Rabu, 28 Januari 2009

Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas
(Tinjauan Deskriptif tentang Bentuk Arsitektural dan Pola Ragam Hias)

Abstrak
Melihat keberadaan masjid Nur Sulaiman Banyumas ini mengingatkan kita pada pola segitiga antara kraton/kabupaten, alun-alun dan tempat ibadah seperti pada jaman Majapahit dengan berorientasi pada sumbu ‘keramat’ utara selatan. Sehingga terlihat jelas ekspresi dari kesatuan pemerintah, rakyat dan agama (Tuhan). Masjid ini termasuk dalam kategori non hypostyle. Keunikan yang ada pada masjid ini adalah ruang mihrab terpisah atapnya dengan ruang utama. Dan konstruksi pada bangunan ini menggunakan sistem tajug mangkurat. Ragam hias pada masjid ini sebagian besar menggunakan motif floral arabeasque dan intricate dan berpola simetris. Masjid Nur Sulaiman Banyumas ini merupakan masjid yang memadukan unsur budaya barat dengan budaya lokal meskipun budaya lokal lebih dominan. Ini terlihat dengan adanya umpak berbentuk molding. Pada umumnya bangunan masjid kuno di Jawa ini terlihat jelas sebagai bentuk vernacular.

Kata kunci : non hypostyle, tajug mangkurat, floral-arabesque, intricate, masjid.

Pendahuluan
Arsitektur Islam dengan karakteristik dan keragamannya menjadi bahasan yang penting dalam sejarah perkembangan arsitektur dunia. Jejak-jejak kejayaan Islam dapat dirunut dari peninggalan arsitektur Islam diberbagai wilayah di dunia. Berpusat di Arab, menyebar ke arah timur melalui Mesopotamia, Persia, Turki hingga lembah Sungai Indus. Sedangkan ke Arah barat masuk ke Syiria, Mesir hingga Spanyol melalui Maroko dan lebih jauh lagi kemudian Islam merambah ke benua, memasuki Cina, Indonesia dan daratan-daratan Eropa. Arsitektur Islam memang paling banyak dijumpai di negara-negara di benua Asia dan Afrika (www.geocities.com., Mei 2005). Salah satu peninggalan arsitektur Islam adalah Masjid sebagai tempat ibadah umat Islam.
Masjid dapat diartikan sebagai tempat dimana saja untuk sembahyang orang muslim seperti sabda Nabi Muhammad SAW: ”Dimanapun engkau bersembahyang, tempat itulah masjid”. Kata masjid disebut sebanyak 28 kali dalam Al Qur’an, berasal dari kata sajad –sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk penuh hormat dan takzim. Sujud dalam syariat yaitu berlutut, meletakan dahi, kedua tangan ketanah adalah bentuk nyata dari arti kata tersebut diatas. Berdasar akar katanya mengandung arti tunduk dan patuh, maka hakikat dari masjid adalah tempat melakukan segala aktifitas berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah semata. Oleh karena itu menurut Yulianto Sumalyo (2000:1, 496), masjid dapat diartikan lebih jauh bukan hanya sekedar tempat bersujud, pensucian, tempat sholat dan bertayamum, namun juga sebagai tempat melaksanakan segala aktifitas kaum muslim berkaitan dengan kepatuhan kepada Tuhan. Secara umum masjid agung atau masjid jami mempunyai kedudukan formal yang ditunjukan antara lain oleh letaknya didaerah civics center, tepatnya disebelah barat alun-alun kota pusat kerajaan atau kabupaten. Orientasi pada sumbu keramat utara selatan dan posisi sentral Kraton atau Kabupaten diantara bangunan penting seperti masjid, tempat tinggal orang-orang terpandang dan lain-lain mengingatkan kita pada konsep kosmik Jawa pada jaman Majapahit. Di sini terlihat jelas pola segitiga Kraton/kabupaten-alun-alun- fasilitas ibadah, ekspresi dari kesatuan pemerintah, rakyat dan agama (Tuhan). Penempatan masjid-masjid kerajaan atau kabupaten di Jawa tersebut erat kaitanya dengan kepentingan pihak kerajaan atau kabupaten. Secara khusus masjid-masjid di Jawa mempunyai ciri-ciri yaitu denah pada umumnya berbentuk bujur sangkar tapi ada juga yang persegi panjang, berdiri diatas pondasi yang tinggi, atapnya bersusun makin keatas makin kecil, sedang pada tingkatan yang paling atas berbentuk limasan, jumlah atap terdiri dari dua hingga lima tingkat, mempunyai ruang tambahan kearah barat atau barat laut yang dinamakan mihrab, mempunyai serambi yang ada di depan atau samping, halaman masjid dikelilingi tembok dan hanya mempunyai sebuah pintu gerbang. Tembok yang mengelilingi bangunan masjid melambangkan batasan antara yang luar dan yang dalam serta memungkinkan integrasi elemen-elemen alam ke dalam lingkungan hidup manusia (Heinz Frick, 1997: 83).
Salah satu peninggalan arsitektural Islam Jawa adalah Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas yang dibangun antara tahun 1755-1861. Dari segi umur Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas telah mewakili persyaratan sebagai monumen sesuai dengan UU No. 5 tahun 1992 Bab I pasal 1 ayat 1 butir a yaitu : ”Benda cagar budaya benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili gaya sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan”. Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas merupakan peninggalan arkeologi Islam dari masa pengaruh kolonial Belanda. Oleh karena itu, Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas mempunyai bentuk penampilan yang khas sesuai dengan jamannya, yaitu perpaduan antara dua unsur kebudayaan yakni kebudayaan tradisional dan kebudayaan barat.
Penulisan tentang masjid ini juga untuk melengkapi pustaka tentang masjid Islam kuno di Pulau Jawa ini yang belum terdokumentasi secara keseluruhan.

Latar Belakang Sejarah
Menurut Romli (1997:7), Banyumas adalah kota kecil yang pernah menduduki posisi penting dalam sejarah perkotaan di Indonesia, sebagai pusat dua pemerintahan, yaitu sebagai ibukota dan ibukota Karesidenan. Keberadaan kota Banyumas sebagai ibukota kabupaten sudah berlangsung cukup lama, yaitu sejak pemerintahan Kerajaan Pajang hingga akhir pemerintahan kolonial. Bupati prtama Banyumas adalah Adipati Mrapat atau Adipati Warga Utama II dan dimakamkam di Makam Pesareyan Dawuhan Banyumas. Adipati Mrapat atau Adipati Warga Utama II menjadi Bupati Banyumas atas anugrah Sultan Pajang. Ketika pusat kerajaan bergeser ke wilayah Mataram kadipaten Banyumas secara otomatis menjadi wilayah kerajaan Mataram Islam. Ketika Mataram Isalam mencapai puncak kejayaannya dibawah pemerintahan Sultan Agung, Banyumas termasuk ke dalam wilayah “Mancanegara Kilen” dan kemungkinan merupakan tempat kedudukan Wedono Bupati “Mancanegara Kilen”. Ketika kerajaan Mataram Islam dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, daerah Banyumas termasuk ke dalam wilayah Kasunanan Surakarta.
Daerah “Mancanegara Wetan” maupun ”Mancanegara Kilen” lepas dari wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, setelah terjadinya perjanjian antara pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan Surakarta maupun Yogyakarta pada tahun 1830. Dengan demikian Kabupaten Banyumas sejak tahun 1830 berada dibawah pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1831 wilayah Banyumas mulai diadakan pangkat Residen dan asisten Residen untuk mendampingi Bupati.Residen Banyumas yang pertama adalah tuan De Sturler dibantu empat orang Asisten Residen yaitu, Varkevisser Asisten Residen Purwokerto, Panggilmeester Asisten Residen Banjarnegara, Tak Asisten Residen Purbalingga, De Mayer Asisten Residen Cilacap.
Sejak tanggal 1 Januari 1936 Kabupaten Purwokerto dimasukan kedalam wilayah kota Banyumas. Namun bersamaan dengan itu Ibukota karisidenan dan Kabupaten Banyumas ikut dipindahkan ke Purwokerto. Pemindahan Ibukota dilaksanakan tanggal 26 Februari 1936 yang kemudian ditandai dengan pemindahan pendopo Kabupaten Banyumas ke Purwokerto pada bulan Januari 1937. Dengan demikian Kota Banyumas semakin sunyi, namun bekas kemegahan kota tesebut dimasa lalu masih tampak hingga saat ini yakni dengan adanya peninggalan berupa bangunan-bangunan bekas rumah Bupati, rumah penjara, sekolah-sekolah, masjid Agung dan bangunan-bangunan lain yang mengelilingi alun-alun serta bekas rumah Residen.
Masjid Agung yang merupakan salah satu ciri khas peninggalan kuno Kota Banyumas saat ini bernama Masjid Besar Nur Sulaiman Banyumas.Menurut informasi para narasumber nama Nur Sulaiman diambilkan dari nama Nur Daiman – yaitu arsitek masjid tersebut-dan Sulaiman, penghulu masjid yang pertama. Perpaduan kedua nama itu diabadikan menjadi nama masjid tersebut pada tahun1992.
Secara administratif, Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas terletak di Kelurahan Sudagaran, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Di sebelah utara Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas dengan jalan Sekolahan, di sebelah timur berbatasan dengan alun-alun Banyumas, di sebelah selatan berbatasan dengan jalan Serayu, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan jalan Kulon. Sebagaimana di lokasi Masjid Agung lainnya, masyarakat setempat menyebut lokasi perkampungan disekeliling masjid Agung Banyumas dengan nama Kampung Kauman. Namun nama Kauman secara administratif tidak tercatat pada buku pembagian wilayah di Kelurahan Sudagaran. Adapun secara geografis, masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas terletak pada 7o30’7” BT dan 109o15’10” LU.

Denah masjid dan alun-alun
Untuk mengetahui secara pasti kapan berdirinya Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas merupakan hal yang sangat sulit karena tidak ada bukti tertulis tentang pendirian masjid tersebut. Namun untuk menelusuri masa pendirian Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas akan dicoba menelusuri jejak-kejak dan peristiwa yang berhubungan dengan masjid tersebut. Menurut riwayat, Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas didirikan kurang lebih semasa dengan pendirian rumah Kabupaten dengan pendopo” Bale Sipanji”-nya. Sedangkan menurut Babad Banyumas yang dihimpu n oleh Oemardani dan Poerbosewojo dikatakan bahwa Bale Sipanji yang merupakan pendopo Kabupaten Banyumas dibangun oleh Raden Tumenggung Yudonegoro III (Bupati Banyumas yang ke IX yakni pengganti Tumenggung Yudonegoro II yang diangkat sebagai patih I Keraton Yogyakarta). Kalau cerita tersebut benar berarti pendopo Bale Sipanji didirikan setelah tahun 1755 yakni tahun diangkatnya Tumenggung Yudonegoro II menjadi patih Keraton Yogyakarta. Adapun Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas didirikan setelah pendopo Bale Sipanji. Hal ini sesuai data yang menunjukan bahwa pendirian sebuah Keraton diikuti pula dengan pendirian tempat ibadah dalam hal ini masjid. Misalnya kraton Surakarta didirikan pada tahun 1746, sedangkan bangunan masjidnya didirikan pada tahun 1763. demikian pula kraton Yogyakarta didirikan pada tahun 1756, sedangkan bangunan masjidnya didirikan pad tahun 1773.
Pada masa pemerintahan Raffles (1811-1816) kemungkinan tata kota Banyumas sudah mendekati bentuk yang sekarang. Hal ini dapat dibuktikan dari permohonan Bupati Banyumas kepada Raffles agar kabupaten Banyumas dilepasklan dari Kraton Surakarta, dan dirinya ditetapkan sebagai sultan. Di dalam Babad Banyumas juga disebutkan bahwa pada tahun 1831 Gubernur Jendral De Kock selain mengangkat Residen, Asisten Residen, Bupati, Patih, Wedono, Kolektor, juga Penghulu, Mantri Polisi, Mantri Kabupaten, Mantri Cacar, Mantri Jaksa untuik wilayah Kabupaten Banyumas. Penghulu adalah pimpinan tertyinggi di dalam organissasi masjid. Penghulu pada masa kerajaan Islam diangkat oleh Sultan/Raja, sedangkan pada masa pemerintah kolonial Belanda, penghulu diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal bahkan kegiatan di masjid-masjid terutama di masjid agung selalu dikontrol oleh pemerintah Belanda. Masjid-masjid agung di kabupaten kemudian menjadi lambang feodalisme sebagai alat pemerintah kolonial di daerah. Posisi masjid agung di sebelah barat alun-alun tetap dipertahankan untuk kepentingan politiknya.
Keberadaan Masjid Agung Banyumas semakin tampak ketika wilayah kabupaten Banyumas dilanda banjir besar pada tanggal 21-23 Februari 1861. Menurut Babad Banyumas maupun cerita rakyat sampai saat ini masjid agung maupun pendopo Bale Sipanji digunakan untuk tempat mengungsi karena tempatnya lebih tinggi dibandingkan daerah di sekitarnya, seperti yang tersurat pada Babad Banyumas Wiryaatmajan yang erat hubungannya dengan masjid Banyumas yaitu :
“Pada bulan Februari 1861 terjadi hujan lebat, tidak hanya di karesidenan Banyumas tetapi merata di seluruh Jawa. Oleh karena itu pada hari Jumat Kliwon tanggal 21 Februari 1861 kota Banyumas terlanda banjir karena meluapnya sungai Serayu. Rumah residen tenggelam, di tempat ini air mencapai ketinggian 3,5 meter, sedang di rumah Kabupaten air menyentuh di pendopo Kabupaten. Banyak sekali penduduk yang mengungsi di pendopo Kabupaten maupun di masjid Agung yang karena letaknya yang tinggi tidak ikut tenggelam. Banjir berlangsung dua hari semalam”.

Seperti disebutkan diatas, menurut Babad Banyumas, masjid ini sejaman dengan bangunan pendopo “Bale Sipanji”. Adapun pembangunan pendopo “Bale Sipanji” itu dilaksanakan setelah tahun 1755. data tersebut juga diperkuat dengan keterangan bahwa waktu banjir besar di Banyumas bulan Februari 1861 banyak orang yang mengungsi di pendopo Kabupaten dan Masjid Agung. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas dibangun pada suatu masa antara tahun 1755 – 1861.

Bentuk Arsitektural Masjid Nur Sulaiman Banyumas
Arsitektur Islam menciptakan pembatasan bidang untuk penghidupan batin dan keagamaan. Pembatasan oleh bidang dan garis merupakan gerak maju dalam bidang tanpa menemtukan atau menciptakan ruang tertentu. Jikalau diadakan pembentukan ruang, ruang tersebut terbentuk oleh bidang pembantasan : tenang, sebagai bujur sangkar, tidak terarah. Pembentukan atau perwujudan arsitektur Islam tidak penting dan tergantung pada kecakapan tukang, kerajinan tangan dan pokok pembentukan tradisional secara konstruktif.
Di dalam nilai-nilai budaya mengenai arsitektur tradisional, terkandung suatu abstraksi mengenai hubungan manusia dengan kosmos atau hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Hubungan ini bersifat timbal balik, merupakan hubungan sebab akibat, atau kausal dengan demikian saling mempengaruhi. Nilai budaya yang demikian tidaklah bersifat statis, tetapi dinamis dan berkembang. Hal ini dapat dilihat dalam arsitektur tradisional pada proses perkembangan bentuk bangunan. Salah satunya adalah bangunan masjid.
Gaya dan bentuk arsitektur masjid berkembang berabad-abad di seluruh penjuru dunia, masing-masing mempunyai ciri yang bila dilihat semakin menditail semakin banyak bahkan tidak terbatas perbedaan satu dengan yang lain. Untuk menguraikan perbedaan arsitektural sebaiknya dilihat pada pola pikir, konsep dan budaya masyarakat di suatu tempat dan jaman dimana masjid didirikan.. berdasar segipandang tersebut maka akan lebih terlihat perbedaan yang prinsip antara satu dengan yang lain. dengan demikian terlihat secara garis besar, dapat dibedakan antara dua bentuk atau tata ruang masjid, yaitu kategori hypostyle dan non-hypostyle (Sumalyo, 2000:656). Arsitektur masjid hypostyle terbentuk karena kecenderungan pola pikir vernakular atau mengambil bentuk, pola dari budaya dan lingkungan setempat (bahasa setempat). Ciri khas arsitektur hypostyle adalah adanya halaman dalam yang dikelilingi oleh portico atau iwan (serambi yang bertiang-tiang), adanya sahn (tempat wudhu atau ruang peralihan dari luar ke dalam masjid, dimana biasanya diletakkan air mancur berfungsi ganda untuk wudu dan elemen estetis.) dalam bangunan masjid dan terdapat banyak kolom. Sedangkan arsitektur masjid non-hypostyle yang mempunyai ciri-ciri yaitu tidak mempunyai sahn maupun iwan. Mesjid model ini biasanya mempunyai depan, samping dan kadang-kadang belakang, terbentuk oleh pagar keliling, tidak mempunyai halaman dalam. Seperti halnya mesjid hypostyle, non hypostyle juga terlihat sebagai bentuk vernakular yang menerapkan “bahasa setempat” dalam arsitektur (Sumalyo, 2000: 658).
Secara umum bentuk Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas masih mengacu pada bentuk masjid kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Ciri-ciri pokok masjid masa itu antara lain beratap tumpang, berdenah bujur sangkar, berserambi, mempunyai batur yang tinggi dan dilengkapi dengan pagar keliling dengan pintu utama sebelah timur. Selain itu, dilengkapi pula mimbar berbentuk tandu serta maqsura. Sehingga dapat dikatakan bahwa Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas termasuk masjid yang bertipe non-hypostyle.

Foto tampak dari gerbang depan

Atap mesjid ini berbentuk tajug bersusun tiga, paling bawah disebut penitih, tengah disebut pananggap dan puncaknya berbentuk piramidal brunjung dihias dengan mustaka. Pada celah antara dua atap bertumpuk terdapat celah sehingga cahaya alami dapat masuk. Menurut pandangan, atap berbentuk tajug tidak sesuai untuk rumah duniawi, namum khusus digunakan untuk candi, masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya. Karena atap tumpang yang berundak itu adalah hasil kesenian Indonesia sendiri, yang berupa bangunan meru, dimana pada bangunan jaman sebelum Islam hal itu telah banyak ditemui dan berfungsi sebagai bangunan suci (GF. Pijper, 1987:275). Sekalipun atap rumah di Indonesia, khususnya di Jawa tidak bertingkat, tetapi sesuatu dasar untuk dijadikan atap bertingkat telah ada ialah atap yang berbentuk joglo (Sucipto Wiryosuparto, 1962: 153).
Keunikan yang ada Masjid Nur Sulaiman adalah ruang mihrabnya mempunyai atap sendiri. Atap tersebut berupa tajug bersusun dua, dan dilengkapi dengan mustaka berbentuk mirip gada. Atap mihrab yang terpisah dengan atap ruang utama masjid tampaknya menjadi prototipe bagi masjid-masjid yang lebih muda di wilayah Banyumas. Hal ini dapat dijumpai antara lain pada masjid kuno di komplek makam para Bupati Banyumas di desa Dawuhan, Banyumas. Ini berbeda denagn masjid-masjid Agung Islam kuno pada umumnya yang atap mihrabnya menjadi satu dengan ruang utama, misalnya Masjid Agung di Demak, Kudus, Yogyakarta ataupun Surakarta.
Dilihat dari jumlah atap masjid ini terdiri dari tiga organisasi ruang, yaitu : Serambi, Ruang utama dan mihrab. Pada Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas tidak terdapat kolam di depan atau sekeliling bangunan masjid seperti yang terdapat pada masjid Jawa kuno, namun terdapat bangunan fasilitas yaitu tempat wudlu bagi pria dan wanita. Disamping itu terdapat beberapa bangunan baru yaitu kantor KUA, kanor BKM dan kantor Penilik Pendidikan Islam.
Serambi sebagai salah satu komponen masjid kuno berdiri di depan ruang utama. Serambi yang berukuran 11 x 22 m ini sekarang berfungsi sebagai tambahan tempat sholat, tempat anak-anak belajar Al-Qur’an dan pelajaran agama lainnya. Pada bagian depan serambi terdapat emperan yang atapnya merupakan perpanjangan dari atap serambi. Lantai serambi ditinggikan 130 cm dari permukaan halaman masjid. Menurut keterangan pengurus BKM permukaan lantai serambi ini dahulu berupa plesteran saja. Akan tetapi pada perbaikan yang dilakukan pada tahun 1929 lantai serambi ditutup tegel berukuran 20 x 20 cm. Tegel serambi disusun sebagi berikut: bagian pinggir ditutup tegel abu-abu, sedang bagian tengah ditutup tegel warna-warni bermotif geometrik dan bunga yang disusun menurut pola tertentu. Ruang serambi ini mempunyai dinding di sisi utara dan selatan, sisi timur terbuka, sedang sisi barat terdapat dinding pembatas antara serambi dan ruang utama. Dinding sisi utara dan selatan masing-masing mempunyai dua pintu yang ambang atasnya berbentuk lengkung. Kedua pintu itu mengapit satu jendela berbentuk segi empat.

Situasi serambi masjid

Ruang utama Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas berdenah bujur sangkar dengan ukuran 22 x 22 m dengan ketinggian 14,5 m. Lantainya lebih tinggi 20 cm dari lantai serambi. Ruang ini berfungsi sebagai ruang pokok pada waktu berjamaah. Untuk masuk kedalam ruang utama ada tiga pintu, pintu tengah berukuran tinggi 230 cm lebar 192 cm, sedang dua pintu yang mengapitnya berukuran tinggi 230 cm dan lebar 129 cm. Berdasarkan ukuranyan pintu tengah merupakan pintu utama yang hanya dibuka pada hari Jumat. Lantai ruang utama ditutup dengan tegel abu-abu ukuran 20 x 20 cm dikombinasi dengan tegel kembang warna-warni serta tegel warna polos ukuran 20 x 20 cm. Sebagi contoh lantai bagian pinggir ditutup dengan deretan tegel kembang bermotif geomtris, lantai sisi timur ditutup dengan tegel warna aba-abu dan krwem yang disusun selang-seling membentuk motif papan catur, bagian tengah ditutup dengan tegel berwarna dasar krem dan bermotif flora.
Di dalam ruang utama terdapat empat saka guru dan dua belas saka pengarak. Tiang-tiang tersebut dibuat dari kayu jati dan masing-masing dilandasi oleh umpak batu. Ke- 16 umpak yang ada di ruang utama berbentuk motif molding, tetapi umpak saka guru berukuran lebih besar yakni sisi-sisinya berukuran 75 cm, tingginya 56 cm. Sehingga terlihat perpaduan antara gaya barat dengan lokal. Kemungkinan konstruksi bangunan ini menggunakan sistem tajug Mangkurat. Hal ini dapat dilihat dengan adanya 4 umpak yang lebih besar ukurannya dari pada umpak-umpak yang lain. berbeda dengan Masjid Agung Yogyakarta yang menggunakan sistem tajug Ceblokan.
Gambar umpak berbentuk motif molding

Mihrab, adalah pintu simbolis, berdiri bersudut siku-siku pada arah Kabah di Mekah merupakan kemahasucian dari masjid. Mihrab menunjuk jurusan spiritual ke arah Mekah. Menurut Frick (1997 : 52), Mihrab menunjuk kepada dunia diluar batas pengetahuan kita, suatu penglihatan mistis-teologis. Seperti telah disebutkan di atas bahwa ruang mihrab pada masjid ini mempunyai atap terpisah yang berbentuk atap tumpang bertingkat dua. Oleh karena itu, dalam hal ini ruang mihrab yang menjorok ke barat itu dipandang sebagai komponen ruang tersendiri pada masjid yang bersangkutan. Ruang mihrab tersebut berukuran lebar 220 cm, panjang 400 cm, tinggi 590 cm. Puncak atap ditutup oleh mustaka yang berbentuk menyerupai gada.

Tampak depan dan samping Masjid Nur Sulaiman Banyumas

Sedangkan warna dominan pada ruang masjid ini adalah warna hijau. Warna hijau adalah warna khas Islam yang merupakan warna keluarga Nabi Muhammad SAW. Warna ini juga banyak digunakan pada partai-partai yang bernafaskan Islam seperti PKB, PBB dan lain-lain serta bangunan-bangunan yang bercirikan gaya Islam.

Ragam Hias pada Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas
Menurut Frick (1997: 182-185), ragam hias berhubungan erat dengan pemisahan mistis. Artinya ragam hias dengan nilai spiritualnya akan memperingati manusia atas peristiwa-peristiwa tertentu, batasan rutual dan sebagainya. Ragam hias sejak dahulu kala digunakan untuk menyampaikan gagasan kosmologis dan metafisis dalam bentuk simbol dari generasi ke generasi. Dengan demikian, ragam hias memantapkan perwujudan kebudayaan walaupun kadang-kadang faktor lain tampak lebih penting.
Dekorasi merupakan bagian dari seni seperti juga arsitektur, terkait langsung pada jaman dan budaya suatu masyarakat. Pengaruh tradisi Indonesia-Hindu dapat dijumpai pada hiasan-hiasan masjid kuno yang merupakan kelanjutan dari tradisi seni candi. Hal ini juga tampak pada bangunan kayu pada masjid kuno yang pada dasarnya berasal dari zaman Pra Hindu yang telah disempurnakan (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1976:69). Dalam hal hiasan pada masjid tidak lepas dari hukum Islam yang tertuang dalam Hadist dan Al-Quran khususnya yang berkaitan dengan seni. Seni terkait langsung dengan keindahan, dapat diartikan sebagai segala sesuatu ciptaan manusia yang membuat orang senang.Meskipun batasan tersebut mengandung sifat subyektif, namun dapat dinilai dengan fungsi dari suatu seni dan penilaian rata-rata dari banyak orang.
Ornamen yang merupakan dari ragam hias masjid dapat memberikan kesan kindahan dan kesempurnaan sehingga diperbolehkan menghias masjid menjadi indah karena Allah menyukai keindahan. Tetapi sebagian aspek kultural juga berfungsi sebagai wadah untuk mengunghkapkan perasaan manusia dan memberikan wujud sebagai penyalur ekspresi berbagai emosi yang ingin diterapkan di dalam bangunan masjid tersebut. Sehingga dengan demikian ornamen juga memancing perasaan yang seru pada orang lain yang menyaksikannya. Oleh karena itu menurut Abdul Rochym (1983:170), orang dapat mengagumi dan ikut merasakan keindahan yang ditampilkannya melalui garis, irama, bentuk dan warna serta gerak tertentu dari ujud keseluruhan dari ornamen itu. Adapun motif manusia dan hewan apalagi lukisan mengenai Nabi dan Allah tidak boleh. Disatu sisi hal itu menjauhkan diri dari sikap dan kegiatan kemusyrikan, sedang disisi lain untuk menjaga agar tidak mencemarkan keluhurannya (Wiryoprawiro, 1986:170). Menurut Sumalyo (2000: 13-22), hiasan-hiasan yang menghiasi masjid biasanya mengambil motif dari bentu-bentuk botanis (floral-Arabesque), geometris (intricate) dan cosmis (kaligrafi). Arabesque yaitu garis lengkung-lengkng abstraksi dari bentuk floral (seperti daun, batang, bunga dan sebagainya). Secara fungsional dugunakan pada pintu, jendela dan ventilasi dengan membuat bidang-bidang yang terbentuk oleh lubang-lubang tembus udara. Intricate adalah hiasan 2 dimensional yang terbentuk oleh garis-garis atau bidang-bidang datar warna – warni dari bermacam-macam bahan menjadi pola seperti bintang, rumit dan ramai. Garis sering terbentuk oleh relief dan warna-warnanya banyak menggunakan keramik, mozaik, marmer dan bahan alami yang memiliki warna alami pula. Cosmis atau kaligrafi adalah seni menulis huruf yang merupakan bagian dari seni. Pada umumnya tulisan dan kalimatnya mengutip Al Quran. Keindahan Kaligrafi bukan hanya dari bentuknya semata, tetapi juga dari makna dan isinya. Kaligrafi sering menyatu dengan hiasan geometris serta dengan elemen-elemen struktural seperti kolom, balok, kubah dan lain sebagainya. Berdiri sendiri atau kadang berderet membentuk garis dan bidang (www.geocities.com., Februari 2005). Dikenal beberapa aliran kaligrafi Arab, antara lain : Mashq, Kufic Persegi ( Square Kufic), Kufic Timur, Thuluth, Naskhi, Muhaqqaq, Rihani dan Taliq (Sumalyo, 2000 : 19).
Ragam hias pada masjid Nur Sulaiman Banyumas ini pada umumnya menggunakan motif-motif botanis, geometris dan cosmis. Pada ruang serambi terdapat ukir-ukiran dekoratif pada saka guru, sesanten dan godhegan. Ukiran pada bagian pangkal saka guru berupa ragam hias geometris yang diisikan dalam bingkai berbentuk tumpal dan segi empat. Ragam hias pada sesanten juga berupa sulur-suluran dan bunga, tetapi berbeda dengan ukiran pada pangkal saka guru, ukiran pada sesanten disusun berbentuk pola bolak-balik. Ragam hias suluran juga digunakan pada godhegan, saka guru serambi ini. Semua tiang, pengeret, kili berikut ukirannya dibuat dari kayu jati.
Untuk masuk ke dalam ruang utama ada tiga pintu utama yang ambang atasnya dihiasi ukiran krawangan dengan ragam hias flora yang menunjukkan gaya awal abad XX. Menarik perhatian bahwa panil ukiran pada ambang atas pintu utama bercorak bolak-balik, seperti halnya ukiran pada sesanten di serambi. Pada bagian pangkal dan ujung saka guru terdapat hiasan berupa ukiran tempel berbentuk tumpal, yang diisi ragam hias flora berpola simetris. Adapun langit-langit ruang utama Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas ditutup dengan papan-papan kayu jati. Pada bagian tengah dan sudut-sudut langit-langit (pemidangan) terdapat ukiran bermotif geometris yang diisi dengan ragam hias flora. Ukiran tumpal yang diisi ragam hias flora juga diterapkan pada sudut-sudut pertemuan antara tiang-tiang dengan kili serta blandar pengarak.
Sedangkan pada ruang mihrab, terdapat ukiran yang terdapat di atas kusen pintu masuk berupa krawangan yang memuat ragam hias flora dan geometris. Sebagian besar hiasan dalam masjid ini berpola simetris. Menarik di sini bahwa sebagian besar hiasan pada masjid ini berbentuk flora dan geometris. Kaligrafi hanya terdapat pada gantungan bedhug. Seperti diketahui bahwa hiasan kaligrafi terdapat pada umpak dan tiang sakaguru. Hal itu tidak terdapat pada masjid ini.

Artefak Kelengkapan Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas
Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas mempunyai beberapa artefak yang digunakan dalm rangkaian tata peribadatan sholat. Artefak-artefak itu adalah mimbar, maskura, bedug dan kentongan.
Mimbar yang fungsinya sebagai tempat khotib menyampaikan khotbah Jum’at, atau ceramah keagamaan lain, di Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas ditempatkan disebelah utara pintu ruang mihrab. Mimbar kuno ini berukuran lebar 125 cm, pnjang 220 cm, tinggi 167 cm dan mempunyai empat tiang penyangga atap dari kayu berukuran 10/10 cm. Untuk mencapai tempat duduk bagi khotib ada tiga anak tangga yang pada sudut-sudutnya terdapat hiasan berupa menara-menara kecil dengan puncak runcing. Bagian-bagian tempat duduk tersebut tidak memuat hiasan apapun. Seperti halnya kursi biasa, mimbar ini juga mempunyai tangan-tangan yang di bagian ujung membentuk ukel,.Tangan-tangan ini pada sisi luarnya dipenuhi ukiran timbul dengan motif flora.
Bagian bawah tempat duduk mimbar merupakan bagian yang berongga, yang ditutup pintu geser. Dengan demikian bagian tersbut dapat dimanfaatkan untuk tempat menyimpan perlengkapan masjid. Atap mimbar berbentuk lengkung, dan keduanya berupa ukel. Bagian depan atap mimbar ini memuat ukiran dekoratif terdiri atas sulur-suluran yang berpangkal pada ragam hias bunga yang terletak di tengah. Ukiran ini dicat dengan warna emas dan merah.
Di dekat mimbar terdapat artefak lain yaitu maksura, yaitu tempat tempat khusus bagi penguasa tertinggi disuatu tempat. Meskipun di dalam ajaran Islam tidak ada pembedaan tempat bagi umat pada waktu sholat berjamaah, namun kemudian pada akhir masa Khulafa’urrasyidin dirasa perlu untuk membuat tempat sholat khusus untuk keamanan bagi penguasa. Didalam perjalanan sejarah –terutama di Indonesia- fungsi keamanan maksura kemudian berubah menjadi simbolik saja. Maksura di Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas berbentuk mirip panggung kecil berukuran 230 x 230 cm dibuat darim kayu jati. Lantai maksura berupa tatanan papan dan disangga oleh empat kaki setinggi 9,5 cm. Pada keempat sudutnya terdapat tiang yang menyangga bagian atas maksura yang terdiri atas empat bidang berukir. Keseluruhan maksura dicat warna biru muda, sedang ukirannya dicat warna emas.
Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas memiliki alat pemberi tanda waktu sholat berupa bedhug dan kenthongan. Bedhug ini mempunyai ukuran garis tengah 94,5 cm dan panjang 158 cm. Artefak ini digantungkan pada gawangan kayu setinggi 250 cm, panjang 238 cm dan lebar 158 cm. Di bagian atas gawangan terdapa hiasan bermotif flora yang ditengahnya memuat prasasti pendek berhuruf Arab menerangkan angka 1312, yang menunjukan tahun Hijriyah 1312. Dilihat dari bentuk hurufnya, tulisan ini termasuk dalam aliran Taliq. Kenthongan yang terletak di dekat bedhug tidak digantung, melainkan berdiri dengan disangga kayu bersilang yang mempunyai unkuran diameter 21 cm, tinggi 130 cm dan bentuknya mirip kemuncak atap mihrab.
Sebagai kelengkapan suatu masjid, Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas juga mempunyai tempat wudhu, yang diwujudkan dalam dua bangunan. Kedua bangunan benbentuk kampung itu berdiri di sebelah utara untuk kaum pria dan selatan masjid untuk kaum wanita. Kedua bangunan itu dihubungkan dengan ruang utama masjid oleh lorong beratap (doorloop), dan tangga naik yang dilengkapi pegangan dari besi dengan lengkung-lengkung dekoratif. Kedua bangunan ini pernah diperbaiki sebagaiman dapat dibaca pada prasasti huruf latin. Prasasti yang tertera pada dinding penyekat tempat wudhu wanita berbunyi : ”dipugar Ke I 1889, Ke II 1980”. Adapun prasasti pada tempat wudhu pria berbunyi: ”Selesai dipugar pada tangal 1 Juni 1989”.

Penutup
Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas merupakan masjid peninggalan Islam kuno di pesisir pantai selatan pulau Jawa. Tidak ada kepastian kapan masjid ini dibangun karena memang tidak ada data atau dokumen yang pasti kapan masjid ini di bangun. Sementara ini hanya didasarkan pada peristiwa-peristiwa yang menyertai perkembangan kota Banyumas dan diperkirakan dibangun antara tahun 1755-1861.
Masjid ini termasuk type non hypostyle. Hal ini bisa terlihat dengan tidak adanya sahn maupun iwan. Juga terdapat ruang depan (mihrab), ruang tengah (utama), serambi dan terbentuk oleh pagar berkeliling. Secara keseluruhan, bentuk arsitektural masjid agung Nur Sulaiman Banyumas tidak berbeda dengan masjid agung-masjid agung di Pulau Jawa ini yaitu beratap tumpang dengan sistem tajug, mempunyai mihrab, serambi, ruang utama denagn perlengkapannya yaitu maksura, mimbar, bedhug dan kenthongan. Dengan disertai fasilitas-fasilitas pendukung yaitu tempat wudhu dan bangunan penyerta. Tidak seperti masjid-masjid Islam kuno di pulau Jawa ini, masjid ini mempunyai ruang mihrab sendiri, terpisah dengan ruang utama. Masjid ini juga merupakan perpaduan antara kebudayaan barat dan lokal yaitu dengan adanya umpak berbentuk molding di ruang utama masjid ini. Kemungkinan konstruksi bangunan ini menggunakan konstruksi tajug Mangkurat.
Ragam hias masjid ini sebagian besar bermotif botanis (floral-arabesque) dan geometris (intricate). Sedangkan motif cosmic (kaligrafi) hanya terdapat di gantungan bedhug. Pada umpak dan keempat saka guru yang biasanya terdapat hiasan motif kaligrafi tidak terdapat pada masjid ini.




Daftar Pustaka

Adrisijanti Romli, Inajati, DR, dkk, Laporan Purna Pugar Masjid Agung Nur Suaiman Banyumas, Jawa Tengah, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Jawa Tengah di Prambanan, 1997/1998.

Dakung, Sugiyarto, Arasitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1981/1982.

Frick, Heinz, Pola Struktural dan Teknik Bangunan di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1997.

M. Wiryoprawiro, Zein, Perkembangan Masjid di Jawa Timur, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986.

Pijper, GF, The Minaret in Java, India Antiqua, Leyden: Kern Institute, 1947, terjemahan Sri Hartati, Sastra UGM, 1987.

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Sejarah Seni Rupa Indonesia, Jakarta : Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976.1977.

Rochyim, Abdul, Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, Bandung : Angkasa, 1983.

Sumalyo, Yulianto, Arsitektur Mesjid dan Monumen Sejarah Muslim, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000.

Wiryosuparto, Sucipto, Sejarah Bangunan Masjid di Indonesia, Almanak Muhammadiyah, Djakarta: Pusat Pimpinan Muhammadiyah Madjelis Taman Pustaka, 1962.

http//www.geocities.com., Februari dan Mei 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar