Minggu, 18 April 2010

Menilik Keeksotikan Bangunan “Mooi Indie” di Jawa

Martino Dwi Nugroho, MA.


Istilah Indie Mooi (Hindia Molek) diberikan sebagai sindiran oleh S.Sudjojono untuk menerangi tipe karya dan pengarahan tema seni lukis zaman Hindia Belanda, kurang lebih antara tahun 1925 sampai dengan tahun 1938. Tapi dalam perkembangannya, istilah itu tidak hanya untuk seni lukis saja, tetapi juga merambah pada dunia arsitektur. Rumah tinggal Indis di kota Yogyakarta pada awalnya dibangun bersamaan dengan keberadaan masyarakat Eropa sekitar tahun 1830. Masyarakat Eropa ini terdiri dari pejabat beserta petugas dan tentara, pedagang dan penyewa tanah yang bergerak di bidang ekonomi serta pendeta yang bergerak di bidang sosial keagamaan (Vincen J. Houben, 1994). Sesudah abad ke-19 kota menjadi bagian integral akibat meningkatnya aktivitas dagang dan industri sehingga menambah kedinamisan warga kota. Sebagai upaya mengimbangi jumlah penduduk Eropa yang bertambah mengikuti perkembangan ekonomi, maka pemerintah kolonial mulai menciptakan kota-kota baru untuk pemukiman khusus orang Eropa (W.F. Wertheim, 1956). Rumah tersebut memiliki ciri tersendiri jika dibandingkan dengan rumah orang pribumi.
Bangunan Indis adalah arsitektur yang dibangun selama pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia yaitu antara abad 17 hingga tahun 1942, yang dipengaruhi oleh arsitektur tropis. Arsitektur ini merupakan hasil dari kreativitas arsitek Belanda pada zaman itu dan umumnya mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan arsitektur modern Indonesia, karena para arsitek Belanda ini mentransfer teknologi Barat, desain dan selera dari tanah kelahiran mereka dalam melahirkan bangunan-bangunan di Indonesia yang kemudian disesuaikan dengan kebiasaan adat, lingkungan dan iklim yang dimiliki Indonesia yaitu kondisi iklim tropis basah dan cuaca yang panas (Budiharjo,1997). Arsitek-arsitek yang terkenal di Indonesia antara lain Thomas Karsten, Henry Maclaine Pont, Wolf Schoemaker, Citroen, dan lain-lain.
Penyesuaian terhadap iklim tropis pada bangunan Indis terlihat dengan dipikirkannya secara mendalam mengenai orientasi angin dan matahari serta sistem pencahayaan dan penghawaan alami. Hal ini terlihat pada plafon yang sangat tinggi, kemiringan atap yang tajam bahkan kadang-kadang terdiri dari dua lapis dengan celah untuk mengalirkan panas, jendela dan ventilasi yang memenuhi hampir seluruh permukaan dinding, serta terdapat doorloop (selasar) yang berfungsi ganda selain sebagai penghubung antar ruang juga sebagai isolasi panas dan sinar matahari langsung. Elemen-elemen bangunan berciri Eropa seperti plengkung, menara dan lain-lain tetap ada dan penggunaan lantai tegel bermotif yang begitu indah. Bangunan rumah Indis yang ada di Jawa mempunyai ciri-ciri salah satunya menggunakan tiang-tiang dengan gaya Ionia dan Korintia yang banyak digunakan untuk menghias bangunan-bangunan besar dan megah milik raja atau penguasa jajahan, khususnya untuk batang-batang tiang sisi bagian dalam bangunan. Di Jawa, sebagai contohnya adalah Istana Presiden di Jakarta, Gedung Agung di Yogyakarta, juga Pagelaran Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Bangunan pagelaran adalah bangunan tradisional Jawa, namun gerbang dan emper-nya yang disangga batang-bantang tiang gaya Korintia tampak megah dan indah. Penggunaan elemen estetis seperti lukisan yang bergaya Hindia Molek (Indie Mooi), penggunaan kaca patry di dinding, dan penggunaan perabot bergaya Eropa yang megah menambah keeksotikan bangunan Indis ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar