebudayaan Jawa mendapat pengaruh dari India. Masa Jawa Kuno di dalam sejarah kebudayaan sering disebut dengan masa Hindu atau masa klasik. Masa tersebut dibagi menjadi dua periode yaitu masa klasik tua (abad VII-X) dan masa klasik muda (abad XI-XVI). Jaman keemasan peradaban Jawa dimulai pada akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9 saat wangsa Sailendra yang beragama Budha mengambil alih kekuasaan di Jawa dari wangsa Sanjaya. Tempat kedudukan pemerintahan dinamakan Keraton, yang berarti istana raja dan rumah tangga istana. Pada masa itu juga konstruksi kayu diperkenalkan kepada rakyat.
Sekitar abad ke-13 hingga abad ke–14 pada saat Majapahit diperintah oleh Hayam Wuruk, dalam bidang arsitektur dikembangkan ekspresi dan teknik pembangunan yang baru. Buku pelajaran bagi bermacam bagian pembangunan diterbitkan, pengetahuan dasar tentang pembangunan rumah kediaman, candi, pemandian dan tata kota diadakan pada waktu itu. Pembangunan dengan batu alam dihentikan dan penggunaan batu merah beserta konstruksi kayu diistimewakan dan diperkembangkan sedemikian rupa sehingga masih dipergunakan pada masa kini dalam arsitektur dan tata kota.
Periode selanjutnya adalah masuknya Islam di Indonesia pada abad ke-7 dan berkembang pada abad ke-12. Periode ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari periode Hindu Budha. Pedoman dan peraturan seni bangunan pada jaman Islam disempurnakan dan mencapai puncak perkembangan seni bangunan kayu. Bangunan masjid dan istana raja adalah contoh bagaimana tradisi arsitektur kayu mencapai bentuknya apda jaman Islam.

Sumber Pictorial
Sumber pictorial ini diperoleh dari relief-relief candi di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur yang banyak sekali menampilkan rumah Jawa. Menurut Bernet Kempers banyak hal- hal yang diungkapkan pada relief yang mempunyai hubungan langsung (erat) dengan keadaan yang dapat ditemukan di Jawa atau tempat lain. Berdasarkan data-data yang diperoleh dapat diketahui bahwa gambar-gambar yang ada di relief candi, baik candi Jawa tengah dan Jawa timur memiliki kesamaan bentuk. Candi-candi yang ada di Jawa Timur sepereti Candi Surowono, Candi Tegowangi, Candi Panataran menampilkan rumah Jawa pada jaman Majapahit.
Pada relief-relief candi Surowono di Kediri, banyak menampilkan rumah tradisional Jawa pada masa Majapahit. Berdasarkan relief ini diketahui bahwa rumah Jawa dibuat dengan atap berbentuk sirap, terdapat kolom-kolom penyangga atap dan berdiri pada sebuah landasan (kemungkinan umpak) dan batur. Belum ada dinding penyekat antar ruangan.

Foto 1. Arsitektur Jawa pada Relief candi Surowono (koleksi pribadi)

Pada relief Candi Tegowangi di Kediri, rumah Jawa dibuat sangat menarik. Berbeda dengan rumah Jawa pada relief candi Surowono yang dipahat dengan menggunakan teknik dua dimensi, pada relief candi ini rumah Jawa dipahat dengan menggunakan teknik tiga dimensi. Bentuk rumah Jawa tidak jauh berbeda dengan candi Surowono. Rumah Jawa pada candi ini dibuat lebih detail, lebih kelihatan bahan material yang digunakan. Misalnya atap sudah tidak lagi polos.

Foto 2. Rumah Jawa pada Relief candi Tegowangi (koleksi pribadi)


Foto 3. Rumah Jawa pada Relief candi Tegowangi (koleksi pribadi)
Adapun rumah Jawa yang dipahat pada relief Candi Panataran di Blitar, penampilannya hampir sama dengan rumah Jawa pada relief candi Surowono Kediri yaitu dalam dua dimensi. Tetapi bentuk rumahnya sama dengan kedua candi di atas yaitu beratap sirap ( sudah detail, beda dengan yang ada di Candi Surowono), mempunyai kolom penyangga atap, tanpa dinding, batur, dan umpak.

Foto 4. Rumah Jawa pada relief candi Panataran, Blitar (koleksi pribadi)


Foto 5. Rumah Jawa pada relief candi Panataran, Blitar (koleksi pribadi)


Dari penelusuran yang ada dapat diketahui bahwa jenis rumah pada masa Hindu dan Budha adalah rumah kolong atau rumah panggung. Menurut Mangunwijaya, ada kekhususan bersama yang dimiliki oleh bangsa-bangsa yang tersebar luas, yakni perihal teknik pembangunan rumah atau bangunan-bangunan lain. Sistem dasarnya adalah sistem rumah panggung atau rumah kolong. Rumah panggung atau rumah kolong benar-benar merupakan penyelesaian yang berkualitas tinggi. Pertama, rumah panggung sehat, tidak langsung terkena kelembaban dan serangan binatang-binatang yang mengganggu bahkan membahayakan. Kedua, dari fisika bangunan, hal itu sangat melindungi bangunan terhadap kelembaban tropis yang amat ganas dan mudah membusukkan bangunan yang terbuat dari kayu. Selain itu, rumah bersistem rumah panggung kebal terhadap gempa bumi. Rumah panggung ini dapat dilihat pada relief di candi-candi Hindu maupun Budha, yang artinya bahwa rumah panggung ini sudah berkembang pada masa Hindhu di Jawa.
Rumah kolong tersebut sampai saat ini masih dapat ditemui di beberapa bagian di pulau Jawa, misalnya di Kampung Naga Jawa barat. Rumah-rumah penduduk masih menggunakan sistem rumah kolong dengan dinding anyaman bambu dan atap dari ijuk.

Foto 6. Rumah masyarakat Kampung Naga yang menggunakan sisten rumah kolong (koleksi pribadi)





SUMBER VERBAL

Sumber verbal ini diperoleh dari naskah atau manuskrip. Prijotomo menjelaskan bahwa terdapat beberapa naskah Kawruh Kalang yaitu:
Kode Judul Keterangan
KSW Serat Tjarijos Bab Kawroeh Kalang (1901) Aksara Jawa bahasa Jawa, tulisan tangan, penyusun R. Sasrawiryatma
KSP Serat Tjarijos Bab Kawroeh Kalang (1934) Aksara latin bahasa Jawa, ketikan, penyusun R. Sasrawiryatma, pelatinan atas perintah Dr. Th. Pigeaud.
KSN Serat Tjarijos Bab Kawroeh Kalang (1992) Aksara latin bahasa Jawa, ketikan, penyusun R. Sasrawiryatma, pelatinan oleh E. Siti Nuryanti.
KM Kawroeh Kalang (1906) Aksara Jawa, bahasa Jawa, tulisan tangan, penyusun Mangoendarma
KMN Kawroeh Kalang (1936) Aksara latin, bahasa Jawa, ketikan, penyusun Mangoendarma, yang melatinkan nn.
Tabel 1. Nama-nama Naskah Kawruh Kalang (singkatan pada kode dilakukan oleh Prijotomo)

Salah satu naskah Kawruh Kalang yang akan dibahas adalah Kawruh Kalang yang disusun oleh R. Sasrawiryatma di Surakarta pada tahun 1901. Sekarang, teks tersebut disimpan di Perpustakaan Museum Sonobudoyo dengan kode PB A 285 31. Buku yang bertuliskan aksara Jawa ini (KSW) memuat keterangan tentang pembuatan rumah Jawa tradisional : rumah Taju, jug loro, limasan, gajah sap, saka, tumpang 5, suh kuningan atau mamas, umpak dari marmer atau batu, gaya diukir, panitih, molo, ander, dudur, takir, tumpang, reng, sirap, wuwung, cukil, tutup keyong, tutup kencong, tanda, angka Kalang yang disebut angka ageng, dapur rumah, sajen, kayu jati.
Dibawah ini akan diperinci tentang isi Kawruh Kalang berdasar topik :
Bab. Topik
Pembuka
1 Tentang Dhapur/tipe rumah Jawa
2 Ukuran Blandar Pangeret
3 Pembuatan saka/tiang
4 Pembuatan Umpak
5 Pembuatan sunduk
6 Pembuatan santen
7 Pembuatan gonja
8 Pembuatan molo
9 Pembuatan ander
10 Pembuatan dudur
11 Takir Tadhah las
12 Blandar Pananggap dan Sunduk Bangunan jugloro
13 Blandar dan sunduk emperan bangunan jugloro
14 Blandar dan sunduk bangunan Limasan
15 Blandar dan Sunduk emperan bangunan Limasan
16 Blandar Pananggap dan sunduk bangunan Taju
17 Blandar emper bangunan Taju
18 Tumpangsari
19 Usuk
20 Reng
21 Sirap
22 Plisir
23 Wuwung
24 Cukit
25 Tutup Keyong
26 Pemilihan Kayu untuk konstruksi lingkungan bina
27 Angka Kalang
28 Aneka Ragam dhapur/tipe lingkungan bina Jawa
29 Sesajian
30 Nama-nama dari bermacam kayu jati
Tabel 2. Bab dan isi dari naskah Kawruh Kalang (KSW)

Naskah lain yang hampir sama dengan Kawruh Kalang (KSW) yaitu Manuskrip Kawruh Kambeng, ditulis oleh Mas Behi Sutosukarya tahun 1933 di Pendapa Prangwedanan Surakarta atas perintah Dr. Th. Pigeaud. Naskah tersebut saat ini disimpan di Museum Sonobudoyo dengan kode PB E.91 55, bahasa Jawa aksara Latin.
Memperhatikan topik yang dibicarakan dalam setiap Bab, kuat sekali dirasakan adanya sasaran pembicaraan tertentu dari naskah ini yakni tentang bagian-bagian konstruktif dari bangunan, tidak hanya disampaikan letak bagian konstruksi ini dalam keseluruhan bangunan, tetapi juga disampaikan pengukuran dalam menetapkan panjang lebarnya bagian konstruksi bangunan itu; disampaikan pula keletakan konstruktifnya dalam keseluruhan kerangka bangunan. Dengan muatan isi seperti ini, dapat dikatakan bahwa sasaran yang dituju dari naskah ini adalah tukang bangunan. Waktu yang lampau, kegiatan perencanaan dan perancangan dilakukan oleh seseorang yang dianggap ahli oleh lingkungan masyarakat tersebut, yang diserahi tanggungjawab untuk mengembangkan pemikirannya untuk menciptakan bangunan rumah tinggal. Rumah tinggal yang diciptakan lebih banyak tergantung pada pemuka ahli tersebut dari pada pihak calon pemakainya. Sehingga kesamaan atau perubahan yang terjadi sangat tergantung pada perubahan yang diinginkan oleh pemuka ahli tersebut. Para pemuka ahli teknik yang disebut “Kalang” yang artinya tukang kayu ahli bangunan rumah, adalah para tenaga kerja yang dilatih dan dididik oleh para guru adat, yang kebanyakan dari lingkungan Kraton, sebagai abdi dalem kraton. Mereka belajar dari guru adat dengan cara latihan, sedang guru adat mengetahui hal-hal tersebut dari membaca ajaran-ajaran yang bersifat simbolik yang dibuat oleh pujangga kraton. Pengetahuan-pengetahuan tentang pembuatan rumah tersebut kemudian dituliskan dalam bentuk naskah supaya pengetahuan yang bersifat turun temurun dapat dibaca dan diketahui oleh masyarakat luas.
Menurut sejarah Prabu Jayabaya menyetujui pembuatan rumah dari kayu dengan alasan kayu merupakan bahan yang mudah didapat, perabot dari bahan kayu mudah dikerjakan, dan perbaikan perabot dari kayu mudah dilakukan.
SUMBER ARSITEKTURAL
Sumber-sumber arsitektural didapat dari bukti-bukti bangunan yang masih ada. Dalam paparan di bawah ini akan diuraikan tentang arsitektur Jawa yang masih ada, baik itu dari situs candi maupun rumah-rumah tradisional.
1. Situs-situs candi Di Jawa Tengah dan Jawa timur.
Di beberapa candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur ditemukan beberapa situs tentang bangunan Jawa. Seperti yang ada di Dieng, terdapat bekas tempat untuk persiapan para pendeta mempersiapkan upacara. Artefak yang masih ada berupa umpak dari batu alam dan area berbentuk segi panjang, ada satu bangunan yang kelihatannya dicoba untuk direkonstruksi, tetapi hal itu belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Bangunan tersebut didirikan pada sebuah bidang segi empat yang terbuat dari batu, terdapat beberapa umpak dan saka dan beratap ijuk berbentuk kampung.

Foto 7. Bangunan yang ”mungkin” direkonstruksi di situs Dieng

Selain bangunan di atas, terdapat sebidang tanah, terdapat susunan batu yang dijadikan landasan bangunan dan beberapa batu alam (kemungkinan umpak). Bidang tersebut terletak tidak jauh dari bangunan ”rekonstruksi”. Bidang tersebut mungkin sama dengan bangunan yang direkonstruksi, karena terdapat kemiripan landasan dan umpak.

Foto 8. Bidang yang terdapat umpak.

Selain di Dieng, pada situs – situs di Jawa Timur seperti Panataran juga terdapat sebidang tanah dengan beberapa landasan (umpak) seperti yang terdapat di Dieng. Tetapi ukuran umpak yang ada di Panataran lebih besar dibanding yang ada di Dieng. Bidang ini terletak di depan gugusan Candi Induk, sama seperti yang ada di Dieng.

Foto 9. bidang/area yang terdapat umpak.



2. Arsitektur/ Rumah Tradisional Jawa
Setelah mengetahui keberadaan rumah Jawa jaman Hindu, kemudian akan dilihat keberadaan rumah Jawa jaman Kerajaan Mataram Islam atau lebih tepatnya jaman kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam perkembangannya, artefak rumah Jawa pada masa Islam yang ada di Yogyakarta sudah mendapat pengaruh kebudayaan Indis. misalnya penggunaan marmer pada lantai, dinding menggunakan tembok dan lain-lain. Tetapi dari bentuk atap masih mempertahankan konsep-konsep Hindhu yaitu merupakan stilasi bentuk gunung (Meru) yang dianggap suci oleh masyarakat Jawa. Dari segi elemen estetis, pada rumah Jawa jaman Kerajaan Yogyakarta sudah mengenal ragam hias yang dibuat dengan makna-makna dan simbol – simbol tertentu. Setiap ragam hias mempunyai tempat tersendiri pada bagian elemen arsitekturalnya.
Selain Kraton, di Yogyakarta ternyata masih banyak terdapat artefak rumah pangeran yang masih berdiri dan berkondisi baik meskipun sekarang sudah banyak yang beralih fungsi atau dijual dengan pihak luar dengan pertimbangan biaya perawatan yang sangat tinggi (alasan ekonomis). Rumah pangeran mempunyai organisasi ruang yang cukup lengkap dibanding dengan rumah rakyat biasa :


Gambar 1. Organisasi ruang dalam rumah Jawa yang lengkap
.(sumber Heinz Frick,1997, hal. 89




Foto 10. Atap rumah pangeran yang menggunakan konsep gunung
(koleksi pribadi)


Foto 11. Perkembangan fumgsi umpak dan lantai yang berasal dari rumah kolong
di kraton Yogyakarta (koleksi pribadi).


Foto 12. Penggunaan profil dan dinding yang tebal pada rumah pangeran adalah wujud pengaruh budaya Indis pada rumah Jawa. (Koleksi pribadi)


Kesimpulan
Dengan memperhatikan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Arsitektur bangunan rumah tinggal yang berkembang pada Jaman Hindu dan Budha dapat dibedakan dalam tiga kelompok :
a. Rumah Jawa Kuno, mempunyai ciri-ciri : Konstruksi bangunan dari kayu yang merupakan tiang berdiri di atas tanah, mempunyai kolong dan tanpa pemisah ruang.
b. Rumah majapahit lama, mempunyai ciri-ciri : konstruksi bangunan dari kayu yang berdiri di atas batur dan masih belum ada pembatas yang permanen. Penutup atapnya sudah dari genteng. Bangunan semacam ini dapat berfungsi sebagai pendapa/bale maupun sebagai tempat istirahat atau tidur.
c. Rumah Akhir Majapahit, mempunyai ciri : sama dengan rumah Majapahit Lama namun telah mempunyai pembatas yang permanen.
Rumah Jawa tersebut mempunyai sistem bangunan yang disebut sistem rumah kolong.
2. Rumah Jawa pada masa Islam yaitu pada jaman Kasultanan Yogyakarta sudah mulai mengenal teknologi barat yaitu dengan penggunaan materialnya meski konsep Hindu masih sangat kentara. Selain itu unsur estetika mulai diterapkan yaitu dengan penggunaan ornamen atau ragam hais. Selain itu pengetahuan tentang membangun rumah mulai dibukukan dengan ditulisnya manuskrip tentang teknik pembuatan rumah jawa yang disebut Kawruh Kalang.






GLOSARIUM

Blandar : Balok keliling (ring) yang menghubungkan bagian atas saka guru dalam arah memanjang.

Cukit : Usuk sambungan yang terletak di akhir blandar
Dalem Ageng : Rumah inti pada rumah Jawa tradisional. Terletak di belakang pendapa dan pringgitan. Bagian ini terdiri atas tiga area, yaitu tiga kamar yang disebut senthong tengah, senthong kiwo, senthong tengen.

Emper : Atap yang terletak di bawah atap serambi.

Gadri : Serambi (ruang makan) yang terletak di belakang dalem ageng

Gandhok : Bangunan kecil memanjang yang terdapat disekitar omah njero. Kata gandhok dalam bahasa jawa berarti pasangan atau rekatan yang ditambahkan. Ruang ini merupakan bangunan tambahan yang mengitari sisi samping dam belakang bangunan inti.

Ganja : Balok atas (pelana) di bawah ander, penopang molo untuk menjaga keseimbangan.

Guru : Pembagi blandar pengeret pada bubungan rumah bentuk joglo yang letaknya paling bawah.

Kalang : Ahli bangunan yang bekerja pada Sultan; kumpulan semua orang pakuya. Karena pengaruh Islam, kasta pakuya lama-lama diabaikan. Kelompok ini tampaknya hanya berlaku di Yogyakarta.

Kawruh Kalang : Naskah Jawa tentang bangunan Jawa
Kawruh Kambeng : Sebutan lain Kawruh Kalang.
Kili : Balok di bawah pengerat dan terletak miring pada tiang.

Molo atau Sirah : Penampang balok molo adalah bujursangkar
Pamidhangan : Rongga yang terbentuk dari rangkaian balok/tumpang sari pada brunjung/gajah bangunan.

Penanggap : Atap rumah bentuk joglo yang terletak di bawah bubungan.

Pendapa : Pendapa adalah ruangan yang berada pada bagian terdepan dari keseluruhan bangunan.

Pendapa : Balai penerimaan tamu
Petungan : Sistem pengukuran dan perhitungan dalam arsitektur Jawa, disebut oleh Clifford Geertz sebagai numerology.

Pringgitan : merupakan lorong penghubung antara pendapa dengan omah njero. Bagian pringgitan ini sering difungsikan sebagai tempat pertunjukan wayang kulit.

Reng : Kayu kecil pipih untuk tempat sirap atau genting
Saka emper : Tiang penyangga blandar teritis.
Saka guru : Tiang utama.
Saka penanggap : Tiang serambi yag tidak menyangga blandar.

Senthong Kiwo : Ruang tidur tuan rumah; terletak bagian belakang dalem ageng sebelah kanan.

Senthong tengah : Ruang ini merupakan ruang yang sakral yang sering menjadi tempat pelaksanaan upacara atau ritual keluarga. Tempat ini juga menjadi tempat penyimpanan benda – benda pusaka keluarga penghuni rumah

Senthong tengen : Ruang pengantin lengkap dengan pelaminan selama 35 hari sesudah perkawinan; terletak di bagian belakang dalem agung sebelah kiri.

Sunduk : Berfungsi sebagai penyiku atau stabilisator.
Takir : Yang dimasuki ujung tiang
Takir : Menampung seluruh daya berat dari brunjung.
Takir : Yang dimasuki ujung usuk
Tumpang : Balok yang bersusun-susun dan jumlah harus ganjil.

Tumpang sari : Sama dengan tumpang tetapi letaknya paling bawah di antara tumpang yang lain. Tumpang: tindih-menindih; sari: bunga.

Tutup keyong : Tutup sisi samping pada rumah bentuk kampung
Umpak : Ganjal tiang. Dapat dibuat dari batu, bata, atau kayu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar