Selasa, 20 Januari 2009

PERGESERAN GENDER PADA INTERIOR RUMAH TINGGAL DI KAWASAN JERON BENTENG YOGTAKARTA

Abstract
One of the instruments weared for the construction of social reality is gender. Society Java traditionally embrace social concept of gender is patriarkis. Implication in general is woman become man subordinat. Broader implementation also can be comprehended from dissociation of social activity and ritual to woman and man. So that spacely there are difference between men space to woman space. The mentioned made by grand concept in this research which have location in Jeron Beteng.
From analysis known that ( 1) in sittingroom have happened Friction which at first mastered by men now turn into equation with indicators : owning status, affect custom, executing domestic duty, and both of the same are owning of domination to sittingroom. Factors influencing : modernization, attitude and emancipation respect. ( 2) in livingroom, there are friction at livingroom, where at previous research of livingroom is woman domain, but this research moment done, men have earned to access. Factors influencing : Communications, Status Marriage, Age, Work, Emancipation, Modernization, Moral and formal Education and foreign cultural Influence. ( 3) Kitchen, Role between woman and men in kitchen space in this time have owned equation in the case of : domestic duty, openness and have a notion and also communications. Woman clan remain to be more dominant in kitchen although men have access in there. Factors influencing : Communications, Age, Work, Emancipation, Modernization, Moral and formal Education.

Keywords : gender, interior, sitting room, livingroom, kitchen

Membicarakan ruang tidak bisa lepas dengan segi arsitekturalnya, dalam hal ini rumah atau orang Jawa menyebutnya omah/papan. Memahami rumah sama dengan memahami kehidupan suatu kelompok kebudayaan. Suatu kebudayaan sering memancarkan suatu watak khas tertentu yang tampak dari luar. Rumah dalam kaitan ini merupakan suatu konsep orang Jawa dalam mengaktualisasikan diri, baik pribadi maupun sosial. Lebih dari struktur bangunan fisik semata, rumah adalah satuan simbolis, sosial dan praktis.
Selama ini para peneliti memahami realitas sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya yang diteliti seolah-olah berjalan secara netral. Dalam kenyataan, realitas sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat sangat dipengaruhi oleh konstruksi sosial masyarakat terhadap realitas yang ingin didefinisikannya. Salah satu instrumennya yang dipakai untuk mengkonstruksi realitas sosial tersebut adalah gender.
Dalam dunia orang Jawa, keseimbangan antara hak dan kewajiban selalu berlangsung dalam ruang, waktu, makna dan pesan. Kebudayaan Jawa memiliki sistem kekerabatan yang unik, yang memperlihatkan kedudukan dan peran seseorang di dalam kehidupan bermasyarakat dan berkeluarga, termasuk di dalamnya memperlihatkan sistem kekerabatan antara pria dan wanita, dimana dalam penelitian ini disebut sebagai relasi gender.
Masyarakat Jawa secara tradisi menganut konsep sosial gender yang patriarkis. Implikasi secara umum adalah wanita menjadi subordinat pria. Oleh karena itu pewaris tahta kerajaan kecenderungannya adalah putera mahkota, bukan puteri. Implementasi lebih luas juga dapat dipahami dari pemisahan kegiatan sosial dan ritual bagi pria dan wanita. Sehingga secara ruang terdapat perbedaan antara ruang bagi laki-laki dan ruang bagi perempuan. Bias gender tak pelak lagi membayangi pembahasan rumah ketika lelaki dan perempuan berbagi peran di ruang tersebut.
Secara umum, perbincangan mengenai gender tidak dapat terlepas kaitannya dengan relasi antara pria dan wanita, dimana pada dewasa ini perbincangan tersebut menghangat seiring dengan adanya kesadaran akan terjadinya ketimpangan dalam hubungan dan kedudukan antar gender.
Secara historis, relasi gender dalam masyarakat Jawa tersebut juga direpresentasikan melalui ruang arsitektur, dalam hal ini diperlihatkan dalam konsep tata ruang rumah tradisional Jawa pada masa dahulu dimana konsep ruangnya masih dipengaruhi oleh pembatasan gender. Arsitektur sebagai salah satu produk budaya manusia adalah implementasi dari kondisi kultural sosial dan psikologis masyarakat, demikian pula halnya pembagian gender yang terbentuk dari lingkungan sosial dan psikologis masyarakat. Terjadinya pergeseran kedudukan dan relasi gender masyarakat Jawa pada masa sekarang yang disebabkan antara lain oleh modernisasi, emansipasi wanita, dan masuknya pengaruh budaya Barat, telah menggeser pola relasi gender mengarah kepada persamaan derajat dan kedudukan. Pergeseran pola relasi gender tersebut, khususnya yang terjadi dalam keluarga Jawa, secara perlahan telah menggeser konsep gender dalam rumah tinggal.
Sehingga menarik untuk diteliti terutama pada pergeseran konsep gender akibat dari perubahan sosial tersebut dalam interior rumah tinggal terutama pada ruang tamu, ruang keluarga dan dapur, yang mana ruang-ruang tersebut menurut konsep arsitektural Jawa sangat kentara adanya pembatasan menurut gender, sejauh mana pergeseran itu terjadi dan apa latar belakangnya.
Yogyakarta merupakan salah satu kota pewaris tradisi kerajaan Jawa, Mataram dan salah satu pusat kebudayaan Jawa yang sekarang terkena dampak modernitas dalam segala segi kehidupan. Salah satu hasil kebudayaan adalah rumah tinggal. Segala aktifitas dan interaksi pada rumah tinggal terpentaskan dalam ruang-ruang. Konfigurasi ruang dikonsepkan sebagai pengejawantahan dari kekuasaan yang mengaturnya, maka akan selalu ada kewenangan atas setiap ruang yang memiliki aturan. Pemahaman penghuni terhadap makna yang terbentuk di dalam rumahnya akan terwujud sebagai susunan ruang dan tercermin dalam perilaku keseharian dengan mengekspresikan pemahamannya terhadap rumah melalui penyusunan obyek maupun penempatan tubuh dalam ruang. Dalam hubungan antara susunan ruang dan tindakan ragawi, terdapat dua cara utama untuk menyatakan suatu setting ruang secara positif dengan mengartikulasikan pusatnya dan secara negatif dengan mendefinisikan batasnya.
Jeron beteng adalah salah satu kawasan dari Kota Yogyakarta yang menarik untuk diteliti. Istilah Jeron Beteng biasa dipakai untuk menyebut kawasan di bagian dalam benteng yang mengelilingi Keraton Kasultanan Yogyakarta, yang menjadi situs pusaka budaya utama di Kota Jogja. Kawasan ini memiliki pola tata ruang yang khas, bangunan-bangunan bersejarah, serta pola tata nama yang masih lestari sejak pertama kali adanya sejak satu dua abad yang lampau. Kawasan Jeron Beteng dibangun bersamaan dengan perkembangan pembangunan Karaton Ngayogyakarta yang dimulai pada tahun 1755 sebagai inti kota Yogyakarta atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk membuat perkampungan bagi para abdi dalem yang langsung melayani kerumahtanggaan Kraton. Jeron Beteng termasuk perkampungan pertama sejak Yogyakarta berdiri pada tahun 1765 (Laboratorium Arsitektur FT. UGM, 1970). Sehingga dapat dikatakan bahwa kawasan Jeron Beteng merupakan representasi dari Kota Yogyakarta dari aspek sosial budaya.
Karena kawasan ini yang mengelilingi kraton sehingga kawasan ini sangat terpengaruh dengan tradisi kraton. Sebagai bagian dari suatu era, kawasan ini secara langsung ataupun tidak langsung juga akan terpengaruh dengan modernitas. Sehingga terjadi penyesuaian terhadap nilai budaya kesehariannya termasuk di dalamnya soal menata dan pemanfaatan ruang pada rumah tinggalnya. Sehingga menarik untuk diteliti bagaimana pergeseran gender terjadi serta faktor-faktor apakah yang menjadi latar belakang perubahan tersebut.

Tinjauan Tentang Jeron Beteng.
Pada hari Kamis Pon tanggal 3 Sura, Wawu 1681 tahun Jawa, wuku Kuruwelut atau pada tanggal 9 Oktober 1755 Sri Sultan Hamengku Buwono I memerintahkan untuk membangun Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat di desa Pacethokan dalam hutan Beringin. Setahun kemudian tepatnya pada hari Kamis Pahing 13 Syura, Jimakir 1682 tahun Jawa, wuku Julungwangi atau tanggal 7 Oktober 1756 Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarganya memasuki Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang baru dan untuk sementara waktu menempati gedhong sedhahan. Peristiwa pindahnya Sri Sultan Hamengku Buwono I dari Ambarketawang ke Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat ini ditandai dengan candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal, berupa dua ekor naga yang kedua ekornya saling melilit yang diukirkan di atas banon atau renteng kelir baturana kagungan dalem regol kemagangan dan regol Gadhung Mlathi.
Mulai saat itu berbagai macam sarana dan bangunan pendukung untuk mewadahi aktivitas pemerintahan, baik kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun tempat tinggal mulai dibangun secara bertahap. Pembangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai pusat (centrum) pengembangan Kota Yogyakarta selain memenuhi aspek fungsi juga didasari aspek politis, strategis, teknis dan filosofis religius.
Bersamaan dengan perkembangan pembangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono I memerintahkan juga untuk membangun kampung-kampung disekeliling Baluwarti Kraton dimulai dari perkampungan untuk rumah asrama prajurit kraton dan perwiranya, perkampungan para abdi dalem yang langsung melayani kerumahtanggaan kraton, perkampungan untuk para pejabat tinggi negara, perkampungan untuk para ahli teknik kraton dan lain sebagainya. Untuk para prajurit dan Bupati Nayaka berada diluar benteng, sedangkan untuk para abdi dalem tetap berada di dalam kawasan jeron benteng. Mereka menempati kampung-kampung yang sesuai dengan tugas yang diembannya, misalnya :
a. Kampung Siliran, ditempati abdi dalem silir yang mempunyai tugas memelihara lampu.
b. Kampung Gamelan, ditempati abdi dalem gamel yang bertugas memelihara kuda-kuda kerajaan.
c. Kampung Patehan, tempat abdi dalem yang mengurus minuman untuk kraton
d. Kampung Langenastran, tempat abdi dalem langenastra selaku pengawal raja.
e. Kampung Kemitbumen, tempat abdi dalem yang mempunyai tugas sebagai pembersih Kraton.
f. Kampung Pesidenan, tempat tinggal abdi dalem pesinden atau wiraswara yaitu mereka yang bertugas untuk menembangkan tembang-tembang Jawa dalam upacara-upacara Kraton.
g. Kampung Nagan, tempat abdi dalem yang bertugas menabuh gamelan.
h. Kampung Suranatan, merupakan tempat tinggal para abdi dalem yang bertugas dalam bidang keagamaan, yaitu sebagai ulama Kraton.

Gambar 1. Peta perkembangan kota Yogyakarta (Kawasan Jeron Benteng) tahun 1756 – 1800


Monografi Jeron Beteng (Kecamatan Kraton)
Luas lahan Kawasan Jeron Benteng (Kecamatan Kraton) 1.40 km². Batas wilayah Kecamatan Kraton yaitu :
a. Sebelah Utara : Kecamatan Gondomanan
b. Sebelah Timur : Kecamatan Gondomanan/Kecamatan Mergangsan
c. Sebelah Selatan : Kecamatan Mantrijeron
d. Sebelah Barat : KecamatanMantrijeron/Kecamatan Ngampilan

Populasi kecamatan Kraton 29.468 jiwa dengan kepadatan penduduknya 20.049 jiw/km² terbagi dalam 3 kelurahan (Panembahan, Patehan dan Kadipaten), 43 RW dan 175 RT.



Gambar 2. Denah Kecamatan Kraton tahun 1970 dan 2000

Tinjauan Tentang Rumah Jawa
Menurut Heinz Frick (1997:84), orang Jawa menganggap bahwa rumah sebagai tempat tinggal diungkapkan sama dengan pribadi yang memilikinya. Sehingga menurut Suryanto Sastroatmojo (2006: 31-32) penghidupan setiap insan lebih gumolong, genah, mapan, gumathok jikalau jelas pula pusat kediamannya, sebagai “puser” dari kegiatan kulturalnya. Dalam makna yang lebih tinggi lagi, sesungguhnya adalah representasi pemikiran dari pusat “lakon alam dan isinya”, karena pada kenyataannya, dalem-dalem di Jawa sarat dengan piwulang suci.
Gambar 3. Organisasi ruang pada rumah Jawa.
Sumber: Heinz Frick (1997 : 87)

Pada rumah tinggal Jawa terdapat pembagian ruang-ruang berdasar gender. Misalnya bisa dilihat dari pendapat Heinz Frick (1997 : 86) bahwa Gandhok kiwa (wetan omah : timur rumah) untuk tidur kaum laki-laki dan gandhok tengen (kulon omah : barat rumah) untuk kaum perempuan. Sedangkan menurut Revianto Budi Santosa (2000 : 211-215) Bagian depan sebuah rumah merupakan wilayah yang berorientasi keluar tempat prestise domestik dan keteraturan sosial ditampilkan dalam bentuk perbedaan-perbedaan status dan formalitas. Menemui orang lain sering diasosiasikan dengan laki-laki, karena laki-laki dianggap (atau menganggap dirinya) sebagai pewakilan dari rumah yang harus berhadapan dengan dunia luar. Sebagai figur teladan dalam rumah tangga, dia wajib memelihara prestisenya. Sedangkan Bagian dalam dari rumah, yang diasosiasikan dengan perempuan, merupakan tempat kaum perempuan secara rutin melakukan tugas-tugas domestik mereka. Dalam ritus itu, perempuan mengemban kapasitas untuk menjaga kesejahteraan keluarga dan akumulasi kekuatan dalam rumah.
Di dalam perwujudannya dalam rumah tinggal, omah mburi atau rumah belakang (datem, senthong, gandhok, pawon dan kulah) merupakan domain wanita, sedang pendapa adalah domain laki‑laki. Sementara pringgitan merupakan batas/ruang transisi antara kedua domain di atas. Jadi meskipun sering disebutkan bahwa semakin ke belakang, bagian rumah Jawa akan semakin privat, tetapi peran gender dalam konteks budaya Jawa dalam hal ini masih sangat berperan.
Tjahjono (1989:71) mengemukakan konsep tentang rumah tinggal Jawa adalah center and duality. Aktivitas yang berlangsung di dalam rumah terbagi menjadi aktivitas rutin (kegiatan sehari-hari) dan non-rutin (kegiatan ritual). Pembedaan gender di dalam ruang-ruang tidak berlaku tegas dalam aktivitas rutin yang melibatkan seluruh penghuni kecuali dapur (area wanita), sentong dan ruang tengah (area pria dan wanita), pojok selatan-barat (area wanita), pojok selatan-timur (area pria). Biasanya dalam beraktivitas rutin penghuni menghindari sentong tengah karena dipercaya pusat spiritual dari rumah dan kegiatan ritual, ruang yang menghubungkan tanah dengan udara melalui api.

Tinjauan Tentang Gender
Dalam buku “Analisis Gender dan Trasformasi Sosial”, Mansour Fakih (1996) menjelaskan bahwa gender adalah perbedaan tingkah laku (behavioural differences) antar jenis kelamin yang dikonstruksikan oleh masyarakat (socially constructed). Gender secara konseptual berbeda dengan jenis kelamin (sex), dia lebih bermakna sebagai perilaku sosial, sehingga untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan pengertian jenis kelamin yang merupakan pemberian Tuhan (kodrat). Sementara gender sifatnya bukan kodrat Tuhan dan bukan biologis, melainkan diciptakan oleh masyarakat melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Jadi, gender adalah : “suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural”. Sehingga identifikasinya berupa maskulinitas dan feminitas. Maskulin adalah karakteristk seksual yang bersifat kelaki-lakian dan feminim adlah karakteristik seksual yang bersifat kewanitaan.
Menurut Trisakti Handayani dan Sugiarti (2006 : 5), konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa fungsi dan peran yang dibedakan menurut kedudukan, fungsi dan peran masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan.
Sementara, Ivan Illich (1983:60-80) dalam kaitannya dengan pola ruang mengungkapkan bahwa pembedaan ruang atas dasar gender antar perempuan dan laki-laki merupakan pembedaan fungsi dan peralatan yang digunakan. Gender sendiri oleh Illich dipahami bukan sekedar perbedaan jenis kelamin, namun adanya suatu cara pandang yang melekat pada tiap manusia.
Dari segenap penelusuran tersebut, gender dapat dipahami sebagai suatu pemahaman masyarakat tertentu yang berada pada ranah konseptual (abstrak) sekaligus memiliki bahasa simbol yang berupa atribut-atribut seperti pola ruang, elemen arsitektur dan sebagainya. Pemahaman gender juga berada pada rentang yang luas, artinya pada suatu kelompok masyarakat tertentu bisa terjadi dikotomi pemahaman gender. Faktor penentu atau variabel pemahaman gender juga bermacam-macam, seperti usia, latar belakang sosial-ekonomi, budaya dan politik.
Menurut Christina S. Handayani, Ardhian Novianto dalam buku “Kuasa Wanita Jawa” (2004), laki-laki menempatkan diri pada posisi dominan, superordinat, sedangkan perempuan subordinat. Namun dalam posisinya yang subordinat itu, wanita Jawa pada kenyataannya juga membuktikan bahwa mampu memberi peran/andil yang penting dalam rumah tangga.
Kaitannya dalam sebuah rumah, rumah bagi perempuan merupakan tempat dimana ia dapat berperan lebih besar dan lebih bebas. Sepenuhnya dapat dikendalikannya termasuk dengan menata dan memelihara rumah. Keberhasilan memenuhi tugas tersebut akan dinilai dan biasanya penilainnya oleh tetangga, keluarga dan teman, bahkan bila keadaan dimana dia hanya menerima apa adanya tanpa dapat ditawar-tawar, seperti misalnya sebuah desain yang buruk dari sebuah estat perumahan yang jelek dengan sebuah rumah “awal” yang kaku. Sulitnya untuk setiap perempuan karena dibelakangnya selalu ada citra “rumah ideal”. Ideology kedomestikan yang menjelaskan bagaimana benda-benda seharusnya ada dan terlihat, akan selalu mempengaruhi apa yang dia kerjakan; bahkan ketika ia bereaksi melawannya, biarpun selalu dibatasi oleh uang, ruang dan waktu. Padahal rumah biasanya dibangun oleh laki-laki yang apada umumnya lebih sering tanpa konsultasi dengan perempuan yang nantinya akan paling banyak berperan di rumah.

Bahan dan Metode
Jenis penelitian ini adalah penelitian deduktif kualitatif. Populasi pada penelitian ini adalah rumah tinggal-rumah tinggal di Kawasan Jeron Benteng (Kecamatan Kraton) Yogyakarta. Sampel penelitian menggunakan teknik purposive sampling dan mencakup dua aspek (Sanapiah, 1990:56-61) yaitu informan dan situasi sosial. Informan adalah subjek yang benar-benar mengetahui informasi yang dibutuhkan. Sementara situasi sosial merupakan subjek yang akan diamati dalam hal ini bisa berupa tempat (rona), lingkungan sosial, organisasi dan sebagainya. Situasi sosial yang dimaksudkan adalah ruang tamu, ruang keluarga dan dapur dengan segala kegiatan yang ada di dalamnya. Data yang telah dikumpul dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data yang disebut dengan flow model of analisys, yaitu proses analisis yang saling menjalin masih tetap dilakukan pada waktu pengumpulan data sudah berakhir dan dilanjutkan sampai pada waktu penulisan laporan penelitian berakhir. Proses analisisnya terbagi menjadi tiga komponen utama, yaitu reduksi data, penyajian data dan verifikasi, penarikan kesimpulan (Sutopo, 2002:91).

Hasil dan Pembahasan
Dari analisis tentang pergeseran gender diketahui bahwa Ruang tamu pada rumah tinggal masyarakat Jeron Beteng Kecamatan Kraton tidak seluruhnya berada di pendopo, hanya sebagian saja yang mempunyai ruang tamu di pendopo, itupun sudah mengalami renovasi guna memenuhi kebutuhan ruang dan keamanan. Dalam interior ruang tamu yang berada di pendopo yang domain laki-laki maupun di pringgitan yang merupakan batas transisi antara kedua domain di rumah tinggal masyarakat kawasan Jeron Benteng (Kecamatan Kraton) ada pergeseran gender dalam ruang tamu. Pergeseran ini dikarenakan tidak ditemukan dominasi gender antara kekuasaan laki-laki atau kekuasaan perempuan. Dilihat dari sudut peran gender antara bapak dan ibu mempunyai rasa kepemilikan yang sama terhadap ruang tamu, sama-sama memiliki status, terpengaruh adat, melaksanakan tugas domestik, dan sama-sama memiliki dominasi terhadap ruang tamu . Ruang tamu yang berada di wilayah depan sebagai perwujudan rasa ’hormat’ bagi masyarakat Jawa tidak menjadi ruangnya laki-laki atau lebih dominan laki-laki saja, tapi kaum perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang sama didalamnya.
Pada ruang keluarga Dalam interior ruang keluarga rumah tinggal masyarakat Jeron Beteng Kecamatan Kraton Yogyakarta, dilihat dari sudut tugas domestik antara laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki peran. Sedangkan komunikasi yang terjadi diruang keluarga antara laki-laki dan perempuan juga terjalin saling berkesinambungan. Namun dalam ruang keluarga masih tetap didominasi oleh kaum perempuan, hal ini nampak pada gagasan, wewenang dan kesempatan yang lebih pada kaum perempuan diruang keluarga. Maka kesimpulannya terdapat pergeseran pada ruang keluarga, dimana pada penelitian sebelumnya ruang keluarga adalah domain perempuan, namun saat penelitian ini dilakukan pada masyarakat Jeron Beteng (Kecamatan Kraton) Yogyakarta, laki-laki sudah dapat mengakses.
Sedangkan pada dapur Peran antara laki-laki dan perempuan di ruang dapur rumah tinggal Kawasan Jeron Benteng (Kecamatan Kraton) Yogyakarta saat ini sudah memiliki persamaan dalam hal melakukan tugas domestik khususnya di ruang dapur dan terdapat keterbukaan dalam berpendapat serta komunikasi. Akan tetapi, walaupun dalam akses serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan sama, tetap kaum perempuan yang lebih dominan di ruang dapur.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran gender dalam ruang tamu lebih dikarenakan oleh realitas di masyarakat dan latar belakang penghuni, diantaranya adalah :
1) Modernisasi. Proses pergeseran sikap dan mentalitas untuk bisa hidup sesuai dengan kondisi di masa kini. Peran media sangat berpengaruh pada masuknya budaya barat pada masyarakat Jeron Beteng (Kecamatan Kraton) Yogyakarta.
2) Emansipasi wanita. Kegiatan yang dilakukan dalam mewujudkan persamaan hak antara wanita dan pria. Emansipasi wanita dalam keluarga dipengaruhi oleh beberapa hal :
a) Pernah tinggal di luar negri. Pernah tinggal di luar negri akan terpengaruh pada budaya setempat. Di negara-negara maju sudah mengakui persamaan hak dan kewajiban sebagai ujud gerakan emansipasi.
b) Usia. Usia mampu mempengaruhi banyak sedikitnya aktivitas yang bisa dikerjakan, termasuk masalah kesehata.
c) Pekerjaan. Pekerjaan sebagai penopang perekonomian dai dalam rumah tangga. Pekerjaan di luar rumah mempengaruhi banyak sedikitnya waktu luang dirumah untuk melakukan aktifitas di dalam rumah.
d) Pendidikan. Pendidikan meliputi pendidikan moral yang didapat di keluarga dan lingkungannya, dan pendidikan setinggi-tingginya dalam sebuah institusi formal.
3) Sikap menghormati. Sikap menghormati dalam keluarga sangat berpengaruh dalam kerukunan dan keharmonisan rumah tangga. Sikap menghormati bisa ditunjukkan dengan adanya interaksi dengan anggota keluarga untuk mencari kata sepakat. Keadaan hubungan yang tidak harmonis sangat berpengaruh di dalam pola kehidupan berumah tangga, sehingga sikap saling menghormati akan berkurang karena tiap individu lebih mementingkan pribadinya.
Sedangkan Faktor-faktor yang mepengaruhi pergeseran gender di ruang keluarga rumah tinggal kawasan Jeron Beteng (Kecamatan Kraton) Yogyakarta, diantaranya adalah:
1)Komunikasi. Komunikasi atau diskusi saling bertukar pendapat yang terjadi di ruang keluarga secara tidak langsung mendorong pada rasa kebersamaan dan keterbukaan.
2)Status perkawinan. Keadaan hubungan di dalam rumah tangga yang sudah tidak harmonis sangat berpengaruh dalam pola kehidupan di dalam rumah.
3)Usia. Usia mampu mempengaruhi banyak sedikitnya aktivitas yang bisa dikerjakan.
4)Pekerjaan. Pekerjaan sebagai penopang perekonomian di dalam rumah tangga. Pekerjaan di luar rumah mempengaruhi banyak sedikitnya waktu luang dirumah untuk melakukan aktifitas di dalam rumah.
5)Emansipasi. Kegiatan yang dilakukan dalam mewujudkan persamaan hak antara wanita dan pria. Gerakan emansipasi ini lebih banyak dilakukan oleh kaum wanita.
6)Modernisasi. Proses pergeseran sikap dan mentalitas untuk bisa hidup sesuai dengan kondisi di masa kini.
7)Pendidikan moral dan formal. Pendidikan adalah faktor yang menentukan karena pendidikan moral adalah ajaran mengenai perilaku, etika, akal budi yang baik yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua yang secara tidak langsung akan berpengaruh pada sikap dan perilaku ketika sudah dewasa dan menikah. Pendidikan formal didapat dari institusi yang mengajarkan berbagai macam pengetahuan umum dan mengenai kepribadian, bepengaruh pada pola pikir seseorang.
8)Pengaruh budaya asing. Sebagian orang yang pernah tinggal diluar negeri, maka secara tidak langsung akan berpengaruh pada pola kehidupannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran gender pada ruang dapur di rumah tinggal Kawasan Jeron Benteng (Kecamatan Kraton) Yogyakarta, diantaranya adalah peran gender dan realitas yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang penghuni diketahui dari statusnya dalam masyarakat dan keluarganya, diantaranya adalah:
1)Komunikasi. Kontak, hubungan, penyampaian dan penerimaan pesan serta kata sepakat merupakan hasil dari komunikasi antara laki-laki dan perempuan di ruang dapur.
2)Usia. Usia mampu mempengaruhi banyak sedikitnya aktivitas yang dapat dikerjakan. Dalam kenyataannya di Kawasan Jeron Benteng, karena faktor usia (tua) maka laki-laki (bapak) mengakses dapur.
3)Pekerjaan. Pekerjaan sebagai penopang perekonomian di dalam rumah tangga. Karena bidang usaha wiraswasta dan pensiunan, maka laki-laki dapat sering mengakses dapur.
4)Emansipasi. Kegiatan yang dilakukan dalam mewujudkan persamaan hak antara wanita dan pria. Gerakan emansipasi ini lebih banyak dilakukan oleh kaum wanita.
5)Modernisasi. Proses pergeseran sikap dan mentalitas untuk bisa hidup sesuai dengan kondisi di masa kini.
6)Pendidikan moral dan formal. Pendidikan adalah faktor yang menentukan karena pendidikan moral adalah ajaran mengenai perilaku, etika, akal budi yang baik yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua yang secara tidak langsung akan berpengaruh pada sikap dan perilaku ketika sudah dewasa dan menikah. Pendidikan formal didapat dari institusi yang mengajarkan berbagai macam pengetahuan umum dan mengenai kepribadian, bepengaruh pada pola pikir seseorang


Daftar Pustaka
Ching, Francis D.K., Arsitektur : Bentuk, Ruang dan Tatanan, terjemahan Nurahma Tresani Harwadi, Edisi Kedua, Jakarta, Erlangga: 2000.

Faisal, Sanapiah, 1990, Penelitian Kualitatif : Dasar-Dasar dan Aplikasi, Malang: Yayasan Asih, Asah, Asuh.

Fakih, Mansour, 1996, Analisis Gender dan Trasformasi Sosial, Yogayakarta, Pustaka Pelajar.
Frick, Heinz, 1997, Pola Struktural dan Teknik Bangunan Di Indonesia, Yogyakarta, Kanisius.

Handayani, Christina S., Novianto, Ardhian, 2004, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta, LKIS Pelangi Aksara.

Handayani, Trisakti, Sugiarti, , 2006, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Malang, UMM Press.

Illich, Ivan, 2007, Matinya Gender, Pustaka Pelajar, Yogyakarta .

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1995

Kennedy, Robert Woods, The House And The Art Of Its Design : Reinhold Publishing Crporation, New York, 1963.

Muhadjir, Noeng, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake Sarasin.
Rapoport, A., and Altman, Irwin, Human Behavior and Environment, Plenum Press, New York, 1980

Ronald, Arya, 1990, Ciri-Ciri Karya Budaya Di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa, Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Santosa, Revianto Budi, Omah, 2000, Membaca Makna Rumah Jawa, Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya.

Sastroatmodjo, Suryanto, 2006, Citra Diri Orang Jawa, Yogyakarta, Narasi,

Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi, Suatu Pengantar, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada

Sutopo, HB, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi I, Cetakan I, Surakarta, Sebelas Maret University Press.

Tjahjono, Gunawan, 1989.,”Cosmos, Center and Duality in Javanese Architectural Traditions: The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kotagede and Surroundings”. Dissertation Doctor of Philosophy in Architecture of The University of California at Berkeley.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar