Jumat, 30 Januari 2009

MAKNA RUANG BAGI ORANG JAWA

Pendahuluan

Membicarakan ruang tidak bisa terlepas dari segi arsitekturalnya dalam hal ini rumah atau orang Jawa menyebutnya omah/papan. Aktifitas-aktifitas dalam rumah terjadi di dalam ruang. Rumah sudah tidak mungkin terpisah dari kehidupan manusia pada masa kini di bumi ini. Rumah sudah merupakan kebutuhan pokok bagi manusia ( sandang, pangan lan papan ). Rumah dalam hal ini adalah perpanjangan dari berhuni dan budaya berhuni ini membuat manusia mengenal dirinya sebagai insan manusia. Rumah/omah dalam kaitan ini merupakan suatu konsep berhuni orang Jawa dalam mengaktualisasikan diri, baik pribadi maupun sosial yang meliputi serangkaian kegiatan rutin maupun ritualnya. Dalam dunia orang Jawa, keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi penghuninya selalu berlangsung dalam ruang, waktu, makna dan pesan dan dalam pemikiran orang Jawa tatanan spasial (spatial order) lebih diutamakan dari pada tatanan waktu (temporal order)[1]. Hal itu menunjukan bahwa ruang bagi orang Jawa mempunyai arti yang sangat penting.
Memahami rumah/omah sama dengan memahami kehidupan suatu kelompok kebudayaan. Suatu kebudayaan sering memancarkan suatu watak khas tertentu yang tampak dari luar. Watak khas ini dalam ilmu antropologi disebut etos atau watak khas yang sering tampak pada gaya tingkah laku, kegemaran-kegemaran dan berbagai hasil karya manusia[2]. Dalam hal ini kebudayaan Jawa memancarkan keselarasan, kesuraman, ketenangan berlebih-lebihan yang sering mengesankan kelambanan, kegemaran akan tingkah laku yang njlimet dan kegemaran akan karya atau gagasan yang rumit. Selain itu etos kebudayan Jawa adalah sopan santun dan gaya tingkah laku yang menganggap pantang berbicara dan tertawa keras gerak-gerik yang ribut dan agresif.
Berhuni adalah suatu kebudayaan yang terpentas melalui ruang. Arsitektur sebagai ruang tempat hidup manusia dapat diterapkan seperti konsep mikrokosmos sebagai gambaran makrokosmos yang tidak terhingga[3]. Orang Jawa menganggap bahwa rumah sebagai tempat tinggal diungkapkan sama dengan pribadi yang memiliknya. Sistem mendirikan rumah tidak begitu saja terjadi tanpa menghiraukan nilai-nilai psikologis dan spiritual.
Oleh karena itu ruang-ruang pada rumah Jawa mempunyai makna yang sifatnya spiritual, magis tapi masuk akal (logis). Ruang-ruang itu mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi yang pada dasarnya hal itu berhubungan dengan keseimbangan alam (nyata dan ghaib). Selain itu tulisan-tulisan tentang rumah Jawa dirasa masih sangat kurang. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat memancing para peneliti untuk meneliti lebih dalam tentang rumah Jawa ini yang ternyata mempunyai nilai filosofis yang tinggi dan masih banyak untuk dapat di gali lagi sehingga hasil dari kebudayaan Jawa ini dapat dilestarikan..

Pengalaman Sejarah[4]
Membahas perkembangan rumah tradisional Jawa tidak bisa lepas dari sejarah. Dalam bahasan ini dibatasi yaitu dari zaman neolitik dan megalitik sebagai awal mula mengenal rumah sampai zaman penjajahan Belanda yang banyak terjadi akulturasi budaya termasuk didalamnya arsitektur.
1. Masa neolitik (2500-1500 SM) dan megalitik ( 1500 SM-200 M)
Pada masa itu orang Jawa hidup dalam masyarakat pedesaan yang sudah dikonsolidasikan dan menjadi inti masyarakat baru yang memperkembangkan desa atau kampung tradisional. Bentuk gubuk mereka masih agak kecil, berbentuk kerucut dengan atap yang langsung menempel ke tanah dan dibuat dari daun-daunan.
Pada perkembangannya, teknik tradisional tentang pembangunan rumah yang dapat dibongkar pasang (knock down) mulai dikembangkan. Hal ini dikarenakan rumah tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka yaitu ladang berpindah serta pembukaan hutan dengan cara membakarnya. Atap rumah yang berbentuk kerucut sudah terpisah dari tanah.
2. Zaman Purba
Zaman keemasan peradaban Jawa dimulai pada akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9 saat wangsa Sailendra yang beragama Budha mengambil alih kekuasaan di Jawa dari wangsa Sanjaya. Tempat kedudukan pemerintahan dinamakan Keraton, yang berarti istana raja dan rumah tangga istana. Pada masa itu juga konstruksi kayu diperkenalkan kepada rakyat.
Sekitar abad 13 –14 pada saat Majapahit diperintah oleh Hayam Wuruk, dalam bidang arsitektur dikembangkan ekspresi dan teknik pembangunan yang baru. Buku pelajaran bagi bermacam bagian pembangunan diterbitkan, pengetahuan dasar tentang pembangunan rumah kediaman, candi, pemandian dan tata kota diadakan pada waktu itu. Pembangunan dengan batu alam dihentikan dan penggunaan batu merah beserta konstruksi kayu diistimewakan dan diperkembangkan sedemikian rupa sehingga masih dipergunakan pada masa kini dalam arsitektur dan tata kota.
3. Zaman Madya
Masuknya agama Islam di Indonesia pada awal abad ke-16 terutama terjadi melalui hubungan dagang dengan saudagar Arab dan Persia sepanjang rute perdagangan dengan cara damai. Dalam penyebaran agama Islam di Jawa, kerajaan Demak berperan penting, karena berhasil mengalahkan Majapahit pada tahun 1478 M dan menundukkan pelabuhan Jepara pada tahun 1511 M. Penyebaran agama Islam terjadi secara bertahap dimulai dari pantai utara sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan. Kemudian bergerak ke arah pedalaman. Penyebaran agama Islam di pulau Jawa melalui sarana wayang dan gamelan yang notabene adalah kebudayaan Hindu. Dengan demikian gabungan antara kebudayaan Islam dan Hindu terwujud dengan baik, begitu juga dalam hal arsitektur.
Dalam arsitektur Hindu, yang diutamakan adalah gambaran aturan kosmis yang dinamakan Mandala atau Yantra. Mandala atau Yantra juga berarti ilmu proporsi atau perbandingan serta menentukan bentuk dan ukuran bagian-bagian bangunan. Dalam Islam sebaliknya menciptakan pembatasan bidang untuk penghidupan batin dan keagamaan. Pembatasan oleh bidang garis merupakan gerak maju dalam bidang tanpa menentukan atau menciptakan ruang tertentu. Jikalau ada pembentukan ruang, ruang tersebut terbentuk oleh bidang pembatasan : tenang, sebagai bujur sangkar, tidak terarah. Alam sekitar dipilih sebagai perhiasan abstrak, sebagai pertunjukan dalam garis-garis dan bidang-bidang tertentu. Untuk dekorasi, diperbolehkan menghias masjid sehingga menjadi indah, karena Allah menyukai keindahan. Adapun motif manusia dan hewan apalagi lukisan mengenai Nabi dan Allah tidak boleh. Di satu sisi hal itu menjauhkan diri dari sikap dan kegiatan kemusyrikan, sedang di sisi yang lain untuk menjaga agar tidak mencemarkan keluhurannya[5].
Kemudian juga perlu diketahui bahwa pusat-pusat kekuasaan sering berpindah-pindah pada zaman ini yang merugikan perwujudan kebudayaan dalam bidang arsitektur sehingga peninggalan arsitektur yang ada hanya beberapa masjid saja.
4. Zaman Penjajahan Belanda
Bagaimanakah penjajahan yang fungsi utamanya selama berabad-abad adalah perluasan kekuasaan, penjaminan terus menerus dan penyingkiran perlawanan pada waktu yang sama memungkinkan minoritas orang Eropa sebagai penjajah akhirnya menguasai penduduk Asia sekaligus kebudayaannya? Pertanyaan ini bukan mengutamakan bagaimana sikap penjajah terhadap warga negara dan struktur masyarakatnya, melainkan tentang penyingkiran kaum bangsawan, pembatasan kebebasan bergerak, serta tindakan atas kebiasaan dan kepercayaan penduduk yang mempengaruhi arsitektur bangsa-bangsa tersebut.
Setiap pembangunan berdasar atas prasyarat kedewaan. Pada keraton konsep ini diwujudkan dan merupakan hal pantas untuk ditiru. Konsep ini akibatnya sangat buruk, sehubungan dengan penjajahan Belanda atas arsitektur tradisional. Pusat ruang yang padat dan pantas diteladani tiba-tiba dikuasai oleh orang asing yang memiliki tingkah laku dan kebudayaan yang sama sekali asing. Penjajahan ini mengakibatkan kekosongan dalam interpretasi simbolis dan kosmis dalam bidang arsitektur dengan kerugian yang sampai saat ini belum dapat diperbaiki.
Menariknya, pengaruh Belanda atas bahan bangunan dan interpretasi ruang yang baru tidak-atau hanya sedikit mengubah perwujudan rumah tinggal tradisional. Dengan demikian, batu merah digunakan untuk membangun rumah tinggal, bukan lagi menjadi bahan bangunan yang dikhususkan untuk bangunan keraton dan candi. Kemudian mulai digunakan kaca yang memungkinkan cahaya alami masuk lewat dinding dan besi terutama besi cor sebagai kolom dan sebagainya. Karena di negeri Belanda gaya Renaisance pada awal abad 17 langsung diganti dengan gaya bangunan Klasik menurut Pallado dan Scamozzi, konsep dan pembentukan perumahan mengandung banyak kesamaan dengan arsitektur tradisional Jawa yang mengagumkan.
Dalam pandangan hidup tradisional di Jawa setiap lubang dalam dinding yang mengelilingi ruang merupakan suatu pelemahan diantara dunia material dan dunia spiritual, maka jendela sebagai celah atau bagian yang terbuka ditiadakan. Dengan diimpornya kaca oleh orang Belanda, muncul kemungkinan konstruksi baru untuk jendela yang tidak melanggar pandangan metafisik dinding sebagai pembatas. Pada saat itu pembangunan rumah tinggal dengan batu merah sebagai tembok menjadi hal yang umum, terutama bagi kaum bangsawan. Akibatnya rumah-rumah cukup cahaya tetapi juga agak rapat udara. Dengan demikian cara pembangunan Barat membantu proses penyingkiran konstruksi kayu dan bambu tradisional yang menyesuaikan diri dengan iklim setempat.

Organisasi Ruang pada Arsitektur Tradisional Jawa
Sebelum membahas tentang organisasi ruang lebih lanjut perlu kiranya mengetahui tentang orientasi bangunan tradisional Jawa. Rumah tradisional di Jawa pada umumnya merupakan ungkapan dari hakikat penghayatan terhadap kehidupan. Orientasi terhadap sumbu kosmis dari arah utara selatan tempat tinggal Ratu Kidul, Dewi Laut Selatan dan Dewi pelindung Kerajaan Mataram. Orientasi terhadap sumbu kosmis dari arah barat timur untuk rakyat biasa adalah tidak mungkin karena arah timur dipergunakan sebagai unsur dari bagian keraton. Arah timur juga merupakan tempat tinggal Dewa Yamadipati yang dalam cerita pewayangan mempunyai tugas mencabut nyawa orang[6].
Pada arsitektur atau rumah Jawa terdapat beberapa jenis rumah. Dalam hal ini hanya akan dibahas tiga jenis rumah yang sebagian besar terdapat pada masyarakat Jawa, yaitu rumah kampung, rumah limasan dan rumah joglo.
Bentuk rumah kampung ini susunan ruangannya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ruang depan yang fungsinya untuk menerima tamu, ruang tengah dan ruang belakang yang dibagi menjadi tiga kamar (senthong) yaitu senthong kiwa, senthong tengah, senthong tengen[7].
Bentuk rumah limasan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan rumah bentuk kampung. Susunan ruangan dibagi menjadi tiga ruangan yaitu ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang.Tetapi ruang tengah lebih luas dari pada ruang depan dan ruang belakang. Pada ruang belakang dibagi menjadi 3 senthong yaitu senthong kiwa, senthong tengah dan senthong tengen. Penambahan senthong atau kamar biasanya ditempatkan di sebelah kiri senthong kiwa dan di sebelah kanan senthong tengen[8].
Bentuk rumah joglo mempunyai susunan ruang yang lebih jelas dibandingkan susunan ruangan rumah bentuk kampung dan limasan. Oleh karena itu bentuk rumah joglo dikatakan sebagai tipe ideal dari pada rumah tradisional Jawa. Susunan ruangan pada rumah bentuk joglo yang banyak dimiliki oleh masyarakat biasa dibagi juga menjadi tiga bagian, yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendapa, ruang tengah atau ruang untuk pentas wayang ( ringgit ) yang disebut pringgittan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruangan itu terdapat 3 buah senthong (kamar) yaitu senthong kiwa, senthong tengah (petanen) dan senthong kanan. Rumah bentuk joglo yang dimilki golongan bangsawan (ningrat) biasanya bangunannya lebih lengkap. Disebelah kiri kanan dalem ada bangunan kecil memanjang yang disebut gandhok yang memiliki kamar-kamar[9]. Gandhok kiwa (wetan omah) untuk tidur kaum laki-laki dan gandhok tengen (kulon omah) untuk kaum perempuan. Dan yang paling belakang adalah dapur (pawon)[10].
Tiap-tiap ruangan tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Pada bentuk rumah kampung dan limasan ruangan itu sudah dibagi-bagi menjadi kamar-kamar yang fungsional. Disamping adanya ruangan teras, yang terletak di depan. Biasanya teras ini untuk menerima tamu lelaki, sedang untuk tamu perempuan ada di ruangan dalam. Susunan ruang dalam yang ada dibagi menjadi beberapa kamar, yaitu kamar kiri (senthong kiwa), kamar tengah (senthong tengah) dan kamar kanan (senthong tengen). Untuk golongan petani senthong kiwa berfungsi untuk menyimpan senjata atau barang-barang keramat, senthong tengah untuk menyimpan benih atau bibit akar-akaran dan gabah. Sedangkan senthong tengen untuk tempat tidur. Kadang-kadang senthong tengah dipakai pula untuk mengheningkan cipta dan berdoa kepada Tuhan, juga sebagai tempat pemujaan kepada Dewi Sri atau Dewi Kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga. Oleh karena itu senthong tengah disebut juga pasren atau petanen. Senthong tengah tersebut diberi batas dengan kain yang disebut langse atau dari gedheg berhias anyaman yang disebut patang-aring. Pada bentuk rumah joglo milik bangsawan di Jawa senthong tengah ini berisi bermacam-macam benda-benda lambang (perlengkapan) yang mempunyai kesatuan arti yang sakral (suci). Macam-macam benda lambang ini berbeda dengan benda-benda lambang petani. Namun keduanya mempunyai arti lambang kesuburan, kebahagiaan rumah tangga itu. Personifikasinya adalah Dewi Sri[11].
Sehingga dapat dikatakan bahwa jenis, fungsi atau organisasi ruang tersebut ternyata fleksibel, tergantung dari kebutuhan, tingkat sosial dan tingkat ekonominya pemilik rumah.

Makna Ruang-Ruang pada Rumah Jawa.
Makna bersifat intersubjektif karena ditumbuhkembangkan secara individual, tapi makna-makna itu dihayati secara bersama dan diobjektivikasikan dalam masyarakat.
Konfigurasi ruang dikonsepkan sebagai pengejawantahan dari kekuasaan yang mengaturnya, maka akan selalu ada kewenangan atas setiap ruang yang memiliki aturan. Ide tentang ruang menjadi identik dengan ide tentang teritori (kewilayahan) sebagai ruang yang terkontrol, sehingga secara konseptual setiap ruang ada pemiliknya sebagaimana bapak menguasai rumah dan raja memerintah negara. Teritori atau kewilayahan dalam hal ini adalah merupakan tempat yang nyata, relatif tetap dan tidak berpindah –pindah mengikuti gerakan individu yang bersangkutan. Teritori juga dapat dikatakan sebagai wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang[12]. Kepemilikan atau hak dalam kewilayahan atau teritori ditentukan oleh persepsi dari orang lain atau orang-orang yang bersangkutan sendiri.
Secara mendalam ruang terbentuk dalam interaksi antara seseorang dengan permukaan bumi. Orang Jawa melakukan upacara-upacara yang memuliakan interaksi awal manusia dengan tanah. Untuk memapankan eksistensi di bumi, segera sesudah seorang bayi lahir, ari-ari sang bayi (yang merupakan bagian dari “empat saudara kandung” yang menjaga seorang individu, yakni : air ketuban, ari-ari, darah dan tali pusar) dikubur didekat rumah menyusun “kakaknya” sang air ketuban yang telah tumpah lebih dahulu. Sebuah periuk tanah yang dilubangi alasnya diletakkan terbalik diatas kubur tersebut untuk melingkupinya sepenuhnya dengan tanah.
Menata ruang tidak hanya menyelaraskan dengan semesta tetapi dengannya kesejahteraan wilayah dapat dicapai.dengan kesadaran akan tatanan yang dominan, tradisi Jawa menganggap bahwa huru hara dan musibah diakibatkan oleh kondisi lupa akan tatanan atau “lali”. Dengan melupakan tatanan, seseorang tidak sadar terhadap keteraturan sosial dan fisikal disekelilingnya khususnya posisi relatifnya dalam keluarga dan masyarakat sehingga dia cenderung untuk melanggar aturan moral. Dalam kebiasaan orang Jawa, seseorang akan membasuh kakinya ketika masuk rumah untuk melepaskan emosi dan kesialan yang mungkin menempel pada tubuhnya di jalanan. Di luar rumah adalah dunia yang berbahaya karena kacau balau dan penuh huru hara. Di rumahlah orang menemukan ketentraman terlindung dari galau dunia luar. Mencuci kaki akan melunturkan sarap sawan, hal buruk yang harus dilepaskan ketika masuk rumah. Sarap sawan juga berati halangan yang lekat pada orang yang penuh kesialan, sebagai ungkapan sarap sawane wong sukerta, yang baru bisa dilepaskan dari orang tersebut dengan upacara ruwatan. Dalam kesejajaran ini, rumah dapat dianggap sebagai struktur untuk meruwat yang akan melindungi penghunuinya dari ancaman kekacauan dan kesialan.
Ruang, suatu unsur kunci arsitektur dialami orang Jawa melalui arah (orientasi) dan suasana. Tempat bagi orang Jawa lebih kongkrit karena tindakan yang tepat selalu didasari atas posisi seseorang dalam dunia. Tempat adalah unsur kunci dalam pandangan dunia orang Jawa. Tempat dinilai sebagai lokasi dan dibatasi oleh arah-arah, yang maknanya terungkap sepenuhnya dalam pelaksanaan ritual.
Pemahaman penghuni terhadap makna yang terbentuk di dalam rumahnya akan terwujud sebagai susunan ruang dan tercermin dalam perilaku keseharian dengan mengekspresikan pemahamannya terhadap rumah melalui penyusunan obyek maupun penempatan tubuh dalam ruang. Dalam hubungan antara susunan ruang dan tindakan ragawi, terdapat dua cara utama untuk menyatakan suatu setting ruang secar positif dengan mengartikulasikan pusatnya dan secara negatif dengan mendefinisikan batasnya. Berkait dengan tindakan ragawi dalam ruang, suatu pusat cenderung akan menjadi orientasi bagi pengguna, sementara suatu pembatas akan mengisyaratkan partisipannya: siapa saja yang boleh dan siapa saja yang tidak boleh memasuki ruang tersebut. Batas bagi suatu ruang dapat berupa elemen fisik dan dapat berupa non fisik. Elemen fisik dapat berupa peninggian lantai, jajaran kolom, teritis ataupun perbedaan derajat terang yang kontras. Sementara itu pembatas ruang non fisik dapat mengambil bentuknya dalam suatu regulasi atau aturan, baik yang mempersilahkan atau yang melarang orang untuk memasuki ruang tertentu[13]. Dalam banyak hal, mekanisme kontrol berupa “aturan masuk” ke dalam ruang ini berlaku secara berbeda terhadap orang yang berbeda.Seperti diketahui bahwa setiap orang mempunyai jarak pribadi (personal space) dan privasi yang berbeda-beda. Secara umum jarak pribadi mempunyai dua fungsi yaitu fungsi perlindungan (protective function) untuk mencegah dari potensi ancaman fisik dan psikologis, privasi yang tidak cukup. Selanjutnya fungsi yang kedua adalah fungsi komunikasi yang akan menjadi sangat penting dalam interaksi manusia[14]. Pusat adalah posisi yang relatif. Suatu objek akan menjadi pusat jika melalui tindakan penghuninya, ia dianggap sebagai hal yang penting, lebih dari sekedar berada di tengah-tengah ruang atau memiliki bentuk yang secara mencolok berbeda. Sosok pusat akan menjadi orientasi, baik bagi tubuh atau bagi objek-objek lain.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa rumah Jawa pada umumnya dibagi menjadi tiga ruang ( depan, tengah dan belakang). Dalam bab ini, ruang depan dan rumah tengah akan digabung karena mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai ruang publik. Sehingga dalam pembahasan ini hanya terdapat dua atau sepasang ruang yaitu ruang depan/luar dan ruang belakang/dalam. Pasangan ini mewujudkan gagasan utama yang melandasi pembentukan setting domestik: sebagai tempat bermukim dan tempat untuk membangun hubungan.
Bagian depan sebuah rumah merupakan wilayah yang berorientasi keluar tempat prestise domestik dan keteraturan sosial ditampilkan dalam bentuk perbedaan-perbedaan status dan formalitas[15]. Dalam hubungan sosial, status terjelas diekspresikan dalam penggunaan bahasa Jawa yang memiliki banyak tingkatan. Dengan memainkan dan mencoba beberapa tingkatan bahasa dalam ujaran, seorang pembicara secara sadar menilai status lawan bicaranya dan menilai status relatifnya sendiri dengan tujuan menegosiasikan pola hubungan. Seperti bahasa, setting spasial disusun untuk membentuk kecenderungan beberapa hubungan tertentu. Krama atau bahasa Jawa tinggi yang formal guna menegaskan jarak dan penghormatan diekspresikan dengan baik dalam setting rumah depan, dimana seseorang muncul untuk menemui orang lain. Menemui orang lain sering diasosiasikan dengan laki-laki, karena laki-laki dianggap (atau menganggap dirinya) sebagai pewakilan dari rumah yang harus berhadapan dengan dunia luar. Sebagai figur teladan dalam rumah tangga, dia wajib memelihara prestisenya. Dia harus memperhalus kemampuan berbahasa dan tingkah laku karena masyarakat mengawasinya. Sehingga jarak pribadi yang terjadi pada ruang bagian depan termasuk dalam kategori jarak pribadi dan jarak sosial. Menurut teori jarak pribadi berkisar antara 0-1,5 kaki dan biasanya merupakan kontak antara teman, tetangga, kenalan dan sebagainya dengan media komunikasinya berupa kata-kata. Sedang jarak sosial berkisar antara 4-1 kaki dan biasanya merupakan kontak bisnis dan kontak dengan orang tertentu[16].
Kekuasaan, sesuatu yang secara sosial berkesesuaian dengan status, tidak selayaknya dipamerkan secara mencolok pada bagian paling depan kepada masyarakat luas. Derajat kesederhanaan tertentu pada bagian luar harus diekspresikan; begitu pula kekuasaan harus mendominasi sekelilingnya dengan cara yang tidak kentara. Ruang depan mengemban tugas mengindikasikan status sosial dari sang pemilik. Ia biasanya merupakan bagian dari rumah yang secara sosial paling rapi dan paling prestisius, guna menaikkan status pemiliknya dihadapan tetamu. Namun demikian, fasad atau sisi paling depan dari tempat ini biasanya tampil sederhana.
Karena ruang ini berfungsi sosial, maka ruang ini mempunyai sifat terbuka. Sebagai pengimbang terhadap keterbukaannya, ruang depan harus meneguhkan pusatnya agar orientasi ruang masih dapat dikenali. Pusat yang mengikat diekspresikan pada sosok dan tindakan. Kolom-kolom yang tinggi dengan mahkota tumpang sari di tengah pendhapa atau jogan adalah sosok vertikal yang mendefinisikan pusat ruangan. Tindakan mendefinisikan pusat ini dapat juga berarti mengekspresikan kewenangan tuan rumah sebagai pumpunan kekuatan di ranah yang dikuasainya.
Sedangkan rumah dalam merupakan wilayah yang berorientasi ke dalam, tempat kita bertemu diantara diri kita sendiri dalam lingkungan terdekat kita. Sebagai setting tempat seseorang bermukim dan menjadi bagiannya, bagian belakang rumah dikonstruksikan sebagai ranah yang terjaga. Bagian ini terlingkup dengan baik dengan memaksimumkan pembatasnya. Diantara berbagai cara untuk mengartikulasikan sosok ruang belakang ini untuk mencapai karakternya sebagai bagian yang terjaga adalah meninggikan, menebalkan dan menyusun berlapis-lapis dinding pelingkup, serta mereduksi bukaan sehingga mengurangi penembusan sinar matahari. Secara fungsional, keterjagaan ini berarti membatasi akses. Sifat dasar bagian ini lebih berkarakter protektif daripada privat semata. Sehingga ruang ini mempunyai fungsi teritori yang lebih tinggi daripada ruang depan. Orang-orang yang telah diakrabi yang kepadanya penghuni percaya ataupun orang-orang dengan status yang lebih rendah yang berada dibawah kekuasaan tuan rumah adalah diantara kelompok orang yang diperkenankan memasuki lingkup ini. Sehingga dapat dikatakan jarak yang terjadi dalam ruang ini adalah jarak intim dan jarak pribadi.
Bagian dalam dari rumah, yang diasosiasikan dengan perempuan, merupakan tempat kaum perempuan secara rutin melakukan tugas-tugas domestik mereka[17]. Berkenaan dengan kekeramatan, ditempat ini mereka melakukan ritual-ritual domestik. Khususnya yang berkaitan dengan penyimpanan beras nasi dan pemeliharaan pusaka. Dalam ritus itu, perempuan mengemban kapasitas untuk menjaga kesejahteraan keluarga dan akumulasi kekuatan dalam rumah.
Sebagai tempat yang berorientasi ke dalam, rumah dalam juga bebas dari pengawasan publik tanpa adanya kesempatan untuk menunjukan status, sebuah penampilan yang mengesankan dan susunan yang rapi menjadi kurang penting dalam wilayah ini. Senthong yang berada pada ruang dalam dianggap sebagai ruang suci.
Berdasarkan kedudukan pemilik dalam tata jenjang dan kekayaanya, komplek perumahannya dianjurkan untuk disesuaikan menjadi lebih besar atau lebih kecil. Bentuk yang terkecil merupakan reduksi atas rumah induk dalem agung. Dalam pengertian komplek perumahan tradisional berperan pola antropomorf sebagai ekspresi berhubungan dengan seni bangunan yang dirangkaikan pada sumbu utara selatan. Antropomorf berarti berbentuk mirip dalam wujud manusia. Menurut pola antropomorf, bagian pendopo dan pringgitan (ruang luar ) sepadan dengan kepala, ruang dalam dan gandhok sepadan dengan badan dengan pengertian gandhok sebagai lengan. Dapur sepadan dengan kaki[18].

Gender Dalam Rumah Jawa
Gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain dan dapat berbeda dari satu kelas ke kelas yang lain[19].
Bias gender tak pelak lagi membayangi pembahasan rumah ketika lelaki dan perempuan berbagi peran di ruang tersebut. Namun demikian, stereotip perempuan dikurung di rumah sementara lelaki menikmati prestise masyarakat tampaknya tak dapat diterima tanpa dikritisi dengan wacana tanding yang dapat dibangun berdasar gejala yang dijumpai di ruang-ruang domestik Jawa.
Bagi orang Jawa, kategorisasi gender tampaknya bukan urusan ya dan tidak secara mutlak. Menjadi laki-laki sejati tidak harus berarti bahwa dia harus menjauhkan dirinya dari sifat keperempuanan. Memiliki kapasitas-kapasitas perempuan dengan tetap mempertahankan karakteristik laki-laki (atau sebaliknya) adalah suatu tanda kekuatan. Citra orang Jawa mengenai “super hero” sering lebih bersifat keperempuan-perempuanan ketimbang macho. Seorang satria sejati dianugrahi kapasitas untuk bisa mencala putra mencala putri, bisa menjadi laki-laki sekaligus perempuan. Dalam tokoh pewayangan sosok seperti itu digambarkan sebagai Arjuna atau Janaka.
Sementara lelaki menyandang kapasitasnya keluar untuk mewakili keluarga, dalam ranah domestik perempuan diidentifikasikan ke dalam dengan keluarga atau dengan rumah itu sendiri. Dalam menjaga kapasitasnya, perempuan memegang kendali terhadap sumber-sumber domestik sebagaimana dia juga mengelola pengeluaran keluarga. Sebagai pengendali, perempuan bukan hanya memelihara pusat-pusat kekuasaan domestik yang tersembunyi, tapi juga yang paling berhak atas ruang tersebut. Namun demikian, lelaki pada kesempatan-kesempatan publik biasanya tetaplah sosok yang paling tampil sebagai representasi sang rumah dan isinya.
Selain itu bias gender pada rumah Jawa juga dapat dilihat melalui sudut pandang agama dalam hal ini Islam. Kenapa Islam? Seperti diketahui bahwa agama Islam mempunyai pengaruh yang besar pada kebudayaan Jawa sebagaimana agama Hindu temasuk didalamnya arsitektur yaitu masjid. Dalam masjid terdapat pembagian zona antara laki-laki dan perempuan. Zona laki-laki di depan dan zona perempuan di belakang. Patokan-patokan yang ada di masjid dapat juga dilihat pada rumah Jawa yang membagi rumahnya menjadi dua bagian yaitu ruang depan untuk laki-laki dan ruang belakang untuk perempuan.

Penutup
Arsitektur/rumah tradisional bagi orang Jawa mempunyai arti yang sangat penting dan termasuk dalam kebutuhan pokok. Karena dalam membangun rumah tersebut harus melalui tahap-tahap ritual sehingga makna-makna magis tapi logis tercermin dalam setiap ruang-ruangnya. Patokan-patokan yang ada didasarkan atas arah (orientasi) dan suasana yang intinya menyeimbangkan penghuni dengan alam, mengarah ke hal-hal yang baik dan membuang kesialan.
Dilihat dari bentuk atau pola bangunan, berperan pola antropomorf. Pola antropomorf berarti berbentuk mirip dengan wujud manusia yaitu kepala, badan dan lengan, kaki. Kepala tercermin lewat pendapa (ruang depan), badan tercermin lewat ruang dalam dengan gandhok sebagai kedua lengan dan kaki tercermin lewat dapur. Setiap rumah Jawa berorientasi ke arah sumbu kosmis utara selatan tempat tinggal Ratu Kidul, Dewi laut selatan, Dewi pelindung kerajaan Mataram. Sedangkan orientasi timur barat tidak mungkin karena arah timur merupakan tempat dewa Yamadipati atau dewa kematian. Dilihat dari segi teknis hal itu masuk akal dengan mengesampingkan faktor magis. Arah selatan baik untuk masuknya angin dan arah utara baik untuk keluarnya angin. Karena orientasi ke utara selatan maka jendela banyak di sisi barat timur sehingga sinar matahari banyak yang masuk.
Dan ternyata arsitektur tradisional/rumah Jawa sudah mengenal gender yaitu dengan dibaginya rumah menjadi dua bagian yaitu ruang depan dan ruang belakang termasuk dapur. Ruang depan bersifat publik, terbuka, bersifat sosial karena untuk komunikasi dengan dunia luar. Ruang ini dikuasai oleh laki-laki sebagai kepala keluarga. Sedangkan ruang belakang sifatnya tertutup, privasi tinggi dan bersifat magis. Ruang ini dikuasai oleh perempuan.
Selain itu agama (Islam) sangat berperan dalam bias gender. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Islam (masjid) dan rumah Jawa yang sama-sama membagi ruang menjadi dua bagian yaitu ruang depan untuk laki-laki dan ruang belakang untuk perempuan.


Kepustakaan
Heinz Frick, Pola Struktural dan Teknik Bangunan di Indonesia, Yogyakarta, Kanisius, 1997.

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996.

Oman Sukmana, Dasar-Dasar Psikologi Lingkungan, Malang, Bayu Media dan UMM Press, 2003.

Posman Simanjuntak, Berkenalan Dengan Antropologi, Jakarta, Erlangga, 1997.

Revianto Budi Santosa, Omah, Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya, 2000.

Sugiyarto Dakung, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta, Departemen Pendidiakan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan daerah, 1981/1982.

Zein M. Wiryoprawiro, Perkembangan Masjid-Masjid di Jawa Timur, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1986.








[1] Revianto Budi S., Omah, Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya, 2000, hlm. 8.
[2] Posman Simanjuntak, Berkenalan Dengan Antropologi, Jakarta, Erlangga, 1997, hlm. 20.
[3] Heinz Frick, Pola Struktural danTeknik Bangunan di Indonesia, Yogyakarta, Kanisius, 1997, hlm 83.
[4] Lihat Heinz Frick, 1997, hlm. 31-66. Diringkas oleh penulis.
[5] Zein M. Wiryoprawiro, Perkembangan Masjid-Masjid di Jawa Timur, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1986, hlm.170.
[6] Lihat Heinz Frick, 1997, hlm. 84.
[7] Sugiyarto Dakung, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1981/1982, hlm. 54.
[8] Lihat Sugiyarto Dakung, 1981/1982, hlm. 55
[9] Lihat Sugiyarto Dakung, 1981/1982, hlm. 55.
[10] Lihat Heinz Frick, 1997, hlm. 86.
[11] Lihat Sugiyarto Dakung, 1981/1982, hlm. 57.
[12] Oman Sukmana, Dasar-Dasar Psikologi Lingkungan, Malang, Bayu Media dan UMM Press, 2003, hlm. 161.
[13] Lihat Revianto Budi Santosa, 2000, hlm. 42.
[14] Lihat Oman Sukmana, 2003, hlm. 149.
[15] Lihat Revianto Budi Santosa, 2000, hlm. 211.
[16] Lihat Oman Sukmana, 2003, hlm. 150.
[17] Lihat Revianto Budi Santosa, 2000, hlm. 215.
[18] Lihat Heinz Frick, 1997, hlm. 88.
[19] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar