Minggu, 18 April 2010

Desain Yang Meng-Indonesia

Martino Dwi Nugroho, MA.

Tanggal 2 Oktober 2009 ditetapkan sebagai hari Batik Nasional oleh Presiden RI berdasar pengakuan UNESCO atas batik sebagai hasil budaya asli Indonesia. Tetapi masih banyak hasil-hasil budaya asli Indonesia yang belum mendapat pengakuan dunia Internsional, sehingga banyak hasil-hasil budaya kita dicomot oleh negara lain. Kalau kita ingat hasil penelitian seorang sarjana Belanda, J.L.A. Brandes (1889) telah menyatakan bahwa ada 10 butir kekayaan budaya yang telah dimiliki bansa Indonesia (Jawa) sebelum tersentuh oleh budaya India, yaitu: (1) Wayang; (2) Gamelan; (3) Tembang; (4) Batik; (5) Teknologi logam; (6) Sistem mata uang; (7) Pelayaran; (8) Astronomi; (9) Sistem Irigasi; (10) Sistem pemerintahan yang teratur. Desain-desain asli budaya Indonesia memang harus kita lestarikan agar mendapat pengakuan dari dunia Internasional. Itu penting karena hal tersebut juga menyangkut eksistensi suatu bangsa. Penjajahan dunia barat saat ini tidak melalui kolonialisasi atau perang, tetapi melalui budaya.
Desain arsitektur Indonesia merupakan salah satu desain budaya indonesia yang harus kita lestarikan. Jangan sampai bangunan-bangunan tradisional seperti Joglo di Jawa, Tongkonan di Toraja, rumah Gadang di Minangkabau, dan lain-lain diklaim oleh bangsa lain sebagai hasil budaya mereka. Jika dilihat dari penelitian Brandes memang arsitektur tidak termasuk dalam 10 budaya asli Indonesia. Tetapi jika dilihat dari pekembangannya, kita menemukan kekhasan dari arsitektur tradisional Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Hal tersebut dapat kita lacak melalui artefak yang ada. Misalnya di Jawa. Jika kita lihat relief-relief yang ada di candi Jawa, maka kita akan melihat bentuk bangunan yang berbentuk rumah Jawa yang dibuat dengan atap berbentuk sirap, terdapat kolom-kolom penyangga atap dan berdiri pada sebuah landasan (kemungkinan umpak). Bentuk joglo sekarang adalah pengembangan dari bentuk tadi karena peranan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu penggalian potensi keaslian desain arsitektur yang merupakan budaya asli Indonesia juga dilakukan oleh peneliti yang bukan dari arsitektur dan desain, seperti ahli antropologi, arkeologi, geografi budaya atau ahli etnologi. Memang pemahaman dari berbagai ilmu tadi telh memungkinkan kita untuk menjadi yakin bahwa arsitektur adalah buah budaya dan sekaligus bagian dari kebudayaan suatu masyarakat tradisional kita. Jikalau dikatakan bahwa arsitektur dan desain merupakan buah budaya dan bagian kebudayaan, sebenarnya kita menyadari bahwa dalam pengertian ini arsitektur bukanlah upaya manusia dan masyarakat untuk mengungkapkan kebudayaan lewat bangunan yang diciptakannya, melainkan merupakan konsekwensi logis dari kebudayaan bersangkutan, sehingga muncul bentuk arsitektur yang berbeda di tiap suku bangsa.
Tantangan bagi para ilmuwan desain, desainer baik arsitektur maupun interior untuk semakin menggali potensi-potensi ke-lokal-an (baca:tradisional) lewat karya-karya maupun tulisan-tulisan. Suatu kebanggaan yang sangat besar jika kita bisa meniru jejak ”batik” yang telah mendapat pengakuan dunia internsional yang saya yakin perjuangan punggawa-pinggawa batik tentunya tidaklah mudah dan cepat. Perjuangan yang tetap memepertahankan eksisitesi ke-tradisional-an batik ditengah gempuran budaya-budaya asing dan modernitas. Lihatlah Ramli, Adjie Notonegoro yang tetap eksis dengan desain fashion dengan motif batik dan dipentaskan di berbagai negara. Kita sebagai ilmuwan dan praktisi desain di bidang arsitektur dan interior harus bisa seperti itu. Jika kita lihat karya-karya arsitek Belanda pada jaman kolonial seperti Henry Macline Pont (Aula ITB Bandung, Gereja Poh Sarang Kediri), Thomas Karsten (Museum Sonobudoyo Yogyakarta), karya-karya mereka adalah adaptasi dari budaya Indonesia. Eksistensi keaslian budaya kita, tergantung dari kita mau atau tidak melestarikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar