Minggu, 18 April 2010

Rumah Jawa, Desain yang Bersahaja (1)

Martino Dwi Nugroho, MA


Rumah bukan hanya sekedar sosok bangunan tapi benar-benar sebuah bangunan yang penuh makna dan perlambang serta sekaligus bagian yang menyatu dengan hidup dan kehidupan. Rumah atau omah dalam kaitan ini merupakan suatu konsep berhuni orang Jawa dalam mengaktualisasikan diri, baik pribadi maupun sosial yang meliputi serangkaian kegiatan rutin maupun ritualnya. Jika kita mengamati rumah Jawa dengan seksama, maka kita akan mengetahui sebuah hasil karya yang sangat bersahaja dimana dalam proses pembuatannya dilakukan dengan penerapan kaidah-kaidah desain yang rumit tapi manusiawi. Prinsip-prinsip desain menurut Ching (1996), yaitu bentuk, warna, tekstur, cahaya, proporsi dan skala, keseimbangan, keserasian, kesatuan, ritme, dan penekanan. Di bawah ini akan diuraikan penerapan beberapa prinsip desain dalam rumah Jawa.
(1) Bentuk. Seperti diketahui bahwa terdapat beberapa bentuk dasar rumah Jawa yaitu Joglo, Limasan, dan Kampung. Mengingat dalam bahasa Jawa dikenal tingkatan bahasa yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko, dalam bahasa arsitekturnya juga terdapat ungkapan untuk kalangan atas (bangsawan), tengah (orang kaya atau terpandang), dan bawah. Struktur sosial kalangan bangsawan atau pangeran dan kerabatnya terungkap dalam bentuk rumah bertipe joglo (biasa disebut dalem), kalangan orang kaya atau terpandang dalam bentuk rumah bertipe limasan, dan masyarakat kebanyakan dalam bentuk rumah bertipe kampung. Perbedaan nama-nama tersebut berdasarkan bentuk atapnya. Dengan adanya fenomena kultural yang bertingkat-tingkat itu, maka kehidupan manusia Jawa juga tumbuh berakar pada konsep tingkatan atau hirarki.
(2) Proporsi dan Skala. Rumah Jawa dibangun berdasarkan atas proporsi atau perbandingan dari elemen-elemen arsitekturnya. Sebagai contoh, tinggi saka guru adalah diagonal dari pamidhangan (balandar dan pangeret), tinggi umpak adalah keliling penampang saka. Jika diamati lebih jauh lagi dapat diketahui bahwa proporsi yang digunakan dalam rumah Jawa sesuai dengan sistem proporsi ideal atau Golden Section. Adapaun sistem pengukuran menggunakan skala tubuh manusia, misalnya kilan yaitu jarak antara ujung jempol dan ujung jari kelingking, hasta yaitu jarak antara ujung jaru tangan dan ujung siku. Rumah Jawa juga dibagi menjadi tiga bagian seperti bentuk manusia (pola antropomorf: kepala, badan, dan kaki) baik secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal, rumah Jawa dibagi menjadi tiga yaitu atap sepadan dengan kepala, ruang sepadan dengan badan, dan lantai atau alas sepadan dengan kaki. Secara horisontal, juga dibagi tiga yaitu bagian pendopo dan pringgitan (ruang luar ) sepadan dengan kepala, ruang dalam dan gandhok sepadan dengan badan dengan pengertian gandhok sebagai lengan. Dapur sepadan dengan kaki. Pembagian ini sama dengan pembagian pada candi Hindu dan Budha yang juga dibagi atas tiga bagian yaitu kepala, badan, dan kaki.
(3) Pencahayaan (alami). Pada rumah Jawa, efek pencahayaan dibagi dua yaitu sakral dan profan (tidak sakral). Pada dalem, efek pencahayaan yang dihasilkan adalah redup (dalam bahasa Jawa: singup), disesuaikan dengan sifat ruang dalem yang sakral (bahasa Jawa: wingit) dan semi privat, di mana pada ruang tersebut terdapat senthong tengah yang dianggap sakral. Adapun efek pencahayaan di pendapa adalah terang disesuaikan dengan sifat ruang yang profan (tidak sakral) dan publik atau terbuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar